Jumat, 06 Juni 2014

Memburu Pajak ala Balai Kota

Ilustrasi, photo by Portopolioku.Blogspot
Tiga tahun tanpa penyesuaian, langkah Pemprov DKI menaikan NJOP guna mengejar penerimaan pajak ditengarai kian membebani sektor properti yang tengah lesu sejak tahun lalu.

Oleh M. Tahir Saleh

SUWINTO Johan (41) merasa ketinggalan informasi sebagai penduduk Jakarta. Ia terkaget-kaget saat mengetahui rencana Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta menaikkan nilai jual objek pajak (NJOP) 43-117% mulai Februari nanti. Pria ini tinggal di sebuah komplek perumahan di Sunter, Jakarta Utara. Rumah dengan luas 175 meter persegi dan luas bangunan sekitar 200 meter persegi ini dibeli pada 2005.

Suwinto setuju saja dengan kebijakan pemerintah daerah, asal besarannya sesuai dengan harga pasar. Kenaikan ini mestinya juga tidak terlalu ekstrim, tapi bertahap mengingat harga properti fluktuatif. “Harga properti di pasar turun naik, tapi NJOP tak pernah turun,” kata eksekutif sebuah perusahaan yang berbasis di Jakarta tersebut, Rabu (15/1).

Perasaan kaget juga dirasakan Sulistyorini (67). Sejauh ini, ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta Selatan, ini belum menerima sosialisasi NJOP baru. Rumah yang dibeli oleh almarhum suaminya, pensiunan PT Pertamina, ketika kawasan itu dibangun pada 1980, luas bangunannya 180 meter persegi dan tanah 250 meter persegi. “Saya beli [rumah] saat Pondok Indah masih baru. Cukup berat sih pajaknya,” kata dia seraya menambahkan kenaikan NJOP pasti akan menambah beban pengeluarannya.” Dibilang berat, pasti berat. Tapi, mau bagaimana lagi.  Saya ikut saja pemerintah daerah.” Untuk mengantisipasinya, dia berencana mengurangi anggaran pengeluaran lain.

Pemda Jakarta memang lagi getol-getolnya menggenjot penerimaan pajak, salah satunya dari pajak bumi dan bangunan perkotaan dan perdesaan (PBB-P2). Satu langkahnya menaikkan NJOP tanah mendekati harga pasar. Strategi ini diambil lantaran, selama tiga tahun terakhir, penyesuaian NJOP belum pernah terjadi. Akibatnya, pesatnya pertumbuhan properti membuat disparitas harga tanah di pasaran dengan NJOP semakin lebar. Misalnya harga tanah di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, sudah menembus Rp65 juta per meter persegi, padahal NJOP tanahnya hanya Rp33 juta.

Ahok dan Jokowi, photo by Solopos
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan wakilnya Basuki Tjahaja Purnama juga butuh sumber penerimaan besar untuk membangun Ibu Kota. Pajak daerah termasuk sumber utama penerimaan daerah. Perlu dicatat, penaikan NJOP ini bervariasi sesuai dengan klasifikasi daerah sehingga tak semua wilayah di Jakarta naik signifikan.

Menurut Basuki Tjahaja Purnama, atau akrab disapa Ahok, wajar bila NJOP dinaikkan karena sudah lama belum dinaikkan. Padahal nilai pasarnya sudah jauh berbeda. Pembayaran PBB memang naik, tapi ada klasifikasi tarif sebagai asas keadilan. Mantan Bupati Belitung Timur ini mempertegas bahwa kebijakan ini sebetulnya bukan semata-mata mengejar setoran pajak. “Bukan mengejar pendapatan asli daerah. Ini sudah tiga tahun tak naik. Berbahaya kalau kami tidak menyesuaikannya dengan harga pasar,” ujarnya Jumat (10/1) malam di Balai Kota. “Sekarang harga pasar dengan NJOP bedanya lima kali lho.”

Saat memimpin rapat bersama pada Rabu 8 Januari lalu, Ahok mencermati betul pembahasan NJOP. Dalam video rapat berdurasi 1 jam 2 menit yang diunggah ke situs ahok.org dan YouTube, Ahok acap kali menginterupsi Iwan Setiawandi, Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, saat memaparkan penetapan NJOP 2014. Rapat pun merembet mengenai bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).

Pemerintah Provinsi Jakarta ingin mengunci BPHTB selama dua tahun. Maksudnya jika seseorang akan membeli rumah atau properti, dia tak boleh menjualnya selama 2-3 tahun. Tujuannya  untuk membatasi gerak para spekulan yang kerap mendongkrak harga properti dan tanah. “Di Singapura kebijakannya begitu. Kalau tidak nanti terjadi goreng-menggoreng rumah,” tegas Ahok. “Jujur saja, [aturan] yang Bapak [Iwan] buat ini semuanya bagus meski perlu asas keadilan.”

Dengan perubahan NJOP mendekati harga pasar, Iwan optimistis pendapatan PBB-P2 tahun ini terdongkrak mencapai Rp6,7 triliun, lebih tinggi dari target tahun lalu sebesar Rp3,6 triliun. Tahun lalu tercapai Rp3,37 triliun atau 93,7% dari target. Dari jumlah ini, Rp317,03 miliar merupakan realisasi penerimaan piutang, utang tertunggak sebelumnya.

Tahun ini, beberapa upaya pengamanan penerimaan pajak dilakukan mulai dari mengintensifkan objek pajak, koordinasi dengan lurah, percepatan penyampaian surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT), sosialisasi wajib pajak, pencairan tunggakan, penagihan, hingga bekerja sama dengan instansi lain misalnya juru sita. Total target pajak tahun ini mencapai Rp32,5 triliun—termasuk di dalamnya target PBB-P2 Rp6,7 triliun dan BPHTB Rp5 triliun. Tahun lalu total pajak terealisasi hingga Rp23,11 triliun, 102% melebihi target yang ditetapkan Rp22,61 triliun.

Berdasarkan data Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, ada 1,89 juta pemilik Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) untuk PBB-P2. Dari jumlah itu, sebanyak 1,19 juta atau 83% taat pajak, sedangkan 37% atau 704.190 orang masih menunggak.

Penyesuaian NJOP adalah satu dari sejumlah strategi pokok dalam pemungutan PBB-P2.  Penyesuaian mulai berlaku saat SPPT untuk PBB diterbitkan Februari mendatang. Namun, sepekan setelah rapat 8 Januari lalu, Jokowi belum meneken peraturan gubernur tentang Penetapan NJOP PBB-P2 Tahun 2014. “Peraturan gubernurnya masih proses pengetikan di biro umum. Targetnya minggu ini [rampung],” kata Iwan melalui pesan singkat, Rabu (15/1).

 **

SEMULA PBB merupakan pajak pusat yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak (Kementerian Keuangan). Namun, berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBB P2 dan BPHTB dilimpahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Pelimpahan pengelolaan PBB P2 kepada pemerintah daerah harus dilaksanakan selambat-lambatnya pada Januari 2014. Adapun pelimpahan pengelolaan BPHTB sudah dilakukan sejak Januari 2011.
Ada lima sektor PBB yang dikelola pusat, yakni perdesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dari lima sektor ini, hanya PBB sektor perdesaan, perkotaan, dan BPHTB yang dilimpahkan ke daerah. Pemerintah daerah sebelumnya sudah mengelola 10 pajak: pajak kendaraan bermotor, bea balik nama, bahan bakar kendaraan, hotel, restoran, hiburan, reklame, air dan tanah, penerangan jalan, dan pajak parkir. Hingga 18 Maret tahun lalu, baru 284 daerah atau 57,7% dari jumlah daerah yang menetapkan Perda PBB-P2 termasuk Jakarta.

Ketika masih digarap Direktorat Jenderal Pajak, target PBB-P2 DKI Jakarta baru berada pada level Rp1,75 triliun. Peralihan ini akan menstimulus pemerintah provinsi Jakarta lebih gencar lagi mengejar target tahun ini yang sebesar Rp6,7 triliun. Pusat juga mewariskan piutang pajak sekitar Rp3,6 triliun, tunggakan yang sudah ada sejak 1993.

Setelah dialihkan, pemerintah provinsi Jakarta ‘terpaksa’ memberi stimulus potongan 25% pokok, sanksi serta penghapusan bunga untuk piutang periode 2008-2012 dan potongan 50% pokok (sanksi dan denda dihapus) untuk tunggakan 2007-2003 agar penunggak berbondong-bondong membayar PBB. Strategi pertama sudah dilakukan dengan membuat peraturan daerah nomor 16/2011 tentang PBB-P2 yang diteken Gubernur DKI sebelumnya, Fauzi Bowo.

Tarif PBB pun berubah. Perhitungan tarif tak lagi serentak 0,5%, tapi terklasifikasi menjadi empat: NJOP di bawah Rp200 juta dikenakan tarif 0,01%, NJOP Rp200 juta-2 miliar kena 0,1%, NJOP Rp2-10 miliar sebesar 0,2%, dan NJOP di atas Rp10 miliar kena 0,3%. Dasar pengenaan pajak rumusnya menjadi NJOP dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Rp15 juta. “Kami sebetulnya menjalankan apa yang harusnya dilakukan tiga tahun lalu. Itu normal,” kata Kepala Seksi Perencanaan Pengembangan Potensi Pajak Daerah Dinas Pelayanan Pajak DKI Aulia Salman, Senin (13/1). “Tarif PBB saja kami turunkan, sebelumnya rata-rata 0,5%, kini empat tarif.”

Penaikan NJOP merupakan langkah lanjutan dari peralihan tersebut dan bukan wacana dadakan. Pada Agustus tahun lalu sudah dibentuk Tim Koordinasi Perumusan NJOP DKI Jakarta dan dilanjutkan dengan pengumpulan informasi harga properti sepanjang Agustus-September 2013 sekaligus pemutakhiran nilai indikasi rata-rata (NIR). Rapat koordinasi digelar pertama pada Oktober tahun lalu, sebulan kemudian disusun peraturan gubernur tentang NJOP.

Namun, Aulia sedikit mengoreksi pernyataan Ahok, bosnya, tentang persentase penaikan NJOP yang sebetulnya naik antara 43-117%. “Mohon maaf, salah format. Jadi NJOP bukan naik sampai 240%, tapi perbedaan NJOP dengan harga pasar mencapai 240%,” katanya.

Dengan perubahan ini, mulai Januari, NJOP di Jalan MH. Thamrin naik 105% dari Rp33,44 juta menjadi Rp68,55 juta per meter persegi, Jalan Jenderal Sudirman dari Rp31,87 juta menjadi Rp66,25 juta per meter persegi (108%), Jalan Gatot Subroto dari 28,85 juta menjadi Rp59,62 juta per meter persegi (107%), dan Jalan E.E Martadinata dari Rp7,45 juta menjadi Rp16,15 juta per meter persegi (117%). “Kami hati-hati sekali, sebisa mungkin [NJOP] tidak di atas harga pasar. Kalau di atas harga pasar, masyarakat cenderung protes,” ujar Aulia.
NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli wajar. Bila tidak terjadi transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru.

Menurut Aulia, butuh kerja keras untuk sampai pada angka NJOP yang mendekati harga pasar. Informasi gelap karena tak ada lembaga yang mendedahkan data resmi harga properti. Tim terpaksa menelusuri via internet, situs-situs rumah, mencari harga penawaran dari majalah hingga telepon. Semua dikumpulkan. Pernah suatu hari, katanya, salah seorang staf unit pajak di kelurahan atau unit pelayanan pajak daerah (UPPD) DKI Jakarta berpura-pura menyewa apartemen di Kalibata lalu iseng bertanya harga apartemen. Dari penelusuran itu, terungkap harga riil rumah sekitar 70-80% dari harga penawaran dengan asumsi terjadi transaksi.

Beberapa informasi di Balai Kota menyebutkan bahwa sebetulnya penyesuaian nilai objek pajak berkaitan dengan pembebasan lahan sejumlah proyek pemerintah, misalnya jalan tol atau Mass Rapid Transportation (MRT). Bila NJOP mendekati harga pasar, alotnya negosiasi harga tanah bisa lebih mudah dipecahkan. Namun, konsekuensinya pemerintah harus menanggung pembengkakan anggaran pembebasan lahan setelah terjadi penyesuaian NJOP ini.

Asisten Perekonomian dan Administrasi Sekda DKI Jakarta Hasan Basri Saleh menambahkan penyesuaian harga berkaitan dengan konsep yang tengah dikembangkan, yakni meningkatkan nilai properti melalui perbaikan infrastruktur, terutama soal akses. “Kami akan perbaiki konsepnya sejalan dengan peruntukan ruang dan peningkatan aksesibilitas atau transit oriented development (TOD),” ujarnya. “TOD ini terkait dengan lokasi stasiun transit utama MRT yang akan dikembangkan berikut kawasan dalam radius 700 meter.” Namun, merealisasikan rencana kenaikan NJOP tak semudah membalikkan telapak tangan. Salah satunya, kata  dia, penolakan dari masyarakat menjadi salah satu hal yang paling dikhawatirkan menyeruak. “Datanya juga sulit sekali,” katanya.
**


AULIA benar. Kritik pun datang. Salah satunya dari kalangan pengembang properti.  Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo menyoroti kebijakan ini karena berlawanan dengan kebijakan Bank Indonesia. Tahun lalu, BI merilis kebijakan loan to value (LTV) dan pengetatannya guna mencegah potensi bubble di sektor properti yang disebabkan harga properti melambung tak wajar.

Selama ini, transaksi properti mengacu pada harga pasar, sedangkan harga pasar biasanya bisa lebih dari dua kali lipat NJOP. Apabila NJOP naik, harga pasar untuk tanah berpotensi ikut naik meski tak selalu otomatis. “Ada overvalue dari harga tanah dan pastinya overheating," ujarnya. “Jadi malah berpotensi bubble.”

Menurut Eddy, kenaikan NJOP di Jakarta akan mendorong pasar properti bergeser ke kawasan penyangga Jakarta, misalnya Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Harga tanah di kawasan satelit itu bakal naik karena tanah di Jakarta melambung, sedangkan ketersediaan tanah terbatas.

Di mata Direktur Riset Jones Lang Lasale Anton Sitorus, kebijakan NJOP juga berpotensi menambah kelesuan industri properti tahun ini, melanjutkan perlambatan sejak tahun lalu. “Keinginan orang untuk menaikan harga tanahnya sangat besar," ujar Anton.

Selama ini harga tanah lebih tinggi lebih dua kali lipat dari NJOP. Bila NJOP naik 117%, harga tanah juga berpotensi naik dengan nilai yang sama. Fenomenanya harga pasar untuk tanah selalu balapan dengan NJOP. Hampir mustahil NJOP melampaui harga tanah. Jika harga tanah terus naik, daya beli pun terpengaruh. Akibatnya, sektor properti bukan hanya melambat, melainkan stagnan.

Theresia, dok pribadi, by Investor
Indikasi itulah yang dikhawatirkan oleh Theresia Rustandi, Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk. Langkah pemerintah DKI Jakarta, ujarnya, bisa memberatkan sektor properti karena tahun ini pengembang sudah mengalami banyak tekanan dari sejumlah kebijakan pemerintah. Kebijakan itu di antaranya kenaikan BI Rate dan pengetatan aturan LTV. Ditambah NJOP naik, harga berpotensi ikut terkerek dan akan menambah daftar sentimen negatif bagi industri properti.  “Lengkap sudah penderitaan industri properti, padahal industri ini menyumbang cukup signifikan bagi perekonomian nasional," ujar Theresia.

Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Seluruh Indonesia Sanny Iskandar mengatakan dampak penetapan kenaikan NJOP dan pajak—PBB—bergantung besarannya. Bila tinggi, secara psikologis akan mendorong kenaikan harga jual properti. Tapi, dia lebih khawatir soal sewa karena selama ini tren harga sewa berkorelasi positif terhadap harga jual properti.

Dampak kenaikan harga sewa, kata Sanny, bisa membuat pengusaha di kawasan industri tak kerasan dan merelokasi pabrik ke daerah lain. “Semua kemungkinan pasti ada, jika perbedaan dengan daerah lain cukup signifikan," ujarnya.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, dampak langsung kenaikan NJOP dan PBB P2 memang tak besar. Namun, dampak tidak langsung bisa besar, misalnya memicu kenaikan harga sewa rumah dan kontrakan pekerja atau buruh. Sewa rumah merupakan salah satu komponen dalam menghitung kebutuhan hidup layak (KHL). Jika kebutuhan hidup layak naik, bisa memicu pekerja menuntut kenaikan upah yang lebih besar lagi tahun depan.

Perbankan yang berhubungan dengan sektor properti bisa saja terpengaruh meski dampaknya relatif sangat kecil. “Selama kenaikan NJOP masih mencerminkan harga wajar di lapangan, tidak masalah,” kata Direktur Compliance and Risk management PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. Andi Buchari kepada Bloomberg Businessweek Indonesia di Jakarta, Senin (13/3).

Namun, Andi mengakui, kenaikan NJOP Jakarta sedikit banyak bisa memengaruhi minat masyarakat untuk mengambil kredit pemilikan rumah (KPR) atau kredit pemilikan apartemen lantaran biaya transaksinya meningkat. “Minat masyarakat mengambil KPR  bisa saja menurun karena mereka akan berpikir ulang soal beban pajak yang tinggi. Apalagi nanti bila harga propertinya juga naik,” ujarnya.

Sinyalemen yang diutarakan Andi boleh jadi benar. Sebab dengan kenaikan NJOP, biaya transaksi properti seperti BPHTB akan naik. Pilihannya pengembang properti membebaskan konsumennya membayar BPHTB dan menanggungnya, atau bank yang sukarela membayarkannya.  Menurut Andi, kenaikan NJOP tidak akan otomatis memengaruhi kredit bermasalah (NPL) perbankan. Namun, dengan kenaikan PBB P2, masyarakat Jakarta yang mengambil KPR atau KPA tentu harus menghitung ulang pengeluarannya. Jika tidak, beban akan bertumpuk—termasuk kewajiban membayar angsuran kredit ke bank.

Likuiditas perbankan, kata Andi, tak akan terpengaruh langsung oleh kenaikan NJOP Jakarta. Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk. Budi Gunadi Sadikin dan Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) Jahja Setiaatmadja juga menegaskan kenaikan NJOP tak akan memengaruhi likuiditas bank meskipun nilai jaminan oleh perbankan bisa saja naik. Kredit bermasalah juga takkan terpengaruh. “Dampak ke likuiditas bank pengaruhnya sangat kecil sekali,” kata Jahja.

Budi menambahkan tidak ada pengaruh terhadap kredit yang akan dikucurkan. Tapi memang ke depan, bank akan melihat lagi kemampuan calon debitor pasca-kenaikan NJOP Jakarta.

Ekonomi Mandiri, Destri, by Inilah, istimewa
Kepala Ekonom Bank Mandiri Destri Damayanti mengatakan porsi kredit properti di perbankan nasional tak terlalu besar, sekitar 8-9% dari total penyaluran kredit—Rp3.068 triliun sampai Agustus 2013. Walhasil efek kenaikan NJOP, khususnya di Jakarta, tidak akan menggoncang kredit perbankan secara keseluruhan. Sektor properti, kata Destry, menjadi sektor paling diwaspadai oleh bank sentral, apalagi pertumbuhannya sangat tinggi di atas 30%. Namun, bank-bank punya penilai aset sendiri sehingga tak hanya berpatok pada NJOP. “Bank juga mengikuti harga pasar. Bank tidak akan jor-joran dalam meningkatkan kapasitas kreditnya nanti.”

Signifikan atau tidak dampaknya terhadap sejumlah sektor perekonomian, tekad pemerintah Jakarta tampaknya sudah bulat untuk menaikkan NJOP. Tinggal menunggu Jokowi meneken saja peraturan gubernurnya.  Barangkali—meski tidak pas benar—candaan Ahok dalam video di YouTube bisa menjadi pertanda. “Pernah nonton film Holywood? Mau mengejar penjahat kan kejar dari pajaknya. Holywood kan begitu filmnya. Jadi nonton film itu mesti belajar,” kata Ahok disambut senyum-senyum para stafnya.

 —bersama Safrezi Fitra, Ratna Wahyuningsih, dan Bunga Dewi Kusuma

Tulisan ini terbit di Majalah Bloomberg Businessweek Indonesia,  Senin, 20 Januari 2014
Words: 2.394



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu