Selasa, 30 Maret 2010

Siapa punya Matahari?

Jika sebuah pertanyaan diajukan kepada masyarakat umum mengenai “Apa itu PT Medco Energi Internasional Tbk? Belum tentu semua orang tahu sepak terjang perusahaan energi yang didirikan oleh pengusaha alumnus ITB Arifin Panigoro pada 1980 ini.

Lain halnya kalau pertanyaan di atas dirubah subjeknya menjadi “Apa ente tahu apa itu PT Matahari Departement Store Tbk (Matahari)? Berani taruhan deh, hampir sebagian besar masyarakat awam tentu mengenal nama ini, minimal nama tengahnya dan bisa menjawab bla…bla..bla dan seterusnya hingga berakhir pada konklusi: Matahari, pusat perbelanjaan.

Ritel ini sudah tak asing lagi bagi kebanyakan orang dengan latar belakang apapun. Nama Matahari pun bukan sekadar sebagai pusat tata surya melainkan sebuah nomenklatur yang menandakan betapa melekatnya budaya konsumtif dalam keseharian kita.

Terbukti hingga saat ini Matahari yang fokus pada segmen Departement Store, Hypermart, dan Foodmart ini sudah memiliki 80 departement store, 39 hypermarket, 29 supermarket. Tak hanya itu perusahanan juga memiliki 46 pusat kesehatan dan kecantikan dan lebih dari 90 hiburan keluarga sejak lahir pada 1958 di Pasar Baru Jakarta seperti tertera dalam situs resminya www.matahari.co.id.

Cahaya Matahari ini pun kian berpendar setiap kali ada perayaan keagamaan Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Tahun Baru, dan lainnya. Setiap pegawai Matahari dengan rok mini hitam dan atasan krem itu bakal sibuk melayani konsumen di setiap gerai. Pundi-pundi uang pun seketika membeludak.

Bagi umat Muslim, apalagi saat Lebaran Idul Fitri hampir sebagian besar merayakan hari kemenangannya sambil belanja pakaian, perlengkapan atau apalah di Matahari. Bisa dibilang bukan Lebaran namanya kalau engga sempat mampir di gerai ini.

Ceruk pasar konsumsi yang menganganya inilah menyebabkan perusahaan pun butuh ekspansi lebih lebar lagi sehingga butuh dana. Kebutuhan dana ini pun sudah tercukupi setelah pada 1992 mencatatkan diri sebagai emiten [perusahaan terbuka] di Bursa Efek Indonesia (dulu Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya).

Namun tak berhenti disitu karena mungkin ada pihak-pihak dari luar yang tertarik dengan ceruk pasar konsumen tersebut. Nah, kilaunya sinar Matahari inilah kemudian ditangkap oleh pemodal asing.

Akhirnya, hingga akhir bulan lalu, dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB), 90,7% saham Matahari pun akhirnya beralih ke tangan CVC Capital Partner setelah setelah lama dikendalikan Grup Lippo melalui PT Matahari Putra Prima Tbk (MPP). Harian Bisnis Indonesia membeberkan transaksi pembelian ini diawali langkah MPP dan CVC Capital membentuk perusahaan patungan yakni Meadow Asia Company (MAC).

Dari MAC ini lahir anak usahanya yaitu Meadow Indonesia yang membeli 90,76% saham Matahari senilai total Rp7,164 triliun. Yang membingungkan proses pembelian ritel raksasa di Indonesia ini dilakoni dengan tiga cara yakni bayar tunai Rp5,3 triliun, lalu Rp1 triliun dalam bentuk piutang pembayaran saham dengan bunga 13%-15%, dan terakhir lewat penyertaan saham MPP di MAC sebesar 20% saham dengan opsi beli melalui waran 7,5%.

Lebih membingungkannya lagi pada saat yang sama, Matahari (yang akan dibeli) malah meminjam Rp3,25 triliun dari CIMB Niaga dan Standard Chartered Bank Cabang Jakarta untuk dipergunakan Meadow Indonesia melunasi utang beli Matahari dari MPP. Pinjaman ini menjaminkan 98% saham Meadow Indonesia di Matahari.

Singkatnya perusahaan yang dibeli justru meminjam uang kepada orang lain dengan jaminan dirinya sendiri. Bahasa kerennya akusisi yang dibiayai melalui utang ini disebut leverage buyout/LBO. Artinya, perusahaan yang mengakuisisi [CVC/Meadow] akan menggunakan aset perusahaan yang akan diakuisisi sebagai sebagai jaminan dengan ekspektasi bahwa arus kas mereka pada masa yang akan datang dapat menutupi utang tersebut.


Maka dari sini sudah jelaslah siapa pengendali Matahari yang baru, CVC Capital melalui Meadow Indonesia. CVC sendiri pusatnya di Luxemburg. Yang jelas dengan kepemilikan asing di Matahari, kita harapkan sinarnya tetap berpijar khususnya bermanfaat bagi kaum awam yang mengenal betul sosok Matahari.

Jangan sampai terlalu banyak orang asing yang mengekspliotasi tingkat konsumsi Nasional demi kepentingan bisnisnya karena orang-orang awam yang membeli baju di Matahari begitu apatis dengan asas kepemilikan. Tak peduli siapa yang mendanai Matahari, siapa yang mengeruk keuntungan dari duit mereka. Mereka hanya peduli kapan bisa beli baju baru lagi dan kapan Matahari tetap buka lowongan.

31 Maret 2010

foto: www.kontan.co.id


Senin, 22 Maret 2010

Quo Vadis Jaminan Kesehatan?

M. Tahir Saleh, Sylviana Pravita, dan Natalina Kasih


Orang Menteng yang menjadi Presiden AS itu menunda kunjungannya ke Indonesia. Ah, rupanya gara-gara pembahasan jaminan asuransi kesehatan.


Padahal, persiapan pasukan pengaman internasional, TNI dan Polri sudah digadang-gadang untuk menjaga presiden Negeri Paman Sam itu. Ada celetukan bernada cemoohan. Pasalnya, soal jaminan kesehatan belum jadi prioritas pada banyak negara di dunia.


Bahkan, isu yang kencang beredar banyak dikaitkan dengan selentingan isu terorisme yang sedang diganyang di Tanah Air. Meski demikian, ada pula yang mengacungkan jempol.

Saat itu, Bloomberg mengutip juru bicara kepresidenan AS Robert Gibss yang menuturkan reformasi asuransi kesehatan itu dinilai sangat penting, sehingga presiden pun perlu melihat perjuangan itu di kongres.

Ya, keputusan presiden yang sempat mengenyam pendidikan dasar di SD Negeri 01 Menteng, Jakarta Pusat untuk berkunjung ke Indonesia itu akhirnya berbuah manis.

Pengambilan suara soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Kesehatan pada parlemen AS dimenangi oleh Presiden Barack Obama. Parlemen sepakat agar pemerintahan Obama memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat, seperti janjinya sebelum dia terpilih.

Parlemen AS menyetujui RUU Kesehatan tersebut dengan proyeksi dana sebesar US$940 miliar untuk 10 tahun ke depan. Lolosnya regulasi yang sempat terkatung-katung ini menjadi tonggak baru bagi sistem jaminan kesehatan di AS yang tidak pernah berubah dalam empat dekade terakhir.

Sistem ini akan menjangkau hingga 95% masyarakat AS dan menekan kenaikan biaya medis di Negeri Paman Sam itu. Biro Sensus Amerika Serikat menyatakan sekitar 15% dari penduduk AS atau 46 juta orang tidak memiliki asuransi pada 2008. Dengan skema itu, semua warga AS akan mendapatkan asuransi kesehatan.


Begitulah yang terjadi pada negara yang dikenal kapitalis, yaitu AS. Namun, ternyata pemerintahannya menjunjung tinggi komitmen untuk menjaga kepentingan masyarakat.

Lantas, sorotan kami pun bergerak ke Tanah Air. Bagaimana dengan jaminan kesehatan masyarakat di Indonesia? Apakah pemerintah sudah menjamin kesehatan masyarakat secara komprehensif dengan penerapan aspek hukum yang komplet?

Saat ini, UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sudah 6 tahun diterbitkan, tetapi statusnya seperti hidup segan mati tak mau.

Ingatan kami pun melayang pada medio Juni-Juli tahun lalu, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dalam sebuah debat yang disiarkan langsung di televisi berjanji penerapan SJSN sudah siap pada 2010 dengan perhitungan yang jelas sumber pendanaannya.

Kalau di AS, Obama benar-benar mewujudkan regulasi itu. Namun, Indonesia sebenarnya sudah punya UU, tinggal membuat peraturan pemerintah. Itu pun belum kelar.

Jaminan sosial

Begitu juga, RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) sebagai turunan dari UU SJSN yang seharusnya segera dibahas DPR, tetapi malah wait and see, padahal, Pasal 52 Ayat (3) UU No. 40 tentang SJSN menyatakan kalau semua ketentuan yang mengatur mengenai BPJS perlu disesuaikan dengan Pasal 5 UU SJSN paling lambat 19 Oktober 2009.

Buntutnya, sebanyak empat BUMN yang dicanangkan sebagai BPJS, yaitu PT Jamsostek (Persero), PT Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), PT Asuransi Sosial ABRI (Asabri), dan PT Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes) pun masih menunggu: apa tetap berbentuk BUMN dengan tugas khusus sebagai BPJS atau membentuk BPJS baru.

Direktur Utama Jamsostek Hotbonar Sinaga yang juga Ketua Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial Indonesia mengatakan pemerintah perlu segera memfinalisasi soal BPJS dan pengawasan ke depan.

Selain itu, Direktur Askes I Gede Subawa juga urun bicara soal jaminan kesehatan masyarakat itu. Dia bilang pihaknya telah menjalankan prinsip dan sistem yang bakal diimplementasikan di AS itu.

Saat ini, 138 pemerintah daerah telah mengasuransikan penduduk kepada Askes dan ditanggung oleh APBD. Namun, sistem jaminan kesehatan yang menyeluruh tetap perlu digenjot.

Perjuangan mengusung jaminan sosial ini memang penuh tantangan, tetapi pemerintah dan parlemen perlu menunjukkan political will yang kuat untuk mengegolkan sistem tersebut.

Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri menuturkan pemerintah telah mengusulkan jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bahkan, pemerintah sudah menghitung proyeksi premi senilai Rp20 triliun per tahun melalui dana APBN/APBD.

Langkah tersebut merupakan tindak lanjut dari jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin yang saat ini melindungi 76,40 juta penduduk dengan merogoh kocek APBN Rp5,10 triliun per tahun.

"Rencana pemberian jamkesmas bagi seluruh rakyat Indonesia sudah ada dalam roadmap kami. Meski demikian, target pencapaiannya baru pada 2014. Kami masih menunggu finalisasi UU BPJS dari DPR," ujar Usman.

Obama mungkin akan berkisah tentang perjuangannya dalam mengegolkan RUU Kesehatan itu pada kunjungannya ke Indonesia Juni nanti.

Namun, kami pikir, Indonesia perlu memotivasi diri lebih kuat dalam menjawab tantangan domestik itu. Toh, tak sedikit keluhan warga miskin yang sudah digelontorkan dana Rp5,10 triliun itu. Bukankah kesehatan yang lebih baik juga akan berujung pada produktivitas bangsa yang unggul? (06) (tahir.saleh@bisnis. co.id/sylviana.pravita@bisnis.co.id)

Dikutip dari artikel Harian Bisnis Indonesia edisi 23 Maret 2010 berjudul: "Quo Vadis Jaminan Kesehatan, Berkaca Pada Konsistensi Obama Soal RUU Kesehatan.

Foto: www.portlandart.net

Senin, 15 Maret 2010

Miliarder versi Forbes, antara rokok dan sawit

Bisnis rokok dan kelapa sawit yang menarik perhatianku saat melengok daftar 100 miliarder 2010 versi majalah Forbes pekan lalu khususnya menyangkut tujuh orang Indonesia yang berhasil masuk dalam rating yang dipublikasikan pada www.forbes.com itu.

Majalah dwi mingguan yang didirikan pada 1917 di AS itu memang dikenal karena rajin banget memetakan kekayaan orang lain dari mulai The Forbes 400 hingga yang teranyar ini The World’s Billionaires, isinya mencatut 1000 orang tajir seantero dunia.

Nah dari Indonesia tidak ketinggalan menelorkan orang-orang berduit walaupun bangsa ini tak henti-hentinya didera krisis serta tingkat kemiskinan pun masih tinggi. Akan tetapi kita bisa menyumbang hingga tujuh nama konglomerat yang kebanyakan malah menetap di Singapura dalam rating tersebut. Uniknya, mayoritas berbisnis rokok dan kelapa sawit.

Ada kakak-beradik dari perusahaan rokok
Djarum Michael Hartono dan Budi Hartono (urutan 258, US$3,5 miliar), bos Wilmar Group yang ‘main’ di kelapa sawit Martua Sitorus (316, US$3 miliar), serta pemilik Rajawali Corp Peter Sondakh (437, US$2,2 miliar) juga pundi-pundinya di bisnis tembakau.

Tiga nama lagi ialah pemilik Raja Garuda
Sukanto Tanoto (536, 1,9 miliar), pemilik PT Bayan Resources Tbk Low Tuck Kwong (828, US$1,2 miliar) dan ‘the rising star’ bos Grup Para Chairul Tandjung (937, US$1 miilar). Dua yang terakhir lebih banyak berkecimpung di bisnis batubara dan media.

Adapun urutan pertama rating Forbes itu dihuni oleh Carlos Slim Helu, pemilik bisnis telekomunikasi dari Meksiko. Nilai kekayaannya mencapai US$18,5 miliar, yah kira-kira Rp185 triliun (1US$=Rp10.000) melampaui dua miliarder AS yakni pendiri Microsoft Bill Gates dan jawara pasar modal Warren Buffet.

Dari urutan-urutan yang buat kita iri positif itu bisa ditarik kesimpulan “Bisnis media dan telekomunikasi punya andil besar di Amerika, sementara rokok dan sawit punya andil besar banget dalam hal kekayaan di Indonesia padahal dua hal ini kontradiksi.”

Dikatakan paradoks karena di satu sisi kelapa sawit begitu membanggakan bagi Indonesia lantaran dikenal sebagai produsen terbesar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Namun di sisi lain rokok berdampak buruk bagi otak dan kesehatan generasi muda meski menyumbang pajak dan penyerapan tenaga kerja.

Pada sawit kita memang dikenal sebagai produsen terbesar tetapi belum bisa beranjak dari label produsen CPO mentah. Oil World dalam buletinnya yang dikutip
Bloomberg dan Bisnis Indonesia mempertegas posisi kita karena memperkirakan produksinya CPO kita tahun ini naik 1,6 juta ton menjadi 22,5 juta ton sementara Malaysia hanya mencapai 17,8 juta ton. Artinya hampir 52% kontribusi ada di Indonesia dari total produksi global tahun lalu 44,3 juta ton.

Namun, pada rokok kebanggaan itu bagiku justru berbalik arah dan menjadi momok menakutkan. Kalau di Singapura, pemerintah menekan konsumsi rokok dengan harga jual yang begitu tinggi hingga Rp90.000 per bungkus atau kadang desain rokok begitu menyeramkan, kita malah sempat-sempatnya menyelenggarakan lomba desain bungkus rokok yang trendi, iklan rokok yang terkesan jantan, atau konser musik dan olahraga yang disponsori merek rokok.

Tulisan MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN itu pun dikecilkan dan sengaja tidak digubris padahal Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan rokok telah membunuh sekurangnya 5 juta orang setiap tahun dan jumlah kematian perokok pasif mencapai 600 ribu per tahun.

Oleh sebab itu meski namaku tak ada dalam daftar rating 1000 miliarder Forbes, aku berharap dalam konteks relasi bisnis rokok dan sawit inilah, kiranya ada perhatian pemerintah baik menyediakan industri rokok yang memperhatikan pajak, kesejahteraan sosial, dan kesehatan maupun bagaimana cara agar bisnis CPO Nasional tidak hanya berkutat pada produk mentah.

15/03/10
Foto: mediabistro.com

Kamis, 11 Maret 2010

Ketika Rock terasa Jazz

Ovy menarik senar gitarnya kian melengking memekakkan telinga sembari menatap tajam riuhan penonton. Di sampingnya, gitaris /rif lainnya, Jikun, langsung menyambut intro komposisi lagu 'radja' yang mereka perkenalkan pada 1997 itu dengan raungan gitarnya. Keduanya begitu garang malam itu.

Band asal Bandung yang digawangi Andy (vokal), Iwan (bas), Jikun (gitar), Maggi (drum), dan Ovy (gitar) ini ingin membuktikan bahwa mereka belum mati digilas lagu melayu yang kian agresif penetrasinya dewasa ini. Buktinya, malam itu, 7 Maret 2009, mereka benar-benar mempertontonkan aransemen rock lebih taji.

Band ini memang lama tak terdengar, sesepuh rock Indonesia ini menjadi salah satu bintang tamu pengisi Java Jazz Festival 2010 yang diadakan di JIExpo Kemayoran pekan lalu di tengah penampilan musisi barat tenar lain seperti Babyface, Tony Braxton, dan John Legend.

Hadirnya /rif jelas membuat suasana Java Jazz Festival 2010 tampak beda dari sebelumnya. Vakum selama empat tahun tidak membuat band ini kehilangan muka di depan publik. Sebaliknya, puluhan pengunjung ajang Jazz tahunan termasuk aku menunggu aksi panggung mereka.

Tak tanggung-tanggung pada festival dengan tiket harian seharga 300-380 ribu itu, lebih dari 7 lagu dimainkan /rif dengan diiringi musisi jazz asing seperti Michael Paulo (saksofon) dan Tony Monaco (piano hammond), dan DJ Cream. Namun, sekadar bocoran sih, penampilan DJ Cream tak bisa menandingi hentakkan sound yang nongol dari dua gitaris /rif itu.

Duet dua gitarisnya, Ovy dan Jikun, tampil kompak dan spontan dengan raungan gitar yang smooth tapi cadas, sementara gebukan drum dan permainan bass Iwan bak metronom yang tetap harmonis dari awal sampai akhir . Nah, kalau Andy, tak usah ditanya kemampuannya vocal dan aksinya di atas panggung. Liarrr….”We are rockin’ jazz” teriak Andi semangat.

Penonton tak bisa disalahkan kalau berdendang di ruangan D2 Axis Hall yang berkapasitas 9.000 penonton itu. Sayangnya, jujur kuakui, konser indoor kurang greget menampung hasrat rocker, karena jika dibandingkan dengan konser outdoor, tentu respon penonton bisa lebih dahsyat lagi.

Mau gimana lagi toh kebanyakan penonton Java Jazz juga berduit jadi mungkin saja mereka malu lepas leloncatan, terkesan jaga image.

Di luar keengganan penonton, komposisi berkesan bagiku ketika /rif memainkan hits mereka ‘radja’ dan ‘lo to yee’ hasil kolaborasi dengan pemain terompet asal Bandung dan pemain saksofon dari Bali. Manisnya aransemen ini terlihat begitu nyata lantaran gesekan biola ditambah saksofon jarang sekali menemani liukan gitar rock.

Dalam lagu rock memang jarang terjadi hal semacam itu. Makanya, meski agak dipaksakan jadi jazz, usaha keras ;rif patut diacungi jempol setidaknya mampu memecut adrenalin penonton yang sudah ‘terangsang’.

Berabe juga kan kalau dipikir-pikir /rif misalnya ganti aliran jadi jazz gara-gara cuma mau main di Java Jazz Festival. Bagiku semua musisi yang hadir tentu memainkan musik mereka, bukan untuk menjadi orang lain. Di ajang ini, pengunjung bisa menikmati dan belajar mendengarkan jazz meski tidak semua main jazz.

Wong tempat ini juga seperti supermarket musik dengan begitu banyak pilihan. Suka yang rock bisa bertahan di D2 bersama /rif, hobi denger akustik bisa mampir ke Dji Sam Soe Flavor Lounge buat lihat Andra and The Backbone dan Ari Lasso. Atau mau lihat improvisasi drumer Gigi, Hendy, bisa tengok sedikit ke stage dekat gerai Axis.

Begitulah, realita sebuah festival sebesar Java Jazz Festival tidak serta merta semua musisi di dalamnya harus bercorak jazz dan segala cabangnya meski mengusung nama jazz, alasannya tentu menarik sebanyak mungkin penonton, revenue-nya kan dari tiket juga.

Terlepas dari itu kecendrungan itu, satu hal yang patut dicatat bahwa /rif menegaskan bahwa instrumental jazz yang memikiki kord dan susunan melodi yang kadang sulit dipahami, rumit membuat kening mengerut, tetapi malam itu rock diserempet dengan jazz menyatu dalam lantunan nada indah, /rif menyajikan rock dengan cita rasa jazz.

8/3/2010

foto: thr

Entri Populer

Penayangan bulan lalu