Rabu, 29 Februari 2012

Saham Multifinance

Nyanyian sunyi saham multifinance
Kinerja kuat, ramah dividen, transaksi sepi
M. Tahir Saleh
SEJAK PT Buana Finance Tbk menjadi multifinance pelopor mencatatkan saham perdana di PT Bursa Efek Indonesia pada 7 Mei 1990, kini 12 multifinance mengekor dengan menyandang status perusahaan terbuka.

Terakhir, dua multifinance melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2011, yakni PT HD Finance Tbk (HDFA), anak usaha Grup Orang Tua yang bergerak di pembiayaan sepeda motor, dan PT Tifa Finance Tbk yang menyediakan leasing alat berat.


Pada 2010, tidak ada multifinance yang menawarkan saham perdana (initial public offering/ IPO) setelah setahun sebelumnya PT Batavia Prosperindo Finance Tbk go public pada 1 Juni 2009 dan anak usaha Grup Panin, PT Verena Multi Finance Tbk mendahului pada 24 Juni 2008.

Mengacu pada data Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia yang menunjukkan jumlah perusahaan pembiayaan (multifinance) mencapai 73 perusahaan per Desember 2011, peluang IPO pun terbuka lebar.

Di tengah penambahan jumlah emiten multifinance, namun sayangnya saham sektor pembiayaan tersebut tidak begitu menggeliat di pasar. Dari 12 multifinance yang ada, tidak satu pun masuk saham blue chips di Indeks LQ-45.

Berdasarkan data 20 pergerakan saham teraktif sejak 6 Februari 2012—10 Februari 2012, saham sektor ini tak masuk radar. Begitu pula dengan 20 saham bernilai transaksi terbesar, 20 saham bervolume transaksi terbesar, dan 20 saham pencetak laba tertinggi.
Hasilnya, nihil. Tak satupun emiten multifinance nongkrong di sana.

Sebaliknya,  empat saham multifinance tercatat stagnan yakni Batavia Finance (BPFI), PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN), PT Danasupra Erapasific Tbk (DEFI), dan HD Finance (HDFA).

Sisanya, delapan saham timbul-tenggelam antara 10 poin-20 poin. Pergerakan paling signifikan ditampilkan PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF) yang—sayangnya—terkoreksi 200 poin dari Rp12.600 ke Rp12.400 pada 10 Februari 2012.

Mari bandingkan dengan saham emiten perbankan. Dari 31 saham itu, pada periode yang sama, tujuh di antaranya stagnan. Sisanya naik turun di atas 25 poin bahkan ada yang di atas 400 poin.

Minimnya energi likuiditas di saham industri ini melebar hingga ke luar layar monitor saham. Saat ini, sejumlah sekuritas dan manajer investasi yang menggelar paparan publik awal tahun ini jarang sekali memasukan sektor ini ke dalam saham rekomendasi.
Mengapa ini terjadi, mengingat kinerja dan prospek bisnis multifinance yang positif? Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2011, 12 emiten itu tak ada satupun yang merugi. Delapan di antaranya untung besar dengan laba tumbuh signifikan, dan hanya empat emiten yang labanya turun.

Kuartet yang ‘kurang beruntung’ ini adalah Batavia Finance, PT Danasupra Erapacific Tbk, Verena Multi Finance, dan PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk (WOM Finance). Laba mereka turun karena terimbas beban yang naik dari kredit macet dan beban pajak.

Tengok juga dividennya. Sektor ini relatif ‘bersahabat’ dengan pemegang saham, terlihat dari data dividen atas laba bersih 2010. Dari 10 emiten (dua di antaranya listing pada 2011), enam di antaranya membagi dividen, dan sisanya menahan laba guna ekspansi.

Bahkan tercatat pada 2011, Buana Finance membagikan dividen interim—dividen  yang dinyatakan dan dibayarkan sebelum laba tahunan perusahaan ditetapkan—senilai  Rp43 miliar atau setara dengan Rp30 per saham.

Pada periode 2010, ‘tetua emiten multifinance’ yang juga anak usaha PT Sari Dasa Karsa ini membagikan dividen Rp35 per saham.

Diserap holding
Analis PT Mega Capital Indonesia Arief Fahruri menilai pergerakan harga saham multifinance memang tidak seagresif sektor lain seperti perbankan, tambang, dan barang konsumsi, karena beberapa multifinance besar yang listing dimiliki induk usaha bank.

“Rata-rata multifinance besar dikuasai induknya yakni bank, seperti Adira yang dikuasai PT Bank Danamon Tbk. Saya rasa likuiditasnya lebih cenderung lari ke holding-nya,” katanya dihubungi Bisnis, kemarin.

Namun, Arief juga menilai minimnya likuiditas saham tersebut tidak bisa dilepaskan dari niat awal perusahaan ketika mencatatkan saham perdananya, sehingga banyak di antara mereka yang mengalokasikan porsi saham publik terbatas.

Apalagi, go public kadang hanya dijadikan strategi perusahaan untuk ‘menjual institusi’ dalam artian memoles citra perusahaan (image branding) agar berdampak pada perlasan pasar, kemudahan ekspansi dan pendanaan.

“Faktanya, saham publik di emiten multifinance memang tidak begitu besar. Kita juga mesti lihat mekanisme IPO-nya, strategi IPO apakah kebutuhan dana, atau cari benefit lain seperti misalnya agar akses permodalan lebih mudah,” katanya.

Dalam hal ini, Arief tak sepenuhnya salah. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa banyak multifinance yang menjadi kepanjangan tangan bank atau agen tunggal pemegang merek (ATPM) guna memperkuat pendapatan konsolidasi mereka.
Lihat saja kerjaan industri multifinance yang terfokus pada jualan mobil atau motor kredit. Padahal, wilayah multifinance yang bisa digarap sangatlah luas seperti misalnya leasing alat berat, kartu kredit, dan anjak piutang (factoring).

Sayangnya, multifinance yang ‘independen’ justru tidak bisa survive mengalahkan perusahaan serupa yang disetir bank dan ATPM tersebut. Tidak heran, dua emiten multifinance angkat tangan, dan memilih putar haluan berbisnis komoditas.

Mereka adalah PT Duta Kirana Finance (kini PT Central Omega Resources Tbk) dan PT Indocitra Finance (kini PT Amstelco Indonesia Tbk).

Go public yang idealnya memberi solusi pendanaan bagi multifinance—agar tidak bergantung pada bank, justru bertepuk sebelah tangan. Saham mereka belum diapresiasi secara layak. (Arif Gunawan S.) (tahir.saleh@bisnis.co.id)


Diterbitkan di Harian Bisnis Indonesia, edisi 16 Februari 2012
Foto: baf.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu