Minggu, 07 September 2008

tulisan Erie Sudewo, dompet dhuafa

PEMIMPIN BUKAN PEMIMPI


Pemimpin galibnya bukan pemimpi. Makna kata pemimpin dan pemimpi antara langit dan bumi. Pemimpin menjejak bumi, pemimpi gentayangan di langit. Pemimpin pasti punya mimpi. Sedang yang dijuluki pemimpi, kaya akan mimpi. Tapi dari sekian mimpi pemimpi, belum tentu mimpinya hendak jadi pemimpin. Jumlah pemimpin yang pemimpi tak terhitung. Tapi pasti lebih banyak jumlah pemimpi yang bukan pemimpin.

Pemimpin harus beresi masalah. Sementara pemimpi hanya mimpi selesaikan. Resiko pemimpin bisa dipenjara atau malah terbunuh. Resiko pemimpi, cuma buyar mimpinya. Maka hanya karena berbeda pendapat, masa depan pemimpin bisa berakhir di tabir pekat penjara. Sedang pemimpi cukup bilang: “Untung saya cuma mimpi. Jika betulan, saya pun meringkuk di situ”.

Itulah pemimpin. Dekat dan bahkan penuh resiko. Apapun kebijakannya pasti punya resiko. Mustahil pemimpin bisa diterima semua pihak, dicintai semua orang dan terhindar dari cela. Pemimpin yang yakin kebijakannya bisa rengkuh semua orang, dia bukan pemimpin. Pemimpin harus sadar, ada pihak yang tak sependapat. Di sinilah pemimpin diuji. Dia bisa jadi the real leader, jika mampu ramu yang tak sependapat jadi kekuatan. Berbeda pendapat bukankah rahmat. Namun berapa banyak pemimpin yang justru membungkam yang tak sependapat.

Belasan tahun Nelson Mandela di penjara. Saat ditanya apakah ia ingin balas dendam pada rezim Apartheid, jawabnya menggetarkan: “Jika tak ada kata maaf, tak ada masa depan bagi Afrika Selatan”.

Mimpi boleh. Tapi pemimpin yang pemimpi berbahaya. Bangsa bisa jadi korban, terjerumus dalam mimpi-mimpinya. Pemimpi yang mimpi jadi pemimpin, sama sekali tak berbahaya. Perlu dikasihani malah. Maka pemimpin harus punya mimpi. Mimpi itu harus dikawal dan dipupuk. Agar bisa terwujud, mimpinya memang musti berangkat dari bumi. Pohon tak ada yang jatuh dari langit. Muncul dari biji, jadi kecambah dan akhirnya menjulang ke atas.

Maka ada yang bilang, pemimpin cukup punya prinsip hidup hanya hari ini. Dengan cuma hidup hari ini, dia akan sibuk. Tiap detik dia pasti benahi keadaan, kembangkan potensi dan berbuat kebaikan. Negara dibenah, yang pembenahan hari ini jadi landasan bagi pembenahan berikut. Karena hanya hidup di hari ini, tak ada lagi waktu berkhayal. Yang ada bersihkan diri dari korupsi, rapihkan kabinet dan bantu rakyat agar tak susah. Yang gemar gusur tanah rakyat, segera diadili. Karena tidak ada lagi hari esok. Pemimpin yang yakin hidup di hari ini saja, pasti benahi ahlaknya dan luruskan kesalahan sendiri.

Pemimpin yang pemimpi, cenderung abaikan hari ini. Dia konsen pada hari esok dan masa depan. Pemimpin yang pemimpi bermain dengan khayal. Menjual diri hanya untuk sebuah dugaan. Pemimpi yakin betul, hari esok akan tiba. Padahal memburu sesuatu di esok hari tak ada jaminan. Esok memang belum dicipta, belum berwujud dan belum bisa dirasa. Maka mengapa sibukkan diri dengan persoalan esok, cemas akan dugaan kesialan esok, takut akan bencana. Senang atau sedih di esok hari, jelas tak satu mahluk pun bisa jamin.

Pemimpin yang pemimpi, selalu menunda soal. Hari esok adalah akumulasi soal hari sebelumnya. Terus bertumpuk. Akhirnya di ujung esok, alih-alih selesai persoalan malah meletup. Pemimpin yang pemimpi, juga tunda berbuat kebaikan. Untuk bantu yang susah, ditunda karena masih ada hari esok. Untuk jenguk yang sakit, tunjukan jalan bagi yang sesat, memberi makan yang lapar serta bantu yang miskin, tak usah hari ini karena masih ada esok.

Pemimpin sejati akan biarkan hari esok datang. Tak usah tanya kabar esok dan tak usah khawatir bencana esok. Karena hari ini pemimpin sudah sibuk berbuat kebajikan. Mungkin pemimpin seperti ini akan dikasihani orang. Seolah tak punya perencanaan ke depan. Padahal yang harus dikasihani, banyak orang berandai-andai tentang esok yang belum tentu matahari akan terbit. Pemimpi terjebak di angan-angan tanpa berbuat di hari ini.

Pemimpin mustinya selalu menjejak tanah. Jika jatuh masih di tanah juga. Menjejak tanah artinya dekat dan tahu persoalan rakyat. Maka pemimpin sejati tak resah kebaikannya dicampakkan orang. Karena itulah realitas kehidupan. Juga tak goyah meski kebaikan itu dibayar dengan permusuhan. Pemimpin tak terkejut pena yang diberikan, ternyata digunakan untuk menghujat dirinya. Pemimpin juga tak kaget, tongkat yang dihadiahkan dipakai untuk menghadang dirinya.

Kebajikan itu sebajik namanya. Keramahan seramah wujudnya. Dan kebaikan itu sebaik rasanya. Pemimpin sejati tak akan menghitung-hitung itu semua. Khalifah fil’ardh, begitu Al Quran menyebut. Tiap orang punya potensi kepemimpinan. Tinggal bagaimana mengeksplorasinya. Maka jika tiap orang bakal ditanya tentang apa yang dipimpinnya, mengapa masih banyak orang yang berebut jabatan dan kedudukan. Hidup jelas bukan sebatas hari ini. Bukan juga cuma untuk esok di dunia. Tapi ada kehidupan setelah mati.

Maka di jelang 2009, berbondong-bondong pemimpi bersiap-siap hendak jadi pemimpin Indonesia. Sementara pemimpin yang sungguh-sungguh the real leader, pasti gentar hadapi persoalan Indonesia. Pemimpi bersumpah dengan sejumlah janji. Pemimpin sejati bicara pun berhati-hati. Lebih-lebih mengumbar janji. Pemimpin memang menjejak tanah. Pemimpi ada di atas langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu