Nyanyian
sunyi saham multifinance
Kinerja
kuat, ramah dividen, transaksi sepi
M. Tahir Saleh
SEJAK PT Buana Finance Tbk menjadi multifinance pelopor mencatatkan saham perdana di
PT Bursa Efek Indonesia pada 7 Mei 1990, kini 12 multifinance mengekor dengan
menyandang status perusahaan terbuka.
Terakhir,
dua multifinance melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2011, yakni PT HD
Finance Tbk (HDFA), anak usaha Grup Orang Tua yang bergerak di pembiayaan
sepeda motor, dan PT Tifa Finance Tbk yang menyediakan leasing alat berat.
Pada
2010, tidak ada multifinance yang menawarkan saham perdana (initial public
offering/ IPO) setelah setahun sebelumnya PT Batavia Prosperindo Finance Tbk go public pada 1 Juni 2009 dan anak
usaha Grup Panin, PT Verena Multi Finance Tbk mendahului pada 24 Juni 2008.
Mengacu
pada data Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia yang menunjukkan jumlah
perusahaan pembiayaan (multifinance) mencapai 73 perusahaan per Desember 2011,
peluang IPO pun terbuka lebar.
Di
tengah penambahan jumlah emiten multifinance, namun sayangnya saham sektor
pembiayaan tersebut tidak begitu menggeliat di pasar. Dari 12 multifinance yang
ada, tidak satu pun masuk saham blue chips di Indeks LQ-45.
Berdasarkan
data 20 pergerakan saham teraktif sejak 6 Februari 2012—10 Februari 2012, saham
sektor ini tak masuk radar. Begitu pula dengan 20 saham bernilai transaksi
terbesar, 20 saham bervolume transaksi terbesar, dan 20 saham pencetak laba
tertinggi.
Hasilnya,
nihil. Tak satupun emiten multifinance nongkrong di sana.
Sebaliknya, empat saham multifinance tercatat stagnan
yakni Batavia Finance (BPFI), PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN), PT Danasupra
Erapasific Tbk (DEFI), dan HD Finance (HDFA).
Sisanya,
delapan saham timbul-tenggelam antara 10 poin-20 poin. Pergerakan paling
signifikan ditampilkan PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF)
yang—sayangnya—terkoreksi 200 poin dari Rp12.600 ke Rp12.400 pada 10 Februari
2012.
Mari
bandingkan dengan saham emiten perbankan. Dari 31 saham itu, pada periode yang
sama, tujuh di antaranya stagnan. Sisanya naik turun di atas 25 poin bahkan ada
yang di atas 400 poin.
Minimnya
energi likuiditas di saham industri ini melebar hingga ke luar layar monitor saham.
Saat ini, sejumlah sekuritas dan manajer investasi yang menggelar paparan
publik awal tahun ini jarang sekali memasukan sektor ini ke dalam saham
rekomendasi.
Mengapa
ini terjadi, mengingat kinerja dan prospek bisnis multifinance yang positif?
Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2011, 12 emiten itu tak ada
satupun yang merugi. Delapan di antaranya untung besar dengan laba tumbuh
signifikan, dan hanya empat emiten yang labanya turun.
Kuartet
yang ‘kurang beruntung’ ini adalah Batavia Finance, PT Danasupra Erapacific
Tbk, Verena Multi Finance, dan PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk (WOM
Finance). Laba mereka turun karena terimbas beban yang naik dari kredit macet
dan beban pajak.
Tengok
juga dividennya. Sektor ini relatif ‘bersahabat’ dengan pemegang saham,
terlihat dari data dividen atas laba bersih 2010. Dari 10 emiten (dua di
antaranya listing pada 2011), enam di antaranya membagi dividen, dan sisanya
menahan laba guna ekspansi.
Bahkan
tercatat pada 2011, Buana Finance membagikan dividen interim—dividen yang dinyatakan dan dibayarkan sebelum laba
tahunan perusahaan ditetapkan—senilai
Rp43 miliar atau setara dengan Rp30 per saham.
Pada
periode 2010, ‘tetua emiten multifinance’ yang juga anak usaha PT Sari Dasa
Karsa ini membagikan dividen Rp35 per saham.
Diserap holding
Analis
PT Mega Capital Indonesia Arief Fahruri menilai pergerakan harga saham
multifinance memang tidak seagresif sektor lain seperti perbankan, tambang, dan
barang konsumsi, karena beberapa multifinance besar yang listing dimiliki induk
usaha bank.
“Rata-rata
multifinance besar dikuasai induknya yakni bank, seperti Adira yang dikuasai PT
Bank Danamon Tbk. Saya rasa likuiditasnya lebih cenderung lari ke holding-nya,”
katanya dihubungi Bisnis, kemarin.
Namun,
Arief juga menilai minimnya likuiditas saham tersebut tidak bisa dilepaskan
dari niat awal perusahaan ketika mencatatkan saham perdananya, sehingga banyak
di antara mereka yang mengalokasikan porsi saham publik terbatas.
Apalagi,
go public kadang hanya dijadikan
strategi perusahaan untuk ‘menjual institusi’ dalam artian memoles citra
perusahaan (image branding) agar berdampak pada perlasan pasar, kemudahan
ekspansi dan pendanaan.
“Faktanya,
saham publik di emiten multifinance memang tidak begitu besar. Kita juga mesti
lihat mekanisme IPO-nya, strategi IPO apakah kebutuhan dana, atau cari benefit
lain seperti misalnya agar akses permodalan lebih mudah,” katanya.
Dalam
hal ini, Arief tak sepenuhnya salah. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
banyak multifinance yang menjadi kepanjangan tangan bank atau agen tunggal
pemegang merek (ATPM) guna memperkuat pendapatan konsolidasi mereka.
Lihat
saja kerjaan industri multifinance yang terfokus pada jualan mobil atau motor
kredit. Padahal, wilayah multifinance yang bisa digarap sangatlah luas seperti
misalnya leasing alat berat, kartu kredit, dan anjak piutang (factoring).
Sayangnya,
multifinance yang ‘independen’ justru tidak bisa survive mengalahkan perusahaan
serupa yang disetir bank dan ATPM tersebut. Tidak heran, dua emiten
multifinance angkat tangan, dan memilih putar haluan berbisnis komoditas.
Mereka
adalah PT Duta Kirana Finance (kini PT Central Omega Resources Tbk) dan PT
Indocitra Finance (kini PT Amstelco Indonesia Tbk).
Go
public yang idealnya memberi solusi pendanaan bagi multifinance—agar tidak
bergantung pada bank, justru bertepuk sebelah tangan. Saham mereka belum
diapresiasi secara layak. (Arif Gunawan S.) (tahir.saleh@bisnis.co.id)
Diterbitkan
di Harian Bisnis Indonesia, edisi 16 Februari 2012
Foto: baf.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar