SAYA gagal ke Jerman kali ini. Akhir tahun lalu, Elvani, sahabat saya
di kantor mengirimkan surat elektronik mengenai kursus singkat jurnalistik soal
ekonomi dan keuangan di Berlin, Jerman, selama 2 bulan dari Februari-April
2012.
Short course ini
digelar oleh International Institute for Journalism (IIJ) of GIZ–Deutsche
Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit GmbH, Jerman. Ribet juga bacanya
tapi yah semacam sekolah jurnalistik begitu.
Elvani
sudah ikut program sama dengan tema berbeda pertengahan tahun lalu di Hamburg bersama
beberapa wartawan, salah satunya dari Harian Kontan. Selain Elvani, senior saya
di kantor, Mba Ratna dan Mas Algoth juga pernah dapat kesempatan belajar
di negeri asing; Belanda dan Jerman. Inspiratif sekali mereka ini. Keinginan
belajar di luar negeri meski bukan kuliah S2 ini sudah lama terpendam. Tujuan
pertama saya mengajukan diri mengikuti seleksi ini karena ingin dapet duit dan
jalan-jalan lihat salju, lho. Hehe.
Sebetulnya
bukan itu juga sih, tujuan sok idealisnya ingin belajar jurnalistik keuangan
dari tutor asing sekaligus memperlancar bahasa Inggris saya yang masih dodol,
belum 100%. Tata bahasa saya cukup kacau meski jika secara lisan lumayan dah.
Nah tujuan
lain, ingin nonton bola di Allianz Arena, haha markas klub Bayern Muenchen yang
diresmikan 7 tahun lalu,...meski kursusnya bukan di Muenchen tapi di Berlin.
Saya
fikir kapan lagi bisa ke Jerman gratis, dikasih duit pula. Di Facebook, Elvani
menulis perjalanannya ke Eropa dimulai dari Hamburg, Paris, sampai ke Praha,
Perjalanan indah. Kalau tak salah dia mengabiskan dana sekitar Rp5 juta dari
kocek sendiri, yah duit segitu untuk sebuah perjalanan keliling Eropa tentu
kecil sekali.
Akhirnya seleksi
saya ikuti, mulai dari surat motivasi, dua rekomendasi (dari pemred dan dari Bu
Etty Retno, eselon dua di Bapepam-LK--Kepala Biro Standar Akuntansi dan
Keterbukaan), dokumen pendukung (surat pernyataan, form pendaftaran, foto copy
passport, kartu pers, kliping kumpulan tulisan, dan lainnya) semuanya dalam
bahasa Inggris.
Tes
terakhir saya jalani di Kedutaan Jerman di Thamrin Jakarta. Wawancaranya dengan
Christoph Seemann, Kepala bagian pers dan budaya atau Leiter de Kultur und
preeseabteilung legationsrat.
Adalah Ibu
Luki Hermanto (public and cultural affairs) yang awalnya mengurus segalanya.
Dia sudah 10 tahun lebih bekerja di Kedutaan Jerman di Jakarta. Bahasa
Jermannya ngelotok. Tapi dia pensiun akhir Desember tahun lalu digantikan Ibu
Anita Adriana. “Kalau kamu lolos nanti kumpulin deh temen-temen yang lolos,
kursus singkat bahasa Jerman,” janji Bu Luki ketika itu.
Setelah
semua proses saya jalani hampir 1 bulan, masuk email dari perwakilan GIZ. Saya
tidak termasuk perwakilan. Barangkali seiring dengan krisis eropa, jumlah
peserta dibatasi 1 tiap negara. Yang lolos hanya Mas Benny Koestanto dari
Kompas. Iri juga melihat update
status BB-nya dan foto BB-nya berlatar bandara Berlin ketika sudah sampai awal
Februari lalu.
"Senin
ini saya berangkat,” katanya saat bersua di acara seminar di Hotel Dharmawangsa
Jakarta. Saya kenal Mas Benny hampir setahun, dia pindah ke desk pasar modal
menggantikan Reinhard--didera kasus pembelian saham krakatau steel.
Mas Benny
juga salah satu penulis kumpulan artikel di buku ekspedisi Kompas soal Nusa
Tenggara Timur.
Tapi sudahlah.
Saya tak mau larut dalam kepedihan dan kenestapaan ini (duileh). Kesedihan tak
meilhat salju. Hisk. “Tahir, kegagalan adalah sukses yg tertunda. Keep trying n
fighting for ur dreams. Cheers" kata Ibu Etty membalas sms saya ketika
menginformasikan saya gagal.
Saat ikut
seleksi, saya bersama dengan wartawan Tempo, Seputar Indonesia, Kontan, Rakyat
Merdeka, dan The Jakarta Post pada tahap pertama. Informasi ini saya dapat
ketika bersama sama datang ke Kedubes Jerman di Thamrin sana. Saya gagal karena
tak masuk kualifikasi mereka.
"We
are sorry to have to inform you that ur application could not be honoured. With
more than 75 application from 14 country for only 15 slots in the course we
were in more cases only able to select one participant per country." Tulis Almut Ihling, konsultan kursus melalui email pada 2 januari lalu. Arti singkatnya “sori
mabro, banyak banget yang masukin aplikasi, jadi kami pilih 1 negara 1 orang
yang paling sesuai kriteria kami.”
Padahal negara
ini sudah ada dalam benak saya. Ayah saya pernah ke sini tatkala menjadi pelaut
masih muda. Negeri ini sangat mengagumkan dari sisi sejarah. Tembok Berlin,
Hitler, Nazi, sepakbolanya, militernya, dan teknologi. Saat baca buku Ainun dan
Habibie, rasanya indah sekali Jerman itu. Apalagi dulu pas SMA, aliyah, saya
belajar di kelas bahasa, bahasa Jerman, meski sekarang lupa lagi.
Mungkin
suatu saat saya akan ke sana. Elvani mengusulkan saya ikut lagi seleksi untuk
summer course September mendatang. Memang tak ada gunanya bersedih. La Tahzan,
buku best seller dunia yang ditulis Dr 'Aidh al Qarni menulis agar manusia
tidak uring-uringan, menyerah sepenuhnya pada qadha', ridha terhadap pilihan
Rabb-nya dan tidak bersedih atas sesuatu yang telah lalu.
"Aku
hidup tanpa mempedulikan hasil, tidak ada gunanya untuk peduli" begitu
tulis al-Qarni.
Tapi saya
tetap bertekad ke Jerman suatu saat...amin.
foto: gramatikhaus.blogspot
Hai, saya tertarik ingin ikut kursus singkat IIJ bulan September, ingin tanya mengenai pengiriman berkas ke kedutaan Jerman itu kita ke bagian apa ya? Thanks
BalasHapusHai juga, km bisa langsung ke kantor kedubes jerman di deket Bunderan HI, bertemu dengan Ibu Anita Adriana yah
Hapussukses yah, smga tembus...
Hi, saya juga ingin sekali ke Jerman.. Tapi bukan untuk kursus, melainkan ingin mengajak Anggi jalan-jalan.. Berapa ya ongkosnya?
BalasHapusBisa bantu siapin Angginya ga? Kayaknya doi dihubungi aja susah banget..Hahahahaha
ENiwey muucih eaa kakaaa
Saya ga diajak? Yakim cuman Anggi yg diajak? 😝😝😝
Hapusoomaygod...4 tahun ceritanya uda lewat...km jg uda balik dari berlin,,,haha
HapusBaru baca tulisan ini 😂😂😂
BalasHapus