Kamis, 12 Juni 2014

Detektif-Detektif Masa Lalu

Candi Borobudur, photo by Postlicious
Para arkeolog Indonesia membedah peninggalan masa lalu. Tak sebatas menggali, tapi membuka tabir masyarakat dan sistem di zaman itu sebagai warisan budaya bangsa.

Oleh M. Tahir Saleh

MASIH terekam dalam benak Profesor Mundardjito betapa sulit merestorasi Candi Borobudur di Magelang, Jawa Timur, sekitar 34 tahun silam. Ketika itu, Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia (UI) ini ikut membantu pemugaran candi Buddha terbesar di dunia ini.

Candi peninggalan pemerintahan Syailendra abad kesembilan itu dibentuk oleh sekitar 2 juta blok batu andesit. Tim memeriksa sana-sini, mencari tahu dari mana jutaan batu itu diambil. Dengan analisis struktur, bentuk, kekerasan, dan  kepadatan yang mirip, interpretasi didapat bahwa batuan itu berasal dari Kali Blongkeng.

Pertanyaanya: bagaimana jutaan batu itu dibawa ke Borobudur dengan jarak berkilo-kilometer, sementara belum ada mesin otomotif zaman itu? Setelah tak menemukan kulit batu di Borobudur, interpretasi lagi-lagi diperoleh: batu-batu pembentuk candi ternyata dibentuk kotak di Blongkeng supaya efisien dibawa dengan roda kereta saat itu. Kesimpulan alat transportasi ini dikuatkan dengan historical data dari relief-relief Candi Borobudur.

“Kami menggali batu, enggak ketemu kulit batu, berarti batu yang dibawa ke Borobudur itu dari sana [Blongkeng] sudah dibentuk kotak, bukan bulat. Itu perilakunya,” terang Mundardjito, Selasa pekan lalu (21/1).

Sang profesor di Salihara, photo by Salihara, Flickr
Arkeolog senior yang sudah malang melintang meneliti—mulai dari situs Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, hingga Candi Muaro Jambi—itu memberikan kuliah umum bertema ‘Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja di Serambi Salihara, Jakarta, 21 Januari lalu. Sejumlah artikel dan buku mengenai arkeologi pun ditulisnya, seperti Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem dan Teknologi (2009) dan Pertimbangan Ekologis Penempatan Situs Masa Hindu-Buddha di Daerah Yogyakarta (2002).

Baginya pekerjaan arkeolog semacam detektif masa lalu. Layaknya ahli forensik, arkeolog menggali, menemukan, dan membuktikan. Aktivitas arkeolog sangat berpedoman pada disiplin ilmu dan logika, bukan mitos, apalagi rumor. Mereka tak berdiri di atas ‘menara gading’, tapi berupaya menemukan peradaban masa lampau sambil menemukan bukti kelahiran dan keruntuhan warisan budaya itu.

Beberapa analisis yang mendukung kerja arkeolog di antaranya analisis bentuk, lalu analisis konteks bagaimana menghubungkan benda temuan dengan temuan lain. Gerabah, katanya, merupakan benda yang paling sering ditemukan karena dianggap ‘remeh’ dan ditinggalkan penduduk. Tapi, benda ini penting bagi arkeolog. Analisis lain, yakni etnografi dengan fokus pada tempat lain dengan keterkaitan temuan yang sama sebagai penambah data. Lalu, analisis eksperimental yang juga melibatkan spesialis bukan arkeolog.

Sejumlah penemuan bukan sebatas membuka tabir budaya, kesenian, dan perekonomian masa lalu, melainkan bagaimana penemuan itu bermanfaat bagi masa kini, termasuk teknologi. “Ini tampak saat meneliti Majapahit. Sistem pengairan dengan kanal-kanal yang begitu luar biasa, air dialirkan ke pusat kota dengan sangat baik.”

Cecep Eka di Sulsel, photo by Facebook
Cecep Eka Permana, dosen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, menjelaskan perbedaan disiplin arkeologi dengan bidang lain yakni ekskavasi atau penggalian. Artinya bukan menggali gorong-gorong atau gali asal-asalan. Sebelum menggali, pengumpulan data melalui survei wajib dilakukan. Entah itu lewat satelit untuk melihat anomali suatu daerah atau dengan sonar (mendeteksi di bawah laut dengan gelombang suara). Kemudian ditambah dengan kajian kepustakaan.

Arkeolog—yang selalu bekerja dalam tim—pun harus mengecek lapangan untuk membuat test pit atau kotak uji sebelum meletakkan kotak ekskavasi asli. Setelah itu barulah menempatkan kotak ekskavasi. Terdapat empat patok membentuk kotak ini, biasanya untuk latihan mahasiswa, luasnya hanya 2 x 2 meter. Di dalam kotak, dibuat kotak lagi. Di kotak gali inilah arkeolog bekerja.

Rumus awal ini perlu karena, dengan berpedoman pada kotak galian ini, bisa tampak lapisan tanah dan temuannya. Dalam hukum superposisi, lapisan makin ke bawah, makin tua. Kalau ada temuan di luar kotak, dibuatkan kotak lagi dan seterusnya. “Kalau salah melihat dan mencatat, temuan bisa tercampur, padahal berbeda lapisan,” kata Cecep.

Jangan salah, ketika menggali pun arkeolog memakai alat khusus yang biasa menjadi senjata tukang bangunan. “Enggak boleh pakai cangkul, tapi sendok semen, pacul kecil, petel, kete’ [alat dempul],” kata Cecep yang pernah meneliti gua-gua prasejarah di Pangkep, Sulawesi Selatan ini.

Namun, kerap terjadi informasi berasal dari laporan penduduk. Penggalian candi-candi di Batujaya, Karawang, Jawa Barat, pada 1984 adalah hasil informasi masyarakat sekitar. Di kawasan ini, ditemukan candi-candi peninggalan abad keempat sampai abad ketujuh peninggalan Kerajaan Tarumanegara. “Harus hati-hati. Sulit karena lokasinya di tengah sawah, berjibaku dengan air yang kerap masuk ke lobang galian.”

Kehati-hatian itu juga dialami Mundardjito. Saat abu vulkanik Gunung Merapi menutupi Borobudur, bersama sukarelawan, dia memakai bilah bambu untuk membersihkan abu yang menutupi pori-pori batu supaya batu bisa bernafas. “Itu sekeliling Borobudur. Bayangin aja pakai bambu, satu-satu dicongkel, saking cintanya,”

Meski arkeolog punya tugas mulia, Mundardjito berharap masyarakat memiliki pemahaman soal cagar budaya. Ini penting karena masyarakat hidup di tengah-tengah wilayah yang bisa saja dulunya menyimpan harta kebudayaaan. Sebelum restorasi Bodobudur, dia teringat kejadian yang memiriskan hati. “Ada warga menumbuk padi di batu, pas dibuka, busyet dah stupa. Lalu batu di kamar mandi, begitu dilihat, wah ini relief. Saat itu juga kami ganti dengan batu lain, disebar ke masyarakat.”

Dari sisi pemerintah, kepedulian sudah ada, tapi belum maksimal. Dia ingat suatu hari ke Istana Negara untuk melihat bendera pusaka hasil jahitan istri mendiang Presiden Soekarno, Fatmawati. Dia langsung kaget saat melihat pengamanan ‘pusaka tak ternilai’ itu seadanya saja—dengan CCTV tanpa alarm. Beda jauh dengan China yang menerapkan pengamanan tingkat tinggi untuk melindungi warisan budaya.

Dia pun teringat ucapan almarhum Soekmono, salah satu arkeolog Indonesia yang pernah memimpin proyek pemugaran Candi Borobudur (1971-1983). Pundak Mundardjito ditepuk dari belakang dan Soekmono bilang kepadanya: “Jangan sembarang menggali, kalau belum tahu gimana program pelestariannya.”


Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin 3 Februari 2014.
Words: 877

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu