Jumat, 21 November 2014

SALING SIKUT BEREBUT SEA WORLD

Ilustrasi, by orlandovocation
Setelah 20 tahun bermitra, kongsi pecah karena perbedaan penafsiran perjanjian dan persentase bagi hasil yang berat sebelah.

Oleh Iwan Supriyatna dan M. Tahir Saleh

SAMBIL menangis tersedu-sedu, Hilman dan Nabila, dua bocah asal Bandung berjalan perlahan menjauhi Sea World, wahana taman biota laut yang dikelola PT Sea World Indonesia (SWI). Sang bunda terus menghibur kedua buah hatinya agar tidak bersedih. Rupanya, jalan-jalan ke Sea World menjadi hadiah bagi keduanya. Hilman berhasil meraih juara satu lomba azan, sedangkan Nabila diterima di sekolah dasar favorit.

Tangisan Hilman dan Nabila bukan karena tak mampu membeli tiket, tetapi harapan dapat menonton ikan-ikan besar di akuarium raksasa Sea World sirna seketika setelah tempat wisata yang terletak di kawasan Taman Impian Jaya Ancol—yang dikelola PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk.—ini tak lagi beroperasi. Dari sekian banyak wahana, hanya Sea World yang dipasangi pagar keliling setinggi sekitar 2 meter. “Kalau mengetahui Sea World ditutup, kami tidak akan jauh-jauh datang ke sini, apalagi saya sudah janji sama anak-anak,” tutur Siti Salamah kepada Bloomberg Businessweek Indonesia, pekan lalu.

Tutupnya Sea World membuat keluarga kecil ini mengubah tujuan wisata. Siti masih berharap wahana tersebut dapat dibuka kembali, apalagi dengan harga tiket Rp80.000 pada hari biasa dan Rp90.000 pada akhir pekan, pengunjung bisa mendapatkan edukasi kehidupan biota laut. Pengunjung lain dari Bekasi, Agus Suhendro, pun terpaksa mencari wahana lain di Ancol. Salah satu pedagang di depan Sea World juga menginformasikan memang tidak ada penjualan tiket. “Ada yang bisa masuk, tetapi itu hanya untuk mereka yang sudah membeli tiket secara online.”

Ketika Bloomberg Businessweek Indonesia mengunjungi Sea World pada pekan lalu, tak terlihat pegawai lalu lalang di area seluas 3 hektare dengan luas bangunan 4.500 meter persegi itu. Hanya ada satpam yang sesekali mengamati gerak-gerik pengunjung yang berusaha mencari tahu alasan penutupan tersebut. Baru sekadar melintas, satpam dengan sigap mengingatkan agar tidak mendekati tempat wisata yang berdiri sejak 3 Juni 1994 ini. Tak boleh ada kegiatan di dekat area, padahal tempat ini sebelumnya tidak pernah sepi pengunjung, terutama saat liburan sekolah dan hari raya. Di balik pagar, tampak beberapa orang yang tak jelas mengerjakan apa, sedangkan pagarnya ditempeli spanduk pengumuman mengenai alasan penutupan:

Kantor hukum Iim Zovito SH, MH, & Rekan....dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. berdasarkan surat kuasa tertanggal 18 Agustus 2014 dengan ini.....sarana rekreasi dan fasilitas-fasilitas yang ada pada Undersea World tertutup sementara untuk umum.”

Belakangan ini diketahui penutupan Sea World karena masa kontrak kerja sama 20 tahun antara SWI sebagai pengelola wahana dan PT Pembangunan Jaya Ancol (Jaya Ancol) sebagai pemilik lahan berakhir. Jika merujuk pada perjanjian, kontrak kerja berakhir pada 4 Juni 2014 dan wahana tersebut harus diserahkan kembali ke Jaya Ancol untuk dilakukan negosiasi ulang, tapi SWI keukeh beroperasi hingga September. Lantaran dianggap ‘bandel’, pada 27 September, Jaya Ancol terpaksa menutup wahana yang batu pertamanya diletakkan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu Wiyogo Atmodarminto.


***
Perjodohan bisnis keduanya dimulai pada 21 September 1992 ketika Jaya Ancol—badan usaha milik Pemprov DKI—meneken perjanjian dengan SWI—dulu PT Laras Tropika Nusantara. Perusahaan ini merupakan firma yang masuk dalam Grup Lippo—yang dikendalikan oleh keluarga Riady, meski tidak disebutkan menjadi anak usaha PT Lippo Karawaci Tbk. “Iya masuk Grup Lippo,” kata Danang Kemayan Jati, Head of Corporate Communications Lippo Karawaci.

Konferensi pers konflik, by Kompas
Kerja sama itu meliputi pembangunan, pengelolaan, dan pengalihan hak atas sarana hiburan Sea World di Taman Impian Jaya Ancol, Kelurahan Ancol, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Skema ini disebut BOT atau built operate and transfer. Proyek Sea World dibangun di atas lahan yang diperoleh Jaya Ancol dari Pemprov DKI—sebagai pemegang 72% saham, selebihnya Pembangunan Jaya 18%, dan publik 9,9%.

SWI memilik hak mengelola wahana selama 20 tahun hingga 4 Juni 2014. Setelah masa perjanjian berakhir, SWI akan mengembalikan tanah dan bangunan beserta sarana penunjang kepada Jaya Ancol. Namun, SWI mempunyai opsi perpanjangan maksimal 20 tahun. Lewat kerja sama ini, Jaya Ancol mendapat imbalan 5% dari penjualan tiket dan 6% dari penjualan bisnis ritel (makanan, minuman, dan barang dagang).

Kuasa hukum Jaya Ancol Iim Zovito Simanungkalit menilai SWI melanggar perjanjian. Kendati ditutup sementara dan akses merawat hewan laut masih diperbolehkan, Iim belum dapat memastikan kapan wahana akan dibuka lagi. Semua bergantung pada itikad baik dari SWI untuk renegosiasi kontrak. “Kami yang punya tanah, kalau mau memperpanjang kontrak, harus dihitung ulang. Jangan disamakan seperti perjanjian 20 tahun silam,” kata Iim ketika dihubungi pekan lalu. “Akan ada perjanjian baru kalau SWI mau mengelolanya lagi.”

Jaya Ancol, kata Iim, sudah mengirim surat kepada SWI sebelum kontrak berakhir, tetapi tak digubris. Mitranya malah menganggap kerja sama secara otomatis diperbaharui dan bakal berakhir pada 2034 tanpa penyerahan aset. SWI juga sudah mengajukan perpanjangan, tetapi persentase bagi hasil diturunkan menjadi 3% yang membuat Jaya Ancol meradang. Namun, Presiden Direktur SWI Yongki E. Salim membantah. Ia malah menyebut Jaya Ancol-lah yang tidak pernah membuka ruang negosiasi. “Sampai sekarang persentase [awal] tidak pernah diturunkan,” tegas Yongki. Hanya saja, pernyataan ini berbeda dengan fakta dalam video rapat bersama Plt. Gubernur DKI Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama pada 15 Juli tahun lalu yang diunggah di situs ahok.org.

Ahok justru menuding ada itikad kurang baik dari Grup Lippo dengan meminta penurunan persentase bagi hasil menjadi 3% dan perpanjangan 30 tahun melebihi ketentuan. “Bapak [Yongki] masih berusaha minta 30 tahun. Itu tidak bisa Pak. Kalau kami lakukan, kami masuk penjara, ujar Ahok yang juga disaksikan Direktur Utama Jaya Ancol Gatot Setyowaluyo. Ahok juga meminta SWI mengembalikan aset terlebih dahulu, baru dilakukan negosiasi ulang sesuai dengan mekanisme BOT.

Setelah penafsiran berbeda soal BOT ini, kasus pun coba diselesaikan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Badan ini menunjuk Fatimah Achyar sebagai ketua arbitrase dengan anggota majelis Humprey R. Djemat mewakili Jaya Ancol dan Basoeki dipihak SWI. Hasilnya, Jaya Ancol dinyatakan benar. Pihak BANI tak berkenan memberi penjelasan lebih rinci. “Soal case kami diatur oleh kode etik jadi tak bisa, kalau prosedur bisa,” kata Eko Dwi Prasetyo, salah satu panitera BANI, Selasa pekan lalu.

Atas keputusan BANI, SWI menggugat putusan tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Hasilnya, pengadilan membatalkan ketetapan BANI dengan alasan ada fakta benturan kepentingan—satu institusi—antara saksi Elijana Tansah dan Humprey (meski informasi ini ditampik Humprey). “Faktanya Elijana tak bekerja dan tidak pernah bekerja di kantor hukum Gani Djemat,” kata Humprey dikutip putusan pengadilan tertanggal 30 September. Setelah kalah di pengadilan, pihak Jaya Ancol bersiap menempuh banding.

Tim advokasi SWI Peter Kurniawan menuding Jaya Ancol sengaja memutus hak pengelolaan Sea World. Namun Ahok memastikan sangkaan itu tidak benar. Ahok mewanti-wanti, hanya ada dua opsi pengelolaan Sea World; kerja sama dengan SWI diteruskan dengan renegosiasi kontrak yang lebih menguntungkan atau mengelola sendiri. Bisa juga muncul opsi darurat, yakni menyerahkan kepada pihak lain dengan catatan perusahaan tersebut sudah teruji dan memberi nilai lebih ketimbang SWI. “Kalau sampai ada niat dari direksi Jaya Ancol atau direksi yang sudah pindah [lama] untuk memberikan ke pihak lain karena ada keuntungan pribadi, pasti kami pecat dan pidanakan. Itu saya garansi,” kata mantan bupati Belitung ini.

Ahok menyayangkan jika kasus tersebut bergulir ke meja hijau karena akan merugikan semua pihak dan biota laut. “Apalagi tuntut menuntut, repot banget. Hubungan juga jadi tidak baik, Bapak [Yongki] kunci kami, kami kunci grup Bapak.” Seperti arahan Ahok, Iim juga memaparkan dua poin yang diajukan dalam kontrak baru, yakni pengembalian lahan dan bangunan Sea World ke Jaya Ancol dan penaikan persentase bagi hasil meski ia tak membeberkan nilainya.

**

Perseteruan ini memunculkan kabar bahwa SWI akan memindahkan Sea World ke Sentul, Bogor, Jawa Barat, walaupun informasi ini ditampik manajemen perseroan. Di Sentul, sudah ada Jungleland Adventure Theme Park yang dikelola PT Jungleland Asia dengan luas areal 35 hektare dan lebih dari 31 wahana.

Pantai Ancol, by Jawapos
Jika dibandingkan, misalnya, dengan wahana serupa di luar negeri, Sea World belum banyak inovasi. Dalam situsnya, SeaWorld San Diego bahkan punya satu paus raksasa, pandai beratraksi dan pengunjung dapat menyentuhnya, berinteraksi dengan ikan pembersih kecil yang dengan lembut menggigiti tangan. Meski begitu, Sea World masih menjadi salah satu wisata edukasi yang patut dipertahankan. “Ini kan sarana kreasi masyarakat jadi mesti ada evaluasi kerja sama dari keduanya,” kata Wakil Ketua DPRD DKI Abraham Lunggana alias Haji Lulung ketika mendampingi Ahok di Balai Kota.

Setelah ditutup sementara, SWI hampir tak punya pemasukan dari Sea World. Sayangnya Yongki belum membeberkan seberapa besar kontribusi wahana tersebut bagi bisnis perusahaan terafiliasi Grup Lippo ini. Pembagian hasil sangat bergantung jumlah pengunjung. Bila kunjungan banyak, setoran juga naik, begitu pula sebaliknya. “Kewajiban kami ke Jaya Ancol tergantung total pengunjung,” kata Peter Kurniawan, tim kuasa hukum SWI.
Jika menguntungkan bagi SWI, di pihak Jaya Ancol kontribusi Sea World tak signifikan. Berdasarkan laporan keuangan, pendapatan yang masuk kantong emiten dengan kode saham PJAA ini dari Sea World per Juni hanya Rp1,69 milar, sangat kecil, tak sampai 1% dari total pendapatan Jaya Ancol yang mencapai Rp488,17 miliar. Tahun lalu, setoran dari Sea World baru Rp4,22 miliar, menurun dari 2012 Rp4,62 miliar. Penyokong terbesar pendapatan Jaya Ancol dari tiket dan wahana wisata, sisanya dari tanah dan bangunan, pintu gerbang, dan kapal.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna mengatakan sengketa ini harusnya menjadi evaluasi bagi Pemprov DKI untuk menginventarisasi aset pemda. Pemprov juga diminta meneliti lebih jauh mengenai pola kerja sama pihak ketiga (swasta) yang selama ini justru tak berdampak besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD). “Pernah dulu Foke [Gubernur lama Fauzi Bowo] menutup 26 SPBU karena aset tanah salah peruntukan. Harusnya dilakukan lagi audit aset, jangan cuma duduk manis terima setoran,” kata Yayat. “BUMD itu kebanyakan mikir seperti orang sunda, LKMD, lamun kurang minta deui [kalau kurang minta lagi—suntikan modal], jadi secara kinerja kurang,” katanya.

Jika mengacu data Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, tahun ini PAD ditargetkan Rp65,04 triliun, naik dari tahun lalu Rp41,53 triliun. Pendapatan dari BUMD akan masuk ke pos hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. “Trennya naik [kontribusi BUMD], tapi tidak signifikan. Kontribusi terhadap APBD sekitar 1%,” kata Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi dalam pesan singkatnya.

Lantaran itu, salah satu upaya yang ditempuh Pemprov DKI adalah mengubah skema kerja sama swasta BOT. Perjanjian BOT memang berpotensi salah tafsir soal pengalihan aset. Dalam BOT, pihak ketiga atau investor harus menyerahkan aset, sedangkan dalam pola BTO atau build transfer operate aset diserahkan investor kepada perusahaan pemilik setelah pembangunan selesai. “Nanti akan diubah skemanya, tidak lagi BOT, kami juga akan mengevaluasi aset,” kata Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah DKI Endang Widjajanti.

Ahok pun mengakui BUMD belum memberi kinerja memuaskan. “Harusnya kami jadi raja properti, faktanya kami pecundang. Itu masalahnya karena terlalu banyak nego-nego enggak bener,” katanya. Soal Sea World, Ahok lagi-lagi menegaskan semua pihak harus mengikuti aturan berlaku. “Kami seneng karena ini investasi pendidikan, [tetapi] saya enggak mau masuk penjara gara-gara Sea World, lebih baik saya nyelem di Belitung daripada soal ikan hiu ini.”

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 27 Oktober 2014
Words: 1.788

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu