![]() |
Ilustrasi, photo by Portopolioku.Blogspot |
Oleh
M. Tahir Saleh
SUWINTO
Johan (41) merasa ketinggalan informasi sebagai penduduk Jakarta. Ia
terkaget-kaget saat mengetahui rencana Pemerintah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta menaikkan nilai jual objek pajak (NJOP) 43-117% mulai Februari
nanti. Pria ini tinggal di sebuah komplek perumahan di Sunter, Jakarta Utara.
Rumah dengan luas 175 meter persegi dan luas bangunan sekitar 200 meter persegi
ini dibeli pada 2005.
Suwinto
setuju saja dengan kebijakan pemerintah daerah, asal besarannya sesuai dengan
harga pasar. Kenaikan ini mestinya juga tidak terlalu ekstrim, tapi bertahap
mengingat harga properti fluktuatif. “Harga properti di pasar turun naik, tapi
NJOP tak pernah turun,” kata eksekutif sebuah perusahaan yang berbasis di
Jakarta tersebut, Rabu (15/1).
Perasaan
kaget juga dirasakan Sulistyorini (67). Sejauh ini, ibu rumah tangga yang
tinggal di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta Selatan, ini belum menerima
sosialisasi NJOP baru. Rumah yang dibeli oleh almarhum suaminya, pensiunan PT
Pertamina, ketika kawasan itu dibangun pada 1980, luas bangunannya 180 meter
persegi dan tanah 250 meter persegi. “Saya beli [rumah] saat Pondok Indah masih
baru. Cukup berat sih pajaknya,” kata dia seraya menambahkan kenaikan NJOP
pasti akan menambah beban pengeluarannya.” Dibilang berat, pasti berat. Tapi,
mau bagaimana lagi. Saya ikut saja
pemerintah daerah.” Untuk mengantisipasinya, dia berencana mengurangi anggaran
pengeluaran lain.
Pemda
Jakarta memang lagi getol-getolnya menggenjot penerimaan pajak, salah satunya
dari pajak bumi dan bangunan perkotaan dan perdesaan (PBB-P2). Satu langkahnya
menaikkan NJOP tanah mendekati harga pasar. Strategi ini diambil lantaran,
selama tiga tahun terakhir, penyesuaian NJOP belum pernah terjadi. Akibatnya,
pesatnya pertumbuhan properti membuat disparitas harga tanah di pasaran dengan
NJOP semakin lebar. Misalnya harga tanah di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat,
sudah menembus Rp65 juta per meter persegi, padahal NJOP tanahnya hanya Rp33
juta.
![]() |
Ahok dan Jokowi, photo by Solopos |
Menurut
Basuki Tjahaja Purnama, atau akrab disapa Ahok, wajar bila NJOP dinaikkan
karena sudah lama belum dinaikkan. Padahal nilai pasarnya sudah jauh berbeda.
Pembayaran PBB memang naik, tapi ada klasifikasi tarif sebagai asas keadilan.
Mantan Bupati Belitung Timur ini mempertegas bahwa kebijakan ini sebetulnya
bukan semata-mata mengejar setoran pajak. “Bukan mengejar pendapatan asli
daerah. Ini sudah tiga tahun tak naik. Berbahaya kalau kami tidak
menyesuaikannya dengan harga pasar,” ujarnya Jumat (10/1) malam di Balai Kota.
“Sekarang harga pasar dengan NJOP bedanya lima kali lho.”
Saat
memimpin rapat bersama pada Rabu 8 Januari lalu, Ahok mencermati betul
pembahasan NJOP. Dalam video rapat berdurasi 1 jam 2 menit yang diunggah ke
situs ahok.org dan YouTube, Ahok acap kali menginterupsi Iwan Setiawandi,
Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, saat memaparkan penetapan NJOP 2014.
Rapat pun merembet mengenai bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
Pemerintah
Provinsi Jakarta ingin mengunci BPHTB selama dua tahun. Maksudnya jika
seseorang akan membeli rumah atau properti, dia tak boleh menjualnya selama 2-3
tahun. Tujuannya untuk membatasi gerak
para spekulan yang kerap mendongkrak harga properti dan tanah. “Di Singapura kebijakannya
begitu. Kalau tidak nanti terjadi goreng-menggoreng rumah,” tegas Ahok. “Jujur
saja, [aturan] yang Bapak [Iwan] buat ini semuanya bagus meski perlu asas
keadilan.”
Dengan
perubahan NJOP mendekati harga pasar, Iwan optimistis pendapatan PBB-P2 tahun
ini terdongkrak mencapai Rp6,7 triliun, lebih tinggi dari target tahun lalu
sebesar Rp3,6 triliun. Tahun lalu tercapai Rp3,37 triliun atau 93,7% dari
target. Dari jumlah ini, Rp317,03 miliar merupakan realisasi penerimaan
piutang, utang tertunggak sebelumnya.
Tahun
ini, beberapa upaya pengamanan penerimaan pajak dilakukan mulai dari
mengintensifkan objek pajak, koordinasi dengan lurah, percepatan penyampaian
surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT), sosialisasi wajib pajak, pencairan
tunggakan, penagihan, hingga bekerja sama dengan instansi lain misalnya juru
sita. Total target pajak tahun ini mencapai Rp32,5 triliun—termasuk di dalamnya
target PBB-P2 Rp6,7 triliun dan BPHTB Rp5 triliun. Tahun lalu total pajak
terealisasi hingga Rp23,11 triliun, 102% melebihi target yang ditetapkan
Rp22,61 triliun.
Berdasarkan
data Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, ada 1,89 juta pemilik Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) untuk PBB-P2. Dari jumlah itu, sebanyak
1,19 juta atau 83% taat pajak, sedangkan 37% atau 704.190 orang masih
menunggak.
Penyesuaian
NJOP adalah satu dari sejumlah strategi pokok dalam pemungutan PBB-P2. Penyesuaian mulai berlaku saat SPPT untuk PBB
diterbitkan Februari mendatang. Namun, sepekan setelah rapat 8 Januari lalu,
Jokowi belum meneken peraturan gubernur tentang Penetapan NJOP PBB-P2 Tahun
2014. “Peraturan gubernurnya masih proses pengetikan di biro umum. Targetnya
minggu ini [rampung],” kata Iwan melalui pesan singkat, Rabu (15/1).
**
SEMULA PBB merupakan pajak
pusat yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak (Kementerian Keuangan).
Namun, berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, PBB P2 dan BPHTB dilimpahkan pengelolaannya kepada pemerintah
daerah. Pelimpahan pengelolaan PBB P2 kepada pemerintah daerah harus
dilaksanakan selambat-lambatnya pada Januari 2014. Adapun pelimpahan
pengelolaan BPHTB sudah dilakukan sejak Januari 2011.
Ada
lima sektor PBB yang dikelola pusat, yakni perdesaan, perkotaan, perkebunan,
perhutanan, dan pertambangan. Dari lima sektor ini, hanya PBB sektor perdesaan,
perkotaan, dan BPHTB yang dilimpahkan ke daerah. Pemerintah daerah sebelumnya
sudah mengelola 10 pajak: pajak kendaraan bermotor, bea balik nama, bahan bakar
kendaraan, hotel, restoran, hiburan, reklame, air dan tanah, penerangan jalan,
dan pajak parkir. Hingga 18 Maret tahun lalu, baru 284 daerah atau 57,7% dari
jumlah daerah yang menetapkan Perda PBB-P2 termasuk Jakarta.
Ketika
masih digarap Direktorat Jenderal Pajak, target PBB-P2 DKI Jakarta baru berada
pada level Rp1,75 triliun. Peralihan ini akan menstimulus pemerintah provinsi
Jakarta lebih gencar lagi mengejar target tahun ini yang sebesar Rp6,7 triliun.
Pusat juga mewariskan piutang pajak sekitar Rp3,6 triliun, tunggakan yang sudah
ada sejak 1993.
Setelah
dialihkan, pemerintah provinsi Jakarta ‘terpaksa’ memberi stimulus potongan 25%
pokok, sanksi serta penghapusan bunga untuk piutang periode 2008-2012 dan
potongan 50% pokok (sanksi dan denda dihapus) untuk tunggakan 2007-2003 agar
penunggak berbondong-bondong membayar PBB. Strategi pertama sudah dilakukan
dengan membuat peraturan daerah nomor 16/2011 tentang PBB-P2 yang diteken
Gubernur DKI sebelumnya, Fauzi Bowo.
Tarif
PBB pun berubah. Perhitungan tarif tak lagi serentak 0,5%, tapi terklasifikasi
menjadi empat: NJOP di bawah Rp200 juta dikenakan tarif 0,01%, NJOP Rp200
juta-2 miliar kena 0,1%, NJOP Rp2-10 miliar sebesar 0,2%, dan NJOP di atas Rp10
miliar kena 0,3%. Dasar pengenaan pajak rumusnya menjadi NJOP dikurangi NJOP
Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Rp15 juta. “Kami sebetulnya menjalankan apa yang
harusnya dilakukan tiga tahun lalu. Itu normal,” kata Kepala Seksi Perencanaan
Pengembangan Potensi Pajak Daerah Dinas Pelayanan Pajak DKI Aulia Salman, Senin
(13/1). “Tarif PBB saja kami turunkan, sebelumnya rata-rata 0,5%, kini empat
tarif.”
Penaikan
NJOP merupakan langkah lanjutan dari peralihan tersebut dan bukan wacana
dadakan. Pada Agustus tahun lalu sudah dibentuk Tim Koordinasi Perumusan NJOP
DKI Jakarta dan dilanjutkan dengan pengumpulan informasi harga properti
sepanjang Agustus-September 2013 sekaligus pemutakhiran nilai indikasi
rata-rata (NIR). Rapat koordinasi digelar pertama pada Oktober tahun lalu,
sebulan kemudian disusun peraturan gubernur tentang NJOP.
Namun,
Aulia sedikit mengoreksi pernyataan Ahok, bosnya, tentang persentase penaikan
NJOP yang sebetulnya naik antara 43-117%. “Mohon maaf, salah format. Jadi NJOP
bukan naik sampai 240%, tapi perbedaan NJOP dengan harga pasar mencapai 240%,”
katanya.
Dengan
perubahan ini, mulai Januari, NJOP di Jalan MH. Thamrin naik 105% dari Rp33,44
juta menjadi Rp68,55 juta per meter persegi, Jalan Jenderal Sudirman dari
Rp31,87 juta menjadi Rp66,25 juta per meter persegi (108%), Jalan Gatot Subroto
dari 28,85 juta menjadi Rp59,62 juta per meter persegi (107%), dan Jalan E.E
Martadinata dari Rp7,45 juta menjadi Rp16,15 juta per meter persegi (117%).
“Kami hati-hati sekali, sebisa mungkin [NJOP] tidak di atas harga pasar. Kalau
di atas harga pasar, masyarakat cenderung protes,” ujar Aulia.
NJOP
adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli wajar. Bila
tidak terjadi transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga
dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru.
Menurut
Aulia, butuh kerja keras untuk sampai pada angka NJOP yang mendekati harga
pasar. Informasi gelap karena tak ada lembaga yang mendedahkan data resmi harga
properti. Tim terpaksa menelusuri via internet, situs-situs rumah, mencari
harga penawaran dari majalah hingga telepon. Semua dikumpulkan. Pernah suatu
hari, katanya, salah seorang staf unit pajak di kelurahan atau unit pelayanan
pajak daerah (UPPD) DKI Jakarta berpura-pura menyewa apartemen di Kalibata lalu
iseng bertanya harga apartemen. Dari penelusuran itu, terungkap harga riil
rumah sekitar 70-80% dari harga penawaran dengan asumsi terjadi transaksi.
Beberapa
informasi di Balai Kota menyebutkan bahwa sebetulnya penyesuaian nilai objek
pajak berkaitan dengan pembebasan lahan sejumlah proyek pemerintah, misalnya
jalan tol atau Mass Rapid Transportation (MRT). Bila NJOP mendekati harga
pasar, alotnya negosiasi harga tanah bisa lebih mudah dipecahkan. Namun,
konsekuensinya pemerintah harus menanggung pembengkakan anggaran pembebasan
lahan setelah terjadi penyesuaian NJOP ini.
Asisten
Perekonomian dan Administrasi Sekda DKI Jakarta Hasan Basri Saleh menambahkan
penyesuaian harga berkaitan dengan konsep yang tengah dikembangkan, yakni
meningkatkan nilai properti melalui perbaikan infrastruktur, terutama soal
akses. “Kami akan perbaiki konsepnya sejalan dengan peruntukan ruang dan
peningkatan aksesibilitas atau transit oriented development (TOD),” ujarnya.
“TOD ini terkait dengan lokasi stasiun transit utama MRT yang akan dikembangkan
berikut kawasan dalam radius 700 meter.” Namun, merealisasikan rencana kenaikan
NJOP tak semudah membalikkan telapak tangan. Salah satunya, kata dia, penolakan dari masyarakat menjadi salah
satu hal yang paling dikhawatirkan menyeruak. “Datanya juga sulit sekali,”
katanya.
**
AULIA benar. Kritik pun datang.
Salah satunya dari kalangan pengembang properti. Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan
Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo menyoroti kebijakan ini
karena berlawanan dengan kebijakan Bank Indonesia. Tahun lalu, BI merilis kebijakan
loan to value (LTV) dan pengetatannya guna mencegah potensi bubble di sektor
properti yang disebabkan harga properti melambung tak wajar.
Selama
ini, transaksi properti mengacu pada harga pasar, sedangkan harga pasar
biasanya bisa lebih dari dua kali lipat NJOP. Apabila NJOP naik, harga pasar
untuk tanah berpotensi ikut naik meski tak selalu otomatis. “Ada overvalue dari
harga tanah dan pastinya overheating," ujarnya. “Jadi malah berpotensi
bubble.”
Menurut
Eddy, kenaikan NJOP di Jakarta akan mendorong pasar properti bergeser ke
kawasan penyangga Jakarta, misalnya Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Harga tanah
di kawasan satelit itu bakal naik karena tanah di Jakarta melambung, sedangkan
ketersediaan tanah terbatas.
Di
mata Direktur Riset Jones Lang Lasale Anton Sitorus, kebijakan NJOP juga
berpotensi menambah kelesuan industri properti tahun ini, melanjutkan
perlambatan sejak tahun lalu. “Keinginan orang untuk menaikan harga tanahnya
sangat besar," ujar Anton.
Selama
ini harga tanah lebih tinggi lebih dua kali lipat dari NJOP. Bila NJOP naik
117%, harga tanah juga berpotensi naik dengan nilai yang sama. Fenomenanya
harga pasar untuk tanah selalu balapan dengan NJOP. Hampir mustahil NJOP
melampaui harga tanah. Jika harga tanah terus naik, daya beli pun terpengaruh.
Akibatnya, sektor properti bukan hanya melambat, melainkan stagnan.
![]() |
Theresia, dok pribadi, by Investor |
Ketua
Umum Himpunan Kawasan Industri Seluruh Indonesia Sanny Iskandar mengatakan dampak
penetapan kenaikan NJOP dan pajak—PBB—bergantung besarannya. Bila tinggi,
secara psikologis akan mendorong kenaikan harga jual properti. Tapi, dia lebih
khawatir soal sewa karena selama ini tren harga sewa berkorelasi positif
terhadap harga jual properti.
Dampak
kenaikan harga sewa, kata Sanny, bisa membuat pengusaha di kawasan industri tak
kerasan dan merelokasi pabrik ke daerah lain. “Semua kemungkinan pasti ada,
jika perbedaan dengan daerah lain cukup signifikan," ujarnya.
Menurut
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, dampak
langsung kenaikan NJOP dan PBB P2 memang tak besar. Namun, dampak tidak
langsung bisa besar, misalnya memicu kenaikan harga sewa rumah dan kontrakan
pekerja atau buruh. Sewa rumah merupakan salah satu komponen dalam menghitung
kebutuhan hidup layak (KHL). Jika kebutuhan hidup layak naik, bisa memicu
pekerja menuntut kenaikan upah yang lebih besar lagi tahun depan.
Perbankan
yang berhubungan dengan sektor properti bisa saja terpengaruh meski dampaknya
relatif sangat kecil. “Selama kenaikan NJOP masih mencerminkan harga wajar di
lapangan, tidak masalah,” kata Direktur Compliance and Risk management PT. Bank
Muamalat Indonesia Tbk. Andi Buchari kepada Bloomberg Businessweek Indonesia di
Jakarta, Senin (13/3).
Namun,
Andi mengakui, kenaikan NJOP Jakarta sedikit banyak bisa memengaruhi minat
masyarakat untuk mengambil kredit pemilikan rumah (KPR) atau kredit pemilikan
apartemen lantaran biaya transaksinya meningkat. “Minat masyarakat mengambil
KPR bisa saja menurun karena mereka akan
berpikir ulang soal beban pajak yang tinggi. Apalagi nanti bila harga
propertinya juga naik,” ujarnya.
Sinyalemen
yang diutarakan Andi boleh jadi benar. Sebab dengan kenaikan NJOP, biaya
transaksi properti seperti BPHTB akan naik. Pilihannya pengembang properti
membebaskan konsumennya membayar BPHTB dan menanggungnya, atau bank yang
sukarela membayarkannya. Menurut Andi,
kenaikan NJOP tidak akan otomatis memengaruhi kredit bermasalah (NPL)
perbankan. Namun, dengan kenaikan PBB P2, masyarakat Jakarta yang mengambil KPR
atau KPA tentu harus menghitung ulang pengeluarannya. Jika tidak, beban akan
bertumpuk—termasuk kewajiban membayar angsuran kredit ke bank.
Likuiditas
perbankan, kata Andi, tak akan terpengaruh langsung oleh kenaikan NJOP Jakarta.
Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk. Budi Gunadi Sadikin dan Presiden Direktur
PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) Jahja Setiaatmadja juga menegaskan kenaikan
NJOP tak akan memengaruhi likuiditas bank meskipun nilai jaminan oleh perbankan
bisa saja naik. Kredit bermasalah juga takkan terpengaruh. “Dampak ke
likuiditas bank pengaruhnya sangat kecil sekali,” kata Jahja.
Budi
menambahkan tidak ada pengaruh terhadap kredit yang akan dikucurkan. Tapi
memang ke depan, bank akan melihat lagi kemampuan calon debitor pasca-kenaikan
NJOP Jakarta.
![]() |
Ekonomi Mandiri, Destri, by Inilah, istimewa |
Signifikan
atau tidak dampaknya terhadap sejumlah sektor perekonomian, tekad pemerintah
Jakarta tampaknya sudah bulat untuk menaikkan NJOP. Tinggal menunggu Jokowi
meneken saja peraturan gubernurnya.
Barangkali—meski tidak pas benar—candaan Ahok dalam video di YouTube
bisa menjadi pertanda. “Pernah nonton film Holywood? Mau mengejar penjahat kan
kejar dari pajaknya. Holywood kan begitu filmnya. Jadi nonton film itu mesti
belajar,” kata Ahok disambut senyum-senyum para stafnya.
—bersama
Safrezi Fitra, Ratna Wahyuningsih, dan Bunga Dewi Kusuma
Tulisan ini terbit di
Majalah Bloomberg Businessweek Indonesia,
Senin, 20 Januari 2014
Words: 2.394
Words: 2.394
Tidak ada komentar:
Posting Komentar