Geliat Harga Saham Emiten CPO
M. Tahir Saleh
“KALAU KRISIS TERJADI, orang lebih prioritas
menyetop membeli mobil, bukan memangkas belanja makanan jadi pengaruh ke CPO sedikit
karena komoditas ini bagian dari makanan,” kata Widya Wiryawan dalam forum
Investor Summit 2011 di Jakarta, 5 Oktober tahun lalu.
Dirut PT Astra Agro Lestari Tbk ini ketika bahkan
yakin krisis Eropa tak ada banyak pengaruhnya ke industri minyak sawit mentah
(crude palm oil/CPO) di Indonesia apalagi soal pergerakan harga sawit. “Harga
CPO turun itu insiden saja, ini karena India menahan pembelian, tapi rasanya
ini engga lama kok naik lagi,” tegasnya optimistis.
Benar saja, 4 bulan lebih setelahnya tepatnya
kemarin, 21 Februari 2012, harga kontrak berjangka rupiah CPO di Bursa Komoditi
dan Derivatif Indonesia (ICDX) untuk pengiriman Juli 2012 mencetak angka cukup tinggi
Rp9.680 per kg.
Bandingkan dengan harga rerata penjualan CPO
Astra Agro Lestari (AALI) tahun lalu Rp7.576 per kg dan harga penjualan
rata-rata milik PT Gozco Plantations Tbk (GZCO) tahun lalu Rp7.446 per kg,
level harga sawit di bursa berjangka yang sahamnya juga dimiliki oleh Grup
Sinarmas itu masih lebih tinggi.
Di Malaysia Derivatives Exhange--salah satu
patokan harga sawit dunia—mencatat kenaikan harga minyak mentah dunia yang
menembus US$104,95 per barel pada 21 Februari akibat spekulasi terganggunya
pasokan, mengerek harga komoditas pertanian ini naik.
CPO melesat ke level tertinggi sepanjang tahun
ini setelah menyentuh RM3.268 (US$1.080) per ton atau naik 1,65% sejak awal
tahun. Pada akhir tahun lalu, harga komoditas ini berada masih berada pada level
RM3.162 per ton.
Setelah harga minyak sawit membubung, harga
saham enam dari 10 emiten sawit di Bursa Efek Indonesia (BEI) sontak menguat
kemarin. Bahkan dua di antaranya yakni AALI dan PT Smart Tbk (SMAR)
masing-masing menguat 100 poin ke Rp22.350 dan Rp5.500 per saham.
Harga saham PT PP London Sumatra Indonesia Tbk
(LSIP) juga naik 25 poin ke Rp2.700 per saham. Dari 10 saham itu, tiga saham
melemah, sisanya stagnan dengan kecenderungan melemah.
Soal kontribusi ke pergerakan indeks harga saham
gabungan yang menyentuh level 4.002,95 pada 21 Februari itu, saham-saham sektor
perkebunan (JAKAGRI) berada di urutan ke-5 penyumpang indeks setelah saham-saham
sektor perdagangan, keuangan, pertambangan, dan infrastruktur.
Dalam ulasannya, Direktur Utama PT Panin Asset
Management Winston Sual merekomendasikan saham-saham sektor perkebunan selain
saham bank, otomotif, dan pertambangan batu bara.
Sektor ini dinilai kaya akan katalis positif
seperti permintaan yang tinggi atas minyak nabati dari negara-negara berkembang
di tengah ketatnya pasokan komoditas ini. Tentu rumus supply and demand kembali
berlaku, pasokan sedikit harga melangit.
“Penurunan cadangan minyak sawit akan mendorong
harga CPO meningkat. Di sisi lain dorongan atas saham-saham ini juga didukung
valuasi saham yang cukup murah di regional,” tulis Winston dalam makalah
ulasannya, 21 Februari 2012.
Faktor
lahan
Linda Lauwira, analis PT e-Trading Securities,
mengatakan pada tahun ini memang terjadi perbedaan kondisi dibandingkan dengan
2008. Diferensiasi itu terletak pada berlanjutnya permintaan tinggi minyak
nabati—salah satunya untuk biodiesel--dari negara-negara seperti AS dan
Argentina.
Ini berbeda dari 2008 ketika Malaysia sebagai
salah satu produsen sawit dunia membukukan cadangan sawit cukup besar pada
kuartal III dan kuartal IV/2008 yang kemudian mendorong harga CPO di negeri
jiran itu turun, saham-saham indeks JAKAGRI juga jeblok.
Dia memandang di tengah kelangkaan lahan, penerapan
hukum moratorium (penundaaan ekspansi lahan gambut), intensifikasi pengawasan dari
organisasi global terhadap industri sawit, ternyata ada keuntungan.
Preferensi keuntungan itu nampak dari bank tanah
(land bank) emiten-emiten sawit di Indonesia yang masih cukup luas untuk
menghasilkan tanaman, yang tercermin dari adanya lahan belum menghasilkan
(immature) dan lahan sudah menghasilkan (mature).
Dia mengungkapan contoh lahan immature PT BW
Plantation Tbk (BWPT) saat ini luasnya mencapai 41.704 ha sedangkan areal
mature baru seluas 19.663 ha. Emiten lain seperti GZCO juga cukup besar immature-nya
yakni 90.747 ha dengan areal yang menghasilkan 21.428 ha. Adapun PT Bakrie
Sumatra Plantations Tbk (UNSP) juga cukup besar 80.000 ha dan areal menghasilkan
78.630 ha.
Selain permintaan luar negeri, tingkat konsumsi
domestik juga dipandang punya peran signifikan.
“Dengan asumsi bahwa tingkat konsumsi CPO akan
memperkuat permintaan pasar dari negara berkembang dan lebih penting dari permintaan
pasar domestik. Ini akan memproduksi tandan buah segar [TBS] dan kemudian akan
melahirkan emas cair atau CPO,” tulis Linda dalam risetnya pada Januari 2012.
Dia mengutip data Departemen Pertanian AS (USDA)
yang mencatat tingkat konsumsi minyak sawit mewakili pangsa pasar yang cukup besar
antara 36%--37% dari total konsumsi delapan minyak nabati utama di dunia dalam
5 tahun terakhir sejak 2007.
Minyak nabati lainnya adalah minyak kedelai,
minyak kacang tanah, minnyak zaitun, dan minyak kelapa. Dari data tersebut
ternyata, pertumbuhan rerata tahunan (CAGR) konsumsi CPO dari 2007--2010 sebesar
4,4%, sementara CAGR dari minyak kedelai--pengganti terdekat dari minyak
sawit--hanya 2,7%. “Permintaan minyak nabati akan berlanjut seiring dengan
ekspansi dan pertumbuhan GDP per kapita Indonesia,” tulisnya.
Dia mencatat beberapa keunggulan dari industri
CPO yang akan mendorong pertumbuhan keuntungan emiten sawit di BEI antaranya
insentif pajak untuk produk hilir. Ini akan akan memberikan keunggulan produk
hilir Indonesia atas produk hilir Malaysia.
Di sisi lain, Winston mengungkapkan selain
alasan supply and demand, valuasi harga saham emiten sawit juga relatif murah ketimbang
emiten sawit di bursa asia lain seperti di Malaysia.
Misalnya dia mencatat berdasarkan rata-rata
rasio harga saham terhadap laba bersih per saham (price to earnings ratio/PE
ratio) AALI tahun lalu 11,7 kali dan LSIP 12,1 kali bahkan PE ratio dari PT
Sampoerna Agro Tbk (SGRO) 9,6 kali. Tahun ini PE ratio AALI diproyeksikan 12,8
kali, LSIP 13,5 kali, dan SGRO 8,6 kali.
Bandingkan dengan estimasi PE ratio dari KL
Kepong (18,4 kali), Sime Darby (14,7 kali), Genting Plantations (16,1 kali),
dan Wilmar (17,5 kali). Dengan estimasi dan sejumlah katalis positif tadi,
saham-saham sektor perkebunan dinilai masih layak diperhitungkan.
Diterbitkan di Harian Bisnis Indonesia, edisi
Kamis 23 Februari 2012
foto: ews.kemendag.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar