Tiga tahun
berturut-turut mencetak rugi, dua operator telekomunikasi berbasis CDMA ini menggabungkan
jaringan, indikasi awal merger kedua perusahaan.
Oleh
M. Tahir Saleh dan Ratna Wahyuningsih
|
Anindya, photo by flickr |
RABU sore, 14 Maret 2012, Anindya Novyan Bakrie menggelar konferensi pers di sebuah
hotel ternama di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Komisaris Utama PT Bakrie Telecom
Tbk.—yang kala itu menjabat direktur utama perseroan—membeberkan kerja sama
bisnis dengan mitranya, PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI). Hadir pula
Michael Sampoerna, anak dari taipan Putera Sampoerna, mewakili pihak STI.
Kemitraan yang dimaksud adalah perjanjian
jual beli bersyarat. Bakrie Telecom, operator Esia, akan mengakuisisi 35% saham
STI, operator Ceria, dengan harga US$21,5 juta. Dalam 3 tahun ke depan, emiten
berkode saham BTEL itu bisa menambah kepemilikan hingga 100%. Lantaran belum dapat
uang tunai, aksi korporasi akan direalisasikan melalui skema tukar guling saham
atau share swap BTEL kepada pemegang
saham STI: Sampoerna Strategic dan Polaris Mobile Pte. Ltd. Lewat jual beli
bersyarat ini, Sampoerna Strategic dan Polaris akan menggenggam saham Bakrie
Telecom.
Tapi kemitraan tersebut hingga kini belum
terealisasi penuh. Anindya belum memberi penjelasan berarti. “Kerja sama dengan
STI belum terjadi, saat ini kami fokus internal dulu. Setelah kuat, baru kami akan
melakukan apa yang sudah direncanakan,” tulis manajemen Bakrie Telecom dalam
dokumen paparan publik, 20 Desember tahun lalu.
Setelah aksi korporasi dengan STI belum terealisasi,
Bakrie Telecom kembali menempuh strategi baru untuk lebih menggenjot kinerja
perseroan. Akhir bulan lalu, Bakrie meneken perjanjian penggabungan usaha
penyelenggaraan dan sewa menyewa jaringan telekomunikasi dengan PT Smartfren
Telecom Tbk., kompetitornya di bisnis telekomunikasi berbasis code division multiple access (CDMA). Tujuannya
menghemat pengeluaran dan efisiensi operasional bagi kedua perusahaan.
Penggabungan jaringan ini mencakup base
tranceiver station (BTS) hingga spektrum frekuensi 5 MHz di pita 800 MHz.
Dengan demikian, Bakrie tak lagi mengoperasikan jaringan, melainkan menyewa ke
Smartfren. Di sisi lain, Smartfren menerima tambahan alokasi frekuensi selebar
5 MHz milik Bakrie di pita 800 Mhz.
Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo) sudah merestui aksi tersebut dengan menerbitkan surat izin buat Smartfren.
Menariknya, dari perjanjian ini, Bakrie akan menjadi salah satu pemegang saham
emiten berkode FREN itu. Besaran saham Bakrie di Smartfren kabarnya bisa mencapai
10-15%. Tapi, manajemen Bakrie enggan mengungkap detailnya. Pihak Smartfren
mengatakan komposisi saham baru kelihatan akhir tahun ini. “Besarannya belum
tahu secara detail, ada nanti di laporan akhir tahun,” kata Direktur Smartfren
Merza Fachys kepada Bloomberg Businessweek
Indonesia, Kamis (13/11).
|
Photo by artistarefill.com |
Bakrie Telecom menunjuk PT Asuransi Sinarmas
sebagai penjamin (surety) atas
pembayaran kewajiban perseroan kepada Kemenkominfo untuk pembayaran biaya hak
penggunaan (BHP) frekuensi dan BHP telekomunikasi. Seandainya jaringan
teknologi Smartfren bermigrasi ke teknologi 4G Long Term Evolution (4G LTE),
Bakrie Telecom juga diberikan hak ikut serta sehingga membuka peluang bisnis
baru melalui teknologi baru tersebut pada frekuensi 850 MHz.
Kendati jaringannya bergabung, Direktur dan
Sekretaris Perusahaan Bakrie Telecom Harya Mitra Hidayat, dalam keterbukaan
informasi 3 November, menegaskan kedua emiten tetap menjadi entitas terpisah. Tidak
ada penggabungan perusahaan, tak ada pula perubahan aktivitas usaha jasa
telekomunikasi.
Sejumlah pelaku pasar menduga, merger
jaringan tersebut adalah indikasi awal terjadi konsolidasi antara Bakrie dan
Smartfren, sinyal kuat merger menjadi satu entitas bisnis. Namun, manajemen
Bakrie seolah mengunci akses informasi soal ini. Direktur Utama Bakrie Telecom
Jastiro Abi enggan merespons pesan singkat dan telepon, begitu pula Anindya
Bakrie ketika dikontak melalui pesan singkat, telepon, dan surat elektronik.
Harya juga belum memberi tanggapan. “Maaf, saya sedang sibuk luar biasa untuk
mengatur run operasional perusahaan,
tidak bisa merespons segera,” katanya lewat pesan singkat. “Saya lagi
perjalanan dinas ke luar negeri.” Surat elektronik yang dikirimkan kepadanya
juga bertepuk sebelah tangan.
**
Saat
ini bisnis telekomunikasi berbasis CDMA tinggal menyisakan tiga pemain: Smartfren,
Bakrie Telecom, dan STI dengan brand
Ceria. Smartfren dan Bakrie masing-masing memiliki 5 MHz di frekuensi 850 MHz, sedangkan
Ceria di 450 Mhz. Operator CDMA yang sudah tereliminasi ialah Flexi milik PT
Telekomunikasi Indonesia Tbk.—dialihkan ke Kartu AS dan Kartu Halo—dan StarOne kepunyaan
PT Indosat Tbk.
Kinerja Ceria belum terungkap karena
perusahaan tertutup, sedangkan performa bisnis Smartfren dan Bakrie masih
negatif. Berdasarkan laporan keuangan yang dikompilasi Bloomberg Businessweek Indonesia, Bakrie terakhir mencatat laba
pada 2010 Rp9,98 miliar, tapi seterusnya mulai 2011 merugi seiring dengan
pendapatan yang terus tergerus. Pada kuartal kedua tahun ini—laporan September
belum dirilis di Bursa Efek Indonesia (BEI)—rugi Bakrie Telecom mencapai
Rp316,83 miliar.
Sejak tahun lalu, emiten yang dikuasai
mayoritas oleh PT Bakrie & Brothers Tbk. ini juga mengalami defisiensi modal,
alias ekuitas negatif. Itu artinya, jika seluruh aset dijual, lalu uangnya
dipakai untuk membayar semua utangnya, tidak akan cukup. Kondisi Smartfren tak
jauh beda, terakhir mencatatkan laba pada 2007 sebesar Rp50,35 miliar. Setelah
itu ruginya terus membengkak mulai dari 2008 hingga tahun lalu. Per September
tahun ini, rugi perusahaan Grup Sinarmas ini tercatat Rp939,93 miliar meski
pendapatannya naik. Smartfren sudah merugi dalam lima tahun terakhir, sedangkan
Bakrie rugi terus dalam 3 tahun terakhir.
Harga saham keduanya juga stagnan. Harga
saham BTEL pekan lalu masih Rp50—bertahan sejak 1 November 2012. Smartfren? Sama
saja, setali tiga uang. Harganya Rp68 per saham dibandingkan dengan awal
November tahun lalu Rp50 per saham. Di mata investor dan analis, saham dua
perusahaan ini kurang menarik. “Kami
tidak cover dua emiten ini, ibarat
restoran, kalau tidak laku, sulit menawarkannya,” kata seorang kepala riset
perusahaan sekuritas.
|
Model-model Smartfren, photo by Tribunnews |
Pendapatan Smartfren paling banyak disokong
dari data, sedangkan kontributor terbesar Bakrie masih dari layanan voice dan SMS. Baik Smartfren maupun Bakrie
juga terus berupaya meningkatkan kinerja keuangan. Dalam paparan publik 6 Juni
lalu, Djoko Tata Ibrahim, Commercial
Group Head Smartfren, dan Direktur Keuangan Antony Susilo mengatakan
aktivasi smartphone mereka sudah
mencapai 500.000 pada kuartal pertama tahun ini. Perseroan juga masih menjajal
kerja sama dengan Lenovo dan Xiaomi. Hingga saat ini jaringan Smartfren menjangkau
hampir semua pusat populasi Tanah Air dengan jumlah BTS mencapai 5.708, terdiri
dari Jawa dan Bali (4.225), Sumatra Utara (689), Sumatra Selatan (403),
Kalimantan (117), dan Sulawesi (274).
Manajemen Smartfren berupaya meningkatkan
kapasitas dan teknologi jaringan serta menyiapkan dana untuk membayar utang
jatuh tempo 2015. Penambahan dana bukan lewat tambahan pinjaman, tapi dengan
obligasi wajib konversi guna memperbaiki struktur permodalan dan tidak menambah
beban bunga. Meski kerap menggondol penghargaan a.l The Most Wanted Android
Phone 2014 dari Lazada dan Indonesia Customes Satisfaction Award, performa
bisnis mereka belum terangkat.
Bakrie juga menerapkan sejumlah upaya, di
antaranya optimalisasi kapasitas untuk percakapan dan data serta fokus ke
Jakarta, Banten, dan Jawa Barat (JBJB)— pasar utama Esia. Bakrie juga memperkuat
kemitraan dengan beberapa distributor untuk menjamin ketersediaan handset, meremajakan merek Esia, fokus
memperkuat layanan percakapan, dan mendorong pertumbuhan data melaui smart devices. Kolaborasi dengan vendor
untuk pengadaan perangkat cerdas LTE juga dijajaki. Selain itu, Bakrie mengontrol
ketat biaya, mengendalikan operasi, dan meningkatkan struktur modal melalui re-profil atau penjadwalan kembali kewajiban.
Hanya saja, beban kewajiban yang terus naik—sebagian besar karena melemahnya
nilai tukar rupiah terhadap dolar—berimbas pada utang dan pinjaman dalam mata
uang asing.
Bahkan, baru-baru ini mereka digugat kreditor
global bond di Amerika. Dalam
penjelasannya ke BEI, Bakrie tengah memproses proposal re-profil pembayaran kupon obligasi. Institusi yang paling besar
memegang US Global Bond Bakrie ialah JP Morgan Chase Bank National Association
US$184,68 juta (48,6%), Citibank US$141,12 juta (37,1%), dan State Street Bank
and Trust Company US$11,50 juta (3,0%). Bakrie Telecom belum membayar kupon
obligasi jatuh tempo pada November 2013, Mei 2014, dan 7 November 2014 masing-masing
US$21,85 juta.
Di luar persoalan utang Bakrie, peluang perusahaan
untuk bertumbuh masih besar di tengah prediksi industri telekomunikasi berbasis
CDMA yang belum membaik. Hadirnya teknologi baru seperti 4G LTE membuat emiten
telekomunikasi tak bisa menampik untuk menyesuaikan diri. Dalam public expose-nya, manajemen Bakrie
optimistis prospek bisnis tetap lantaran penetrasi smartphone di Indonesia baru sekitar 20%. Hanya saja pertumbuhan traffic data tidak sejalan dengan
pertumbuhan pendapatan karena tren tarif layanan yang menurun.
Menurut pengamat telekomunikasi Budi Raharja,
optimistis itu wajar didengungkan oleh operator. Apalagi teknologi CDMA sebetulnya
cukup baik dibandingkan dengan, misalnya, GSM—global system for mobile communication. “Ini masalah persepsi saja,
padahal CDMA baik, kalau kita lihat 3G-nya bisa lebih tinggi, tapi entry masuknya itu ke middle class ke bawah,” katanya, pekan
lalu. “Jadi bagaimana membangun kembali persepsi teknologi ini saja.”
Satu persoalan lain, yakni bisnis
telekomunikasi butuh bujet besar. “Nanti ada 4G LTE, setelah itu ada lagi
teknologi lain. Selalu berubah. Maka perusahaan harus punya ‘kantong semar’.
Ceruk pasar CDMA, kata Budi, masih besar mengingat teknologi yang saat ini ada
pun belum sepenuhnya menunjang aktivitas. “Kadang kita punya teknologi hebat,
tapi secara bisnis jelek. Sebetulnya masih ada peluang. Fokus pada coverage dan kualitas. Layanan saat ini saja
kurang reliable. Saya saja pakai empat
modem dari empat operator karena kualitas parah.”
Analis Trimegah Securities, Gina Novrina
Nasution juga menilai sejauh ini sektor CDMA memang belum membaik. Tapi ke depannya
teknologi ini akan ditunjang dengan gadget-gadget
baru yang dirilis sejumlah merek ponsel terbaru, salah satunya Xiaomi dengan
dua kartu SIM—GSM dan CDMA. Apalagi, Gina melihat karakteristik pengguna saat
ini yang belum sepenuhnya memanfaatkan teknologi 3G dan 4G. “Masyarakat memang
memakai 3G atau 4G, tapi untuk voice dan
video, orang belum banyak memanfaatkannya. Penetrasi CDMA di berbagai daerah
yang jauh juga belum besar. Peluang tetap ada.”
**
JP
Morgan memprediksi setidaknya butuh waktu 13 tahun untuk mencapai titik impas
belanja modal bagi operator telekomunikasi. Sebab itu, kerja sama jaringan
antar-operator atau konsolidasi mesti didorong agar investasi lebih
menguntungkan. Estimasi JP Morgan ini
dikutip Bakrie Telecom dalam dokumen paparannya di BEI dan benar-benar mereka
tempuh.
Kerja sama Bakrie Telecom dan Smartfren
disebut penggabungan jaringan—yang menjadi satu di bawah operasi Smartfren. “Dalam
bahasa aksi korporasi bisa saja disebut ‘Smartfren mengakuisisi jaringan milik Bakrie
Telecom,’ tapi yang jelas bukan akuisisi perusahaan,” kata Komisioner Badan
Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono, pekan lalu.
Proses semacam itu menurutnya boleh demi
menyehatkan kedua perusahaan. Proposal yang diajukan keduanya ke Direktorat Jenderal
Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika Kemenkominfo juga sudah disetujui. Sang
dirjen belum bisa berkomentar jauh soal sewa menyewa jaringan ini dan kebijakan
baru pemerintah. “Saya masih meeting
di Tokyo,” katanya singkat.
Kejelasan hukum ini penting agar jangan
sampai kasus dugaan penyalahgunaan kerja sama frekuensi 3G antara Indosat dan
PT Indosat Mega Media (IM2)—yang masuk ke ranah hukum—terjadi pada Bakrie dan
Smartfren. Dalam kasus Indosat-IM2, mereka dianggap bersalah karena merugikan negara.
IM2, sebagai penyelenggara layanan internet, memakai frekuensi milik Indosat
untuk jasa internet mobile. Tapi, IM2
tak membayar BHP frekuensi dan hanya membayar sewa penggunaan frekuensi kepada
Indosat.
Menurut Nonot, penggabungan jaringan membuat Bakrie
Telecom tak lagi terbebani BHP frekuensi, tapi hanya membayar BHP jasa telekomunikasi.
BTEL pun tak lagi memiliki lisensi Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) karena
sudah dicabut pemerintah. Konsolidasi semacam ini memang sejak lama didorong
pemerintah. “Itu cara terbaik untuk menyehatkan industri,” kata Nonot.
Seorang sumber mengungkapkan merger Bakrie
dan Smartfren bisa saja terjadi, tetapi masih mencari mekanisme yang tepat
mengingat peraturan merger dan akuisisi di industri telekomunikasi belum detail.
Ditambah lagi ada izin-izin dan lisensi yang diberikan kepada perusahaan. “Memang
sedang dicari mekanisme konsolidasi yang pas,” katanya.
|
Gandi, by lintas.me |
Gandi Sulistiyanto Soeherman, Presiden
Komisaris Smartfren dan Managing Director
Grup Sinar Mas, belum menjelaskan apakah merger jaringan itu pertanda awal
Sinarmas akan mengakuisisi Bakrie atau melakukan merger. “Hubungi Pak Merza,
saya masih di luar negeri,” katanya. Direktur Smartfren Merza Fachys
menjelaskan ada macam-macam izin, mulai dari izin penyelenggaraan jaringan,
penyelenggaraan jasa, dan nilai tambah. Kemitraan dengan Bakrie baru sebatas
izin penyelenggaraan jaringan sehingga tidak dicampuradukkan dengan merger
korporasi. “Contoh, BTEL punya izin penyelenggaraan SLI [Sambungan Lansung
Internasional], nah itu tetap mereka
pegang.”
Prinsip kerja sama itu lahir atas dasar keinginan
memperbaiki kinerja kedua emiten dan tidak menghilangkan salah satu dari
keduanya. “Saya tidak tahu [apakah akan merger secara korporasi], maksudnya kita
lihat progress-nya dahulu setelah penggabungan jaringan
ini agar sama-sama sehat,” katanya. “Kalau memang apa yang kami inginkan tidak
terjadi [atau masih rugi]. Yah polanya
harus berubah.” Di sisi lain, Smartfren juga tidak akan mematikan teknologi
CDMA meski terus hadir teknologi anyar. “Ada 4G. Ya harus diikuti, tapi apakah
yang lama dimatikan? Buktinya 3G masih ada. Kalau masih menguntungkan, misalnya
4G bisa meledak dan bisa untung gede
dan sudah saatnya CDMA dimatikan, yah
kami tidak ada keharusan mematikan CDMA.”
Analis PT First Asia Capital David Nathanael
Sutyanto menilai proses merger yang kemungkinan terjadi bakal memakan waktu lama
dan alot. Pasalnya, utang kedua emiten sangat besar. “Merger agak susah karena
kondisi keuangan BTEL parah,” katanya. “Kalaupun ada aksi akuisisi, secara
logika ya Smartfren akan mencaplok Bakrie Telecom. Jika demikian, BTEL harus
memasang harga murah agar Smartfren mau mengakuisisi salah satu anak usaha grup
Bakrie tersebut. “Pertimbangannya mau atau enggak
FREN caplok BTEL, mengingat BTEL utangnya masih menggunung. Kalau melalui skema
akuisisi, harus ditawarkan dengan harga yang sangat miring.”
Namun bagi William Suryawijaya, analis PT
Asjaya Indosurya Securities, merger akan menguntungkan kedua belah pihak.
Smartren didukung jaringan di daerah, sedangkan Bakrie Telecom punya saham di media
sosial Path. Keuntungan ini bagus untuk menyasar kalangan remaja yang tengah
menggandrungi jejaring sosial. “Utang BTEL dan FREN masih besar. Kalau mereka
merger, harus memikirkan win-win solution.
Terkait isu merger, itu kembali lagi ke emiten masing-masing.”
BEI juga belum mendengar jelas kabar ini. Direktur
Penilaian Efek BEI Hoesen hanya mengatakan isu tersebut baru sebatas rencana
dari kedua belah pihak, tapi belum terealisasi. Jika terjadi akuisisi saham
dari emiten tanpa harus merger, memungkinkan asal ada kejelasan keterbukaan
kepada publik.
Kepala Eksekutif Pasar Modal Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) Nurhaida menolak berkomentar sebab dokumen terkait aksi
korporasi dari pihak Bakrie dan Smartfren belum masuk. Ia hanya menegaskan
semua aksi korporasi emiten sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan
pasar modal. Sebagai pengawas pasar modal yang pertama, OJK wajib mengetahui
secara jelas dan rinci soal aksi korporasi emiten.
Apalagi, katanya, OJK mengetahui bahwa pada
12 November, Bakrie Telecom kembali melayangkan keterbukaan informasi perihal
keputusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Isinya memberi tenggat 30 hari kepada
BTEL untuk merestrukturisasi utang jatuh tempo atau penundaan kewajiban
pembayaran utang (PKPU) kepada PT Netwave Multi Media selaku kreditor.
Informasi ini menjadi tambahan bagi OJK untuk melakukan pengawasan.
Total kewajiban Bakrie Telecom per Juni 2014
yang menembus Rp10,20 triliun—kewajiban jangka panjang dan jangka pendek—bisa
menjadi satu kendala merger atau akuisisi yang tentu butuh pertimbangan serius.
Merza tidak menjawab secara pasti soal ini. “Mudah-mudahan, masalah obligasi
mereka akan segera solved.”—Bersama dengan Iwan Supriyatna dan Purjono
Agus Suhendro.
Words:2.343
Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, edisi 17 November 2014