|
IFW 2014, rancangan Juanita Seno Aji, photo by Jhoni Hutapea/Bloomberg Businessweek Indonesia |
Ada problem besar di
balik ingar-bingar konten lokal dalam pagelaran mode Tanah Air.
Oleh
M. Tahir Saleh
UNDANGAN dari Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah Kementerian Perindustrian Euis
Saedah itu datang pada Selasa, 18 Februari.
Yustina Makunimau (42), Kepala Bidang Perindustrian Dinas Koperindag
Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, diminta hadir membawa seorang penenun ke
ajang Indonesia Fashion Week (IFW) 2014 di Jakarta.
“Mendadak
sekali ya, Bu. Apa keburu?” tanya Yustina kepada staf khusus dirjen yang
meneleponnya. “Usahakan Ibu hadir,” begitu jawaban dari seberang telepon.
Esoknya,
Yustina langsung mengontak Sariat Lebana, penenun asli Alor. Mereka bergegas
menyiapkan remeh-temeh keperluan perjalanan ke Jakarta karena IFW
diselenggarakan di Jakarta Convention Center (JCC) 20-23 Februari. Awalnya
berat lantaran tenggat mepet, ditambah lagi belum ada izin dari kepala dinas.
Tapi rasanya muskil menolak undangan dirjen. Mereka lalu berangkat menuju
Kupang, ibu kota NTT, pada Kamis dan melanjutkan perjalanan dengan Batik Air
menuju Jakarta. Jumat pagi, dua perempuan sebaya ini tiba. Mereka lalu memutuskan
menginap di Wisma Pertamina, depan Stasiun Gambir, Jakarta Pusat.
Hari
sebelumnya (Kamis), IFW resmi dibuka oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif Mari Elka Pangestu serta Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Acara
tahunan yang digelar sejak 2012 ini menjadi pekan mode, selain Jakarta Fashion
Week dan Jakarta Fashion and Food Festival.
Lebih
dari 200 desainer dan sekitar 500 merek lokal menjadi peserta gelaran hasil
kerja sama Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) bersama
Radyatama ini. Awalnya pendaftar menembus 900 produk, tapi disaring menjadi 500
demi menjaga kualitas. Nilai transaksi tunai selama pameran mencapai sekitar
Rp12 miliar, belum terhitung via kartu kredit dan order lainnya. “Pengunjung
mencapai sekitar 80.000. Ini berkat ada acara lain juga di JCC. Tapi, arah
Indonesia Fashion Week bukan hanya soal pesanan melainkan agar desainer punya
networking,” jelas Dini Midiani, Direktur IFW, pekan silam.
Tema
yang diusung IFW kali ini ‘Local Movement, Green Movement’, mengajak masyarakat
mencintai produk lokal. Tahun lalu, temanya menahbiskan sarung sebagai tren
busana, dan pada 2012 mengambil tema ‘Colorful Indonesia’.
Tema-tema
lokal ini terus didengungkan, termasuk dalam pagelaran mode Jakarta Fashion
Week dan Jakarta Fashion and Food Festival. Konten lokal, antara lain kain
tenun atau batik, juga menjadi daya tarik saat desainer beranjangsana dalam
pekan mode di luar negeri. Itu sebabnya, kehadiran Sariat Lebana, satu dari
ratusan penenun asli, menjadi penting dalam pagelaran ini guna membuktikan
kepedulian penyelenggara terhadap konten lokal.
**
KEBERADAAN penenun
lokal—kebanyakan berusia tua—selama ini memang mendapat perhatian para pemangku
kepentingan (stakeholders), meski belum dibilang optimal. Padahal tenun sudah
ada sejak dulu, leluhur mereka bahkan bergelut dengan aktivitas tradisional ini
berabad-abad lamanya.
Betul
bahwa pemerintah memberdayakan penenun dengan menggelar pameran, membiayai
perangkat, pameran ke luar negeri, mendirikan rumah tenun, peningkatan
pengetahuan, dan lainnya. Pengusaha tekstil atau desainer juga menunjukkan
kepedulian dengan memasukkan konten lokal dalam karyanya, lalu dipamerkan. Akan tetapi, itu belum cukup.
Beberapa
desainer atau pengusaha tekstil memang serius mengangkat tenun ikat untuk
diterapkan pada pakaian ready to wear (siap pakai berproduksi massal). Tapi
mirisnya, terselip beberapa desainer—tidak memakai kain tenun—yang malah
‘mencuri’ motif tenun untuk diimplementasikan dalam karya mereka.
Alasannya,
kain tenun terkendala dana, proses pembuatannya tak bisa massal dalam waktu
cepat karena dibuat dengan tangan kosong dan sangat tradisional, ditambah
karakter bahannya belum mendukung industri fashion lantaran panas dan tebal.
Alhasil, jiplakan motif pun terjadi atas ragam hias tenun di antaranya flora,
fauna, geometris, dan dekoratif.
|
Musa, photo by Bronz Magazine |
Langkah
laten ini jelas merugikan penenun karena sampai kapan pun mereka jalan di
tempat. Slogan pameran-pameran yang mengangkat kekuatan lokal menjadi satu hal
yang mesti benar-benar diimplementasikan. Sebab, faktanya beberapa desainer
malah memilih 'bahan sendiri' seolah-olah itulah tenun yang asli. “Dibilang
banyak juga tidak ya, cuma ada lah [desainer] yang ambil motif lokal. Tapi,
kembali lagi bahwa itu kebebasan dalam mengekspresikan kelokalan,” kata Musa
Widiatmodjo, desainer pemilik PT Musa Atelier.
Menurut
Musa—yang juga penasehat APPMI—sebetulnya desainer tidak ‘mencuri’ motif,
melainkan menerjemahkan konten lokal secara bebas dengan memodifikasi. Tenun
dan batik tak bisa dijual ke semua orang karena terkait dengan selera. “Jadi
terjemahan lokal itu bebas sekali,” kata Musa. “Go local itu bisa saja bahan
bakunya lokal, tapi desain dan konsepnya modern. Bisa juga hanya motifnya
lokal, bisa juga bahan baku dan motifnya lokal.”
Pemilik
merek eksklusif M by Musa dan Musa Co ini bukan termasuk desainer yang kurang
kreatif. Dia concern mengembangkan tenun. Di IFW, Musa menawarkan baju pria
berbahan tenun rancangannya dengan harga sekitar Rp4-6 juta. Baginya, asalkan
motif tenun tidak diambil plek-plek lalu dimodifikasi sesuai dengan
modernisasi, hal itu bukanlah pencurian. Baru dikatakan curang bila mengambil
motif murni.
Namun,
dia mengingatkan beberapa penenun juga kadang berbuat ‘curang’. “Saya enggak
bilang semua desainer itu orang baik dan benar. Sama saja, saya enggak bisa
mengatakan pengrajin [tenun] itu [semuanya] baik dan benar. Ada juga pengrajin
tidak jujur,” kata desainer lulusan Universitas Drexel, Philadelphia, Amerika,
ini. Kecurangan itu misalnya suatu ketika desainer mengarahkan penenun membuat
motif daun besar-besar. Nyatanya ketika ada pembeli langsung dijual oleh si
penenun, padahal desainer lebih dulu memesan. “Ini pernah terjadi, maka itu
tergantung kejujuran kedua belah pihak.”
Penjiplakan
motif ini begitu kentara bila berkunjung ke pusat-pusat perbelanjaan
tradisional atau modern. Tak hanya desainer, pengusaha tekstil juga ambil
bagian dalam upaya menggerus kreativitas tersebut.
Ketika
saya mengunjungi Thamrin City, pusat perbelanjaan dekat Pasar Tanah Abang
Jakarta, kain-kain bermotif tenun NTT disulap menjadi potongan celana harem
atau atasan baju wanita dengan banderol harga Rp150.000-550.000. Hampir semua
toko hanya menjual replika, tak ada yang memakai tenun asli. “Kalau tenun asli
modalnya besar. Kain ukuran satu meter saja bisa sampai Rp500.000-an. Dibikin
pakaian jadi pasti harganya bisa jutaan. Siapa yang beli?" ujar seorang
pemilik toko.
Selain
mahal, kain tenun asli juga dinilai kaku dan tebal sehingga perlu didukung oleh
teknologi dan pemilihan bahan. Potret serupa juga tampak di Pasar Kanoman,
Cirebon, Jawa Barat. Jika biasanya kain
batik terpajang hampir di setiap toko di lantai dua, kali ini berbeda karena
kain-kain 'tenun' seolah tampil sebagai tren baru. Di toko pertama, saya
langsung menunjuk kain cokelat dengan corak khas NTT. Begitu dipegang, ternyata
bukan tenun sungguhan, melainkan sejenis kain sutra bermotif tenun. Penjualnya
mematok harga Rp22.000-25.000 per meter. Saya tawar Rp18.000, dia setuju.
Di
toko sebelah, saya menemukan jenis kain serupa. Warnanya hijau tosca dengan
corak persis seperti tenun buatan penenun asli Alor. Harganya Rp27.000 per
meter. Tapi, berhasil ditawar Rp23.000 per meter. Si penjual bilang kain motif
tenun itu memang sedang laris. Banyak orang, baik dari Cirebon, Bandung, dan
Jakarta kepincut memborong untuk dijahit menjadi pakaian jadi.
Fenomena
ini mestinya sudah diwaspadai pemerintah karena kain tenun, kain batik, kain
songket, atau kain daerah lainnya merupakan warisan budaya Indonesia yang patut
dilestarikan. Pelestarian itu juga mesti berdampak pula dalam keuangan para
penenun di pelosok-pelosok, bukan sekadar menjiplak motif, lalu ditempel pada
bahan sifon, katun, dan lainnya.
Apabila
motif itu ditiru seluruhnya, menurut Dini Midiani, perbuatan itu kanibalisme.
“Akan lebih bagus kalau motif itu menjadi inspirasi, jangan langsung ditiru.
Dikembangkan boleh karena ada yang enggak mungkin sesuai di kain tenun,” kata
Direktur IFW ini. Timnya juga sudah berupaya meminimalkan aksi sepihak desainer
ini melalui seminar, workshop, dan pelatihan agar perancang busana lebih
kreatif dan tak lagi full mencontek motif. “Kami juga masuk ke 12 sekolah mode
di Indonesia. Tujuannya memberikan pemahaman kepada calon-calon desainer
tentang ini karena yang muda itu menjadi penerus.”
|
Motret Aliki di IFW 2014 |
Penjiplakan
motif juga kerap mengarah pada desainer-desainer muda. Tapi Putu Aliki, salah
satu desainer muda pemilik brand Aliki dari Bali, membantah hal itu. Perancang
busana jebolan Harry Darsono Art and Design College di Jakarta ini menegaskan
modifikasi motif itu tidak salah. “Kalau dia [desainer] bilang mengaplikasikan
tenun, ya harus tenun. Jangan gembar-gemborkan tenun, tapi nge-print motif saja,
tidak modifikasi.”
Akan
tetapi, Aliki juga punya argumentasi mengapa tak semua desainer memakai kain
tenun. Beberapa bahan tenun cenderung kurang nyaman untuk pakaian ready to
wear. Bahannya (poliester) panas saat digunakan. Sedangkan jika memilih katun
Bali harganya mahal, tidak pas untuk kantong anak muda. “Katun Bali mahal, per
meter Rp75.000-150,000. Satu baju butuh beberapa meter sehingga jadi mahal,
kan? Tenun agak tebal dan kasar gitu, dan kalau mau halus itu sutra, tapi jadi
mahal. Banyak kendala,” katanya di sela-sela pagelaran IFW.
Pengembangan
tenun daerah, katanya, dilakukan dengan memberi pelatihan agar motif tidak
monoton dan menggandeng penenun itu sendiri dalam bentuk kerja sama. “Ada
desainer kolaborasi dengan penenun, ada yang beli. Kan enggak semua pengrajin
itu kaya. Kalau di pelosok belum tentu penenun itu sukses. Bahkan, mereka sama
sekali enggak tahu apa itu fashion.”
Keberpihakan
terhadap nasib penenun itu semestinya terus dijaga dan bukan hanya
dimanfaatkan. Dari sisi ekonomi, kontribusi industri fashion tak sedikit. Pusat
Komunikasi Publik Kementerian Perindustrian mencatat industri fashion
menyumbang Rp164 triliun pada PDB 2012 atau 28,66%—naik 0,5% dari 2011 (Rp147
triliun). Data Badan Pusat Statistik juga mengungkap, selama 2007-2011, ekspor
fesyen Indonesia tumbuh 12,4%, dengan negara tujuan ekspor utama: Amerika,
Singapura, Jerman, Hong Kong, dan Australia.
Pada
Januari-November 2012, ekspor fesyen mencapai US$12,79 miliar, naik 0,5% dari
periode sebelumnya. Industri ini pun menyerap tenaga kerja hingga 3,8 juta
orang. Tahun lalu, kontribusi terhadap PDB mencapai Rp181 triliun. “Gairah
industri fashion akan menjadi pendorong utama pertumbuhan sektor industri kecil-menengah,”
kata Dirjen IKM Euis Saedah, dalam keterangan resmi Kementerian Perindustrian.
Euis
belum kembali dari lawatannya ke Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores Barat,
NTT. Lewat telepon seluler, ia mengatakan keberpihakan pemerintah terhadap penenun
sudah sejak 1980. Banyak program dilakukan mulai dari menyediakan sarana dan
prasarana, peningkatan pengetahuan, melestarikan, membantu pemasaran, hingga
mengajak desainer membantu penenun.
Okke
Hatta Rajasa Ketua Cita Tenun Indonesia (CTI) juga turut serta dalam kunjungan
Euis ke Labuan Bajo tersebut. Organisasi ini didirikan untuk melestarikan,
memberdayakan, dan memasarkan tenun-tenun Indonesia. Dua programnya cukup
positif, yakni Program Desa Tenun Kreatif Mandiri Terpadu dan Program
Pemberdayaan Pengrajin Tenun. CTI juga memiliki beberapa desa binaan tenun.
Okke
Rajasa mengatakan mereka bekerja sama dengan pemda setempat untuk penanaman
pohon kapas sebagai bahan baku tenun, tahap awal 5 hektare dulu dari total 500
hektare. “Kami juga membantu pengembangan salah satu motif di Labuan Bajo,
yakni mata manuk [manuk: ayam-bahasa Flores],” kata istri Menko Perekonomian
Hatta Rajasa ini pekan lalu.
Lebih
lanjut Euis mengatakan dia tak memungkiri ada penjiplakan motif tenun, tetapi
bukan hanya oleh desainer dalam negeri, melainkan juga oleh desainer luar.
“Saya enggak mau nyebut merek. Tapi ada desainer luar, motifnya mirip sekali
dengan tenun kita. Cuma dia pintar, dimodifikasi, ditambah-tambahin,” kata
Euis. Oleh karena itu, satu solusi yang tengah didorong ialah pendaftaran hak
atas kekayaan intelektual (HAKI) atas motif tenun ikat.
**
DARI lobi utama Wisma
Pertamina, Sariat (42) memandang jauh ke depan. Kerut di wajah perempuan
bercucu lima ini makin kentara. Dengan bahasa Alor campur bahasa Indonesia yang
perlu lama dicerna, dia mencurahkan kegundahannya soal motif kain tenun,
perjuangannya menemukan 186 warna alam, dan harapan perlindungan hak paten.
|
Menemani Sariat jalan-jalan ke depan Istana Negara |
Mama
Sariat, begitu dia biasa dipanggil, merupakan salah satu dari sekitar 500
penenun dari Desa Ternate Umapura, Alor Besar, NTT. Pada 2005, dia terpilih
menjadi ketua kelompok tenun di wilayahnya sampai saat ini. Satu kelompok tenun
di sana terdiri dari sekitar 53 penenun. Dengan sokongan pemda, Sariat diminta
membantu kajian pencelupan dan pewarnaan kain. Maklum, sejak usia enam tahun
dia sudah aktif menenun berbekal pengetahuan turun-temurun dari leluhurnya.
“Dari
kecil sudah tenun, diajar sama ibu, terus memang kita punya pekerjaan cuma
ini.”
Dengan
membentuk kelompok tenun, aktivitas tradisional ini menjadi lebih baik dari
sisi pemasaran dan produktivitas. “Kalau kita tidak berkelompok, kita asal
tenun saja. Besok pigi jual, tapi orang tidak pesan, jadi tidak laku. Kalau
kamu mau tabung uang berarti marilah kita berkelompok, Kita bisa tabung uang
untuk anak sekolah,” kata Sariat.
Sebagai
gambaran ekonomis, kain tenun yang dihasilkan dengan menggunakan alat tenun
bukan mesin (ATBM) dibanderol sekitar Rp300.000-500.000. Kapas memang agak
lebih mahal, tapi jika menggunakan pewarna alam, harga kain tenun bisa mencapai
Rp750.000-1 juta. Di Desa Ternate, ada sekitar 270 kepala keluarga dengan
jumlah penenun lebih dari 500 orang.
Bila
menggunakan benang kelos atau benang rayon harganya lebih mahal, tapi hangat.
Selain benang, penenun juga menggunakan beberapa alat: biasanya alat tenun
Gedogan (bagian ujung alat dipasang pada pohon/tiang rumah dan ujung lain
diikatkan pada badan penenun yang duduk di lantai), ATBM (digerakkan oleh
injakan kaki untuk mengatur naik turunnya benang lungsi), dan ATBM Dobby—alat
tambahan mekanis yang berada di atas ATBM. Dobby berfungsi mengontrol
penganyaman benang pada perkakas tenun lain.
Jika
order satu set kain tenun (sarung dan selendang) dengan menyediakan benang,
penenun menerima Rp250.000 dengan hitungan minggu, tapi kalau desainer memberi
satu set sekitar Rp350.000. Pesanan berkisar 140-200 lembar kain tenun. Namun
tak ada standardisasi penentuan harga untuk tenun ikat ini, padahal desainer
atau pengrajin tekstil tentu menjual dengan harga jutaan. “Kami tengah berupaya
agar ada standar harga. Jadi, penenun sudah punya patokan harga,” kata Yustina
Makunimau.
|
Calon-calon penenun di Alor, photo by Firda |
Hanya
saja, kekhawatiran Sariat bukan cuma nilai ekonomis, tetapi teknik pewarnaan
alam yang dia temukan. Sampai kini belum ada perlindungan hak paten.
Warna-warna alam itu dihasilkan dari tanaman dan biota laut. Ketika saya
mengeluarkan sebuah selendang khas NTT, Sariat lalu mempreteli satu-satu warna
alam itu. “Ini biru dari indigo [pohon nila]. Indigo kalau kita mau cari hitam
kita harus campur ini dengan biji asam.”
Dia
juga menemukan warna alam kuning dari rempah jenis kunyit, hijau dari teripang,
ungu dari cumi-cumi, dan lainnya. Pohon bakau, katanya, buahnya bisa dimakan
dan airnya merah kalau direbus. “Itu bagus untuk warna. Kulit bakau juga bagus
untuk merah, lalu daun bakau itu untuk warna hijau.”
Lantaran
khawatir ditiru, Sariat enggan membeberkan bagaimana proses warna itu ditemukan
secara detail. Hak paten itu sudah lama diupayakan, tapi sampai saat ini
prosesnya menggantung, termasuk juga HAKI untuk motif tenun. “Saya cari
setengah mati. Saya cari pewarna alam ini biar hidup baik, ko tidak baik, ko
terserah. Tapi [kalau] saya pu emosi sedikit su naik itu, saya hapus-hapus lalu
lebih baik saya pigi tidur, begitu sebentar habis sudah.”
Musa
Widiatmodjo, desainer, menganggap hak paten tak semudah dibayangkan. Kalau
motif itu sudah ada sejak 100 tahun yang lalu, itu motif publik, tidak bisa
diklaim. Kecuali, dibuat motif original dan bisa dibuktikan tanpa ada protes.
“Tetapi itu pun punya batasan, hak paten itu diberikan karena apa? Tekniknya,
motifnya, proses pembuatannya? Itu selama berapa tahun patennya? 10 tahun? 50
tahun?”
Pengamat
pertekstilan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Biranul Anas mengatakan
pemerintah tampaknya kesulitan menempatkan persoalan hukum ini.
“Sudah
25 tahun saya mengikuti isu ini. Banyak teori tentang HAKI, tapi itu tinggal
teori.”
Ia
menilai strategi print motif lebih pada alasan ekonomis karena kehadiran motif
cetak itu langsung menghujam jantung finansial para penenun. Hadirnya tekstil
China yang murah turut membuat tenun asli dengan harga lebih mahal pun kalah di
pasaran. Jika objektif, katanya, saling mencuri atau saling ‘meminjam’ corak
untuk dikombinasikan dalam print itu sudah terjadi sejak zaman Nabi Adam.
“Motif NTT itu sendiri itu meminjam dari motif lain. Tapi, saya melihat lebih
pada pelanggaran moral. Kain NTT dijual per lembar Rp5 juta, padahal dibeli
dari penenun per meter itu hanya Rp300.000-500.000. Tidak fair. Para desainer
yang terlibat di dalam itu bertanggung jawab, mungkin mereka tidak tahu.”
Solusi
yang Biranul tawarkan ialah tertib label dan pemerintah melakukan pengawasan
intens terhadap label. Artinya, kalau memang kain tenun itu dicetak motifnya,
perlu ada label yang menjelaskan hal itu, apalagi masyarakat awam belum bisa
membedakan. Ini menjadi tanggung jawab kementerian terkait. Jikalau desainer
tidak tahu motif itu, mereka mesti mencantumkan asal muasal desain itu. “Sebut
aja komunitasnya, jangan bilang itu desain kamu. Bilang saja, ini desain dari
komunitas desa apa, begitu.”
Okke
Rajasa menambahkan mereka hanya bisa mendorong agar pemerintah atau kementerian
terkait mempermudah pengurusan HAKI dan hak paten. Selama ini upaya-upaya
pemberdayaan tak pernah berhenti meskipun organisasi CTI bukan lembaga
pemerintah, tapi organisasi sosial. Dirjen IKM Euis Saedah mengatakan proses
menuju HAKI untuk motif kain tenun dan hak paten mengenai teknik penenun atau
proses pewarnaan alam tengah diupayakan. “Tetapi memang tidak cepat, setidaknya
dua tahun.” Kendati begitu, kabar baik ini belum sampai di telinga Sariat.
Tak
hanya paten, siang itu Sariat bersama Yustina bercerita soal karakter
masyarakat Desa Ternate, pekerjaan suami-suami di sana, hingga pengalamannya
naik pohon mencari warna alam. Ketika ditanya adakah desainer yang ingkar janji
kepadanya, Mama Sariat bilang tidak ada. “Orang Jakarta yang ketemu saya, baik
semua. Mereka tahu kita masyarakat miskin, saya terima kasih.” Entah ini
jawaban jujur atau tidak. □
Tulisan ini terbit di
Majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin 10 Maret 2014
Words: 2.676