Oleh Taher Saleh
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo dalam tulisannya di harian Seputar Indonesia edisi 25 Oktober 2010 memuji habis keberhasilan Emirsyah Satar, Direktur Utama PT Garuda Indonesia.
Emirsyah dinilai mampu menempatkan Garuda Indonesia (GA) sebagai maskapai penerbangan Tanah Air yang membanggakan di Asia. Buktinya belum lama ini perusahaan pelat merah itu berhasil meraih peringkat pertama dari Center for Asia Pasific Aviation (CAPA).
Organisasi ini adalah lembaga independen yang bergerak di bidang riset pasar dan intelegen dari industri penerbangan dan berkantor pusat di australia. Lembaga ini mengadakan survei baru-baru ini dengan responden pengguna perusahaan penerbangan di Asia.
Dan hasilnya GA ditahbiskan sebagai perusahaan penerbangan terbaik di asia melewati Singapore Airlines (SQ), Malaysia Airlines (MH), Thai Airways (TG), Cathay Pasific (CX), dan perusahaan besar di Asia lainnya.
Pengamat ekonomi itu menceritakan pengalamannya ketika naik GA rute Jakarta-Tokyo. SA mematok US3.800 untuk kelas bisnis dan mesti transit di bandara Singapura, Changi Airport. MA juga mematok harga di atas USD2.100 untuk kelas bisnis dan harus ganti pesawat di bandara Kuala Lumpur. Di sisi lain justru GA unggul lebih murah dengan tariff kelas yang sama di bawah USD2.000 tanpa harus transit.
Untuk kelas bisnis, cerita Cyrillus, kursinya bisa direbahkan secara mendatar atau flat bed dengan passenger service unit yang modern. Dia juga membandingkan bagaimana perjalanannya ke London ketika menggunakan jasa Thai Airways dan GA. Bedanya layanan GA lebih baik dibandingkan dengan maskapai milik Thailand tersebut.
Saya, beberapa kali, memang menggunakan GA ketika mendapat kesempatan liputan ke luar kota khususnya. Bedanya saya hanya merasakan kelas ekonomi bukan bisnis. Tentu tak bisa membedakan dengan kisah Cyrillus yang bekas Technical Assistance Advisor, Monetary and Exchange Affairs Departement di Dana Moneter International itu.
Seingat saya untuk kelas ekonomi ketika perjalanan Jakarta-Yogjakarta, pramugari GA berbeda dengan pramugari maskapai nasional yang lain seperti Lion Air. Dari raut wajah nampaknya pramugari GA sedikit lebih dewasa, kalau tidak dibilang lebih tua meski dari sisi pelayanan baik sekali.
Ketika saya dikirim tugas ke Singapura-Hong Kong belum lama ini, SQ dan CX yang saya tumpangi untuk kelas ekonomi. Saya tidak memilih dua maskapai ini lantaran sudah diatur pihak pengundang mulai dari tiket pesawat pulang pergi hingga akomodasi di dua kota tersebut.
Pada SQ secara fasilitas pelayanannya baik sekali. Mulai dari koleksi filem, makanan yang disajikan, perlakuan pramugari, dan tentu saja toiletnya. Bahkan perjalanan dari Changi ke Bandara International Hong Kong (Chek Lap Kok) saya nikmati dengan indahnya selama 4 jam 15 menit dihibur oleh filem Toy Story 2.
Enak sekali karena program bisa kita atur sesuai pilihan dan program lain terhenti. Jadi setelah filem selesai bisa setel filem berikutnya, sementara CX program diatur bersamaan sehingga filem yang lain pun diputar.
Pengalaman tidak enak hanya terjadi saat pulang ke Jakarta dengan CX, Cathay Pasific, sebuah maskapai yang didirikan oleh orang Amerika Roy C Farrel dan orang Australia Sydney H de Kantzow di Hong Kong. Saya agak pusing karena aroma kakus tapi itu terjadi mungkin karena posisi duduk dekat dengan toilet sehingga aroma kakus begitu terasa, ini berbeda ketika di GA atau SQ.
Saya tentu berharap tugas liputan berikutnya ke luar negeri bisa merasakan nikmatnya terbang bersama Garuda Indonesia, Maskapai kebanggaan Indonesia yang akan mencatatkan saham perdananya di Bursa Efek Indonesia pada awal tahun depan ini. Siapa lagi yang mau membanggakan aset negaranya selain warga negaranya itu sendiri?
gambar: www.garuda-indonesia.com