Jumat, 26 September 2008

Menanti gebrakan wibawa kepala Bappebti

Ada yang bilang membangun sebuah lembaga itu lebih mudah ketimbang mempertahankan wibawanya. Mungkin hal itulah yang dirasakan Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang baru, Deddy Saleh.

Belum dua bulan menjadi orang nomor satu di lembaga pemerintah itu, kredibilitasnya kini diuji publik. Bagaimana dia berjibaku memfasilitasi, mendorong, dan mengawasi tiga masalah pelik, perdagangan berjangka komoditas, resi gudang, dan pasar lelang. Mana yang didaulat terlebih dahulu menjadi prioritas?

Di luar tiga persoalan itu sebenarnya ada satu lagi yang sedang 'panas', penyelesaian pengembalian dana mantan nasabah PT Graha Finesa Berjangka (GFB) yang dicabut izinnya 24 Juli.

Pada Kamis pagi pekan lalu, kantor Bappebti di Plaza Bumi Daya 'diserbu' puluhan mantan nasabah yang tergabung dalam Lembaga Perjuangan Hak Konsumen Indonesia (LPHKI). Sedikitnya 30 nasabah baru dari GFB kembali menduduki kantor di lantai 4 gedung tersebut setelah sebelumnya mencari keadilan ke Bursa Berjangka Jakarta (BBJ).

Bukan kali ini saja para mantan nasabah berunjuk rasa di Bappebti. Bulan lalu sudah tiga kali markas otoritas pengawas bursa itu 'disatroni' mantan nasabah.
Mereka menganggap Deddy Saleh terlalu 'lelet' mengakomodasi kepentingan nasabah pialang yang notabene di bawah otoritasnya. Sebagai pejabat baru, dia ingin membangun Bappebti lebih berwibawa, kooperatif, dan transparan.

Biang kerok masalah adalah ketika Bappebti pada pemerintahan sebelumnya tertantang mengurusi perdagangan valuta asing dan indeks saham asing di luar bursa (over the counter) melalui sistem perdagangan alternatif (SPA).

Pasalnya, kewenangan Bappebti sesuai dengan UU No. 32/1997 adalah mengurusi perdagangan komoditas. Bukan SPA.

Tiga pekerjaan
Dus, masalah yang dihadapi mantan Direktur Kerjasama Bilateral, Regional, dan Multilateral Depdag ini tidak hanya SPA, nasabah, pialang, dan lainnya. Seperti disinggung di muka, ada tiga hal yang coba ditingkatkan oleh Deddy dan pasukannya.
Pertama, perdagangan berjangka komoditas. Sebagai pengawas dan otoritas pembuat peraturan, Bappebti sudah menjalankan fungsinya dengan baik walaupun 'agak terlambat' setelah adanya pelanggaran dari pelaku pasar dalam hal ini pialang sehingga sedikitnya sudah tujuh pialang diberangus dari tahun 2005-2008.

Seperti diketahui kontrak berjangka dengan underlying komoditas yang diperdagangkan di BBJ hanya kontrak indeks emas (KIE), kontrak gulir emas, emas, dan olein.
Kabar gembiranya, rencananya dalam waktu dekat seperti kata Direktur BBJ Jahja W Sudomo, kontrak kakao akan diluncurkan setelah mendapat persetujuan dari Bappebti.
Kedua, penerapan sistem resi gudang (SRG). Saat ini sudah ada empat daerah yang menerapkan SRG yang sesuai dengan UU No. 9/2006, yakni di Jombang, Indramayu (Haurgeulis), Banyumas, dan Makassar.

Realitasnya petani tidak mendapat informasi harga yang sesuai. Di sisi lain petani juga diberatkan dengan biaya penyimpanan di gudang sehingga mereka lebih tertarik menjual komoditasnya lewat pengijon.

Persoalan ketiga bagaimana mengembangkan pasar spot atau fisik yang saat ini sudah ada sebanyak 17 lokasi pasar lelang.

Deddy bersama jajarannya diharapkan dapat melakukan pendekatan dalam mengembangkan pasar lelang lebih jauh lagi dengan membangun sistem, menyiapkan mekanisme lelang, menyusun ketentuan lelang, sosialisasi kepada petani dan pelaku pasar, serta pengadaan pelatihan bagi pengelola dan pelaku.

Potensi keuntungan dari pasar lelang ini luar biasa. Selama kuartal I/2008 saja Bappebti berhasil meraup Rp230,35 miliar dari pelaksanaan pasar lelang komoditas pertanian pada 17 provinsi. Pasar lelang dapat mendukung pelaksanaan sistem resi gudang. Petani pemilik resi dapat membawa resi gudangnya ke pasar lelang tanpa harus membawa komoditasnya.

Tiga soal inilah yang menjadi pekerjaan Deddy demi mengembangkan otoritas pengawas bursa ini lebih baik lagi. Meminjam istilahnya, Bappebti sekarang harus lebih wibawa. Publik menantikan gebrakan selanjutnya. (redaksi@bisnis.co.id)


Ditulis oleh M Tahir, dipublikasikan di Harian Bisnis Indonesia edisi 7 Agustus 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu