M. Tahir Saleh
ENTAH sudah berapa kali CEO AirAsia Tony Fernandes menyambangi Jakarta dari Kuala Lumpur demi memproses pembelian maskapai penerbangan lokal Batavia Air yang sejak Juli lalu disepakati.
ENTAH sudah berapa kali CEO AirAsia Tony Fernandes menyambangi Jakarta dari Kuala Lumpur demi memproses pembelian maskapai penerbangan lokal Batavia Air yang sejak Juli lalu disepakati.
Meski
negosiasi itu akhirnya kandas, toh
publik tak banyak tahu bahwa bekas pegawai Warner Music itu tak hanya
menggunakan maskapainya sendiri, AirAsia, tapi juga jet pribadi ke Jakarta
melalui Bandara Halim Perdanakusuma.
“Kalau
dari KL [Kuala Lumpur] ke Jakarta beliau sering naik maskapai AirAsia, tapi
terakhir beliau ke sini sepengetahuan saya beliau naik private jet,” kata Audrey Progastama Petriny, Communications
Manager AirAsia Indonesia, belum lama ini.
Bagi
pengusaha sekelas Tony, sepertinya bukan ingin menunjukan dirinya mampu membeli
pesawat pribadi tapi barangkali faktor waktu yang menyebabkan pesawat pribadi
menjadi pilihannya.
Harga
pesawat pribadi memang sesuai dengan jenisnya dan bisa mencapai US$2 juta—US$3
juta atau sektar Rp19 miliar—Rp28,5 miliar (asumsi kurs Rp9.500 per dolar AS).
Harga itu setara dengan laba perusahaan berkapitalisasi menengah di Bursa Efek
Indonesia dalam setahun.
Selain
Tony, sebetulnya cukup banyak pengusaha Indonesia yang memiliki pesawat pribadi
meski soal ini belum ada data pasti dan dipublikasikan secara resmi karena
cenderung tertutup.
Saat
datang ke Bandara Halim Perdanakusuma dan berbincang dengan eksekutif perusahaanpenerbangan
tidak berjadwal alias pesawat carter, saya memperoleh informasi tentang siapa saja
pengusaha di Tanah Air yang punya jet pribadi. Halim Perdanakusumamemang
diperuntukkan sebagai basis penerbangan pesawat nonberjadwal,carter, dan
militer.
Seorang
eksekutif salah satu perusahaan carter Indonesia membeberkan ada sejumlah
pengusaha telah lama mengoleksi pesawat pribadi. Aburizal Bakrie misalnya.
Ketua Umum Partai Golkar ini kabarnya punya tiga jenis Cessna Citation yang
dikelola oleh perusahaan carter Pegasus.
Keluarga
Jusuf Kalla juga punya dua sampai tiga unit pesawat tetapi ada satu unit yang
khusus diperuntukan sendiri dan tidak untuk disewakan saat pesawat itu nganggur. Mantan Wapres itu kabarnya
‘menitipkan’ pesawatnya di Nusantara Air Carter.
Prabowo
Subianto, politisi Partai Gerindra ini juga kabarnya punya, sedangkan Grup Wilmar
International yang bergerak di bidang kelapa sawit punya pesawat pribadi jenis
Cessna Grand Caravan yang dititipkan di Enggang Air Service.
Chief
Operating Officer Grup Wilmar Martua Sitorus tercatat merupakan orang terkaya
nomor empat di Indonesia pada tahun ini versi Majalah Forbes dengan taksiran
kekayaan US$3,0 miliar. Pengusaha lainnya adalah Surya Paloh dan Osman Sapta
Odang. Kabar terakhir menyebutkan Chairul Tandjung, pengusaha pemilik CT Corp
yang tenar saat ini juga akan membeli pesawat pribadi.
Commercial
Manager Enggang Air Service Harry Priyono mengatakan pilihan menggunakan
pesawat pribadi atau menyewa pesawat di perusahaan carter bagi pengusaha,
pejabat, atau orang penting dalam perusahaan kini menjadi satu kebutuhan, bukan
sekadar prestise.
“Buat
mereka waktu lebih fleksibel, kalau ikut [pesawat] reguler kan kut jadwal, tapi persepsi masyarakat itu gaya—gayaan. Waktu
mereka terlalu padat dan ketat, udah
engga keburu ikut pesawat regular, memang kebutuhan,” katanya.
Potensi besar
Dari
bisnis, potensi pasar penyewaaan pesawat masih sangat besar seiring dengan
makin banyak orang kaya di Indonesia, apalagi pertumbuhan ekonomi Indonesia
begitu bagus dan positif. Forbes mencatat dari 1.226 orang kaya di dunia pada tahun
ini, 17 di antaranya adalah pengusaha asal Indonesia.
Harry
yang mantan Direktur Niaga Sriwijaya Air dan Express Air ini menilai faktor
pendorong lain yang ikut mendorong pertumbuhan industry pesawat carter adalah
penyelenggaraan berbagai konferensi, seminar, dan pameran skala nasional dan
internasional di Indonesia. Banyak tokoh internasional yang datang dengan
menggunakan pesawat carter.
“Saat
Christiano Ronaldo itu datang ke Indonesia kan pesawat carternya berhenti di Singapura
lalu beralih ke carter Indonesia, jadi secara umum potensi carter besar,”
katanya.
Selain
itu layanan evakuasi medis atau medical evacuation juga menjadi salah satu pendorong
lainnya. Hal itu lantaran ada kebutuhan pesawat carter untuk membawa pasien
yang tidak bisa ditangani oleh rumah sakit Indonesia untuk diterbangkan ke Singapura.
Terlebih
lagi, pusat bisnis yang berada di Jakarta dan Pulau Jawa, dinilai tidak mampu
lagi dilayani oleh maskapai komersil berjadwal.
Berdasarkan
data Indonesia National Air Carrier Association (INACA), pada tahun lalu terdapat
22 anggota maskapai penerbangan tidak berjadwal, termasuk pesawat carter. Jumlah
ini di luar 17 maskapai penerbangan berjadwal, belum termasuk Pacific Royale yang
baru beroperasi tahun ini.
Salah
satu di antaranya yakni Enggang Air yang akan berubah nama menjadi OSO Jet
dengan mengoperasikan satu unit Embraer Legacy 600, satu Cessna Citation VII,
dua Cessna Gr and Caravan, dan satu unit helikopter Agusta AW 109SP. Jenis
pesawat Caravan yang harganya berkisar US$2 juta-US$3 juta tersebut, cocok
untuk melayani pe nerbangan ke wilayah terpencil.
Beda
lagi dengan Embraer Legacy dan Cessna Citation yang biasanya dikhususkan untuk
kelas eksekutif dengan kapasitas masing-masing 13 penumpang dan tujuh
penumpang.
Soal
harga sewa, secara umum sangat tergantung pada jenis pesawat, namun biasanya tidak
berbeda jauh antaroperator. Perbedaan hanya terletak pada layanan. Jenis Embraer
Legay, misalnya, harga sewanya sekitar US$8.000 per jam, sedangkan Caravan
US$1.600 per jam [bukan US$7.000 per jam sebagaimana tertulis sebelumnya].
Data
INACA menyebutkan terdapat sejumlah maskapai pemegang Surat Izin Usaha Angkutan
Udara Niaga (SIUAUN) berjadwal yang memiliki SIUAUN tidak berjadwal, begitu
pula sebaliknya.
Artinya,
pertumbuhan bisnis penerbangan komersial dalam beberapa tahun terakhir
ini—khususnya segmen domestik—tak hanya dinikmati maskapai penerbangan
berjadwal tetapi juga pesawat carter.
Pada
tahun lalu, jumlah penumpang rute domestik untuk penerbangan berjadwal mencapai
60,20 juta, atau naik dari tahun sebelumnya 51,78 juta.
Dari
sisi kompetisi, Harry berpendapat persaingan di bisnis pesawat carter sejauh
ini masih cukup sehat. Tidak ada saling tusuk dari belakang antarpesaing
ataupun banting harga.
Peluang
bisnis yang cukup besar inilah yang tampaknya menjadi pertimbangan beberapa
maskapai regular seperti Lion Mentari Airlines (Lion Air) untuk meluncurkan Bizjet
pertengahan tahun ini guna membidik pasar pesawat carter.
Direktur
Umum Lion Air Edward Sirait juga berpendapat potensipasar pesawat carter di
Indonesia masih tinggi dan dan sangat terbuka lebar.
“Aktivitas
bisnis yang makin menyebar, membuat para pebisnis butuh sarana transportasi
yang cepat dan efisien,” katanya.
Bizjet,
layanan pesawat carter milik Lion Air yang beroperasi pada Juni 2012, sering melayani
penerbangan tujuan Kalimantan, Sulawesi hingga Singapura dengan menggunakan
pesawat Hawker berkapasitas tujuh kursi. Harga pesawat tipe ini sekitar US$20
juta - US$30 juta per unit.
Dia
mengakui agak sulit memperoleh data lengkap mengenai nilai dan potensi bisnis penerbangan
tak berjadwal di Indonesia sebab sebagian pesawat carter dimiliki perorangan.
Pada
awalnya, para pengusaha pemilik pesawat pribadi menggunakannya untuk keperluan
kepentingan bisnisnya sendiri. Namun, mengingat pesawat tersebut tidak terbang
setiap hari, maka mereka pun mulai menyewakannya. Selain bisa memperoleh pendapatan
tambahan yang tidak kecil, juga dapat meringankan beban biaya perawatan
pesawat. (Sukirno/Chamdan Purwoko) (tahir.saleh@bisnis.co.id)
Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia edisi Selasa, 27
November 2012
Semoga kita semua bisa ikutan bisnis ini
BalasHapus