![]() |
Debat Capres RI 2014, photo by Antarafoto |
Topik lingkungan hidup belum menjadi isu utama
dibandingkan penegakan hukum, akses kesehatan, dan korupsi
Oleh M. Tahir Saleh
KETIKA debat perdana calon presiden Amerika hendak
digelar dua tahun silam, majalah The Nation mengundang sejumlah aktivis
lingkungan untuk mengajukan pertanyaan kepada Barrack Obama dan pesaingnya Mitt
Romney. Ada 10 pertanyaan di antaranya: kapan PLTU batu bara stop membunuh
orang, tiap tahun 13.000 warga Amerika terbunuh; Anda melindungi masyarakat
atau para pencipta polusi; apa warisan kebijakan soal lingkungan hidup?
Ken Cook, Presiden Environmental Working Group,
menjadi salah satu penanya. “Presiden Abraham Lincoln menyediakan Lembah
Yosemite buat publik. Teddy Roosevelt membentuk Dinas Kehutanan dan lima taman
nasional. Richard Nixon membuat Badan Perlindungan Lingkungan. Bila Anda
terpilih, apa warisan terbesar Anda di bidang lingkungan?” tanya Cook kala itu.
Tentu bukan hal mudah bagi kedua kandidat untuk
menjawab. Perkara lingkungan bukan hanya satu soal, tapi bercabang. Problemnya
tidak hanya milik Amerika, tapi erat dengan negara lain. Salah satu isu
lingkungan paling aktual ialah perubahan iklim dan kerusakan hutan.
Di Indonesia, permasalahan ini pun mengemuka dan
menjadi pekerjaan rumah bagi calon presiden. Pada 5 Juli nanti, dua pasangan
kandidat capres 2014, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf
Kalla, bakal saling lempar visi mengenai pangan, energi, dan lingkungan. Selama
ini, kedua kandidat dinilai belum memprioritaskan lingkungan. “Gerakan lingkungan
hidup masih ditempatkan pada kasus, bukan politik. Padahal ini isu teknis yang
erat dengan politik,” tegas Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan usai Seminar Nasional di Jakarta, pekan
lalu.
Kedua pasangan memang bersemangat soal perbaikan
lingkungan, tapi belum sepenuhnya karena sumber daya alam masih menjadi andalan
ekonomi. “Bila utang luar negeri naik, bisa dibayangkan sumber daya alam kita
makin dieksploitasi,” ujarnya khawatir. Soal program lingkungan, Abetnego
menilai dari draft visi-misi, Joko Widodo alias Jokowi punya kedalaman.
“Tak banyak perubahan pada visi-misi Prabowo, seperti pembukaan 2 juta hektare
sawah, dari zaman Pak Harto sudah terbukti gagal.”
Dari dokumen visi-misi sembilan halaman yang disampaikan
kepada KPU, pasangan nomor urut satu Prabowo-Hatta antara lain akan mereboisasi
77 juta hektare hutan yang rusak, menindak pelaku pencemaran, mendorong usaha
kehutanan, merehabilitasi daerah aliran sungai, dan mendorong pertambangan
ramah lingkungan. Di sisi lain, visi-misi Jokowi-JK setebal 41 halaman di
antaranya akan mengintensifkan kerja sama global bidang perubahan iklim,
membentuk komisi independen, mengembangkan energi terbarukan, dan menindak illegal
logging. “Visi-misi Jokowi-JK lebih unggul. Contoh, mereka rela kehilangan
investor demi menegakkan hukum lingkungan,” kata Handa S. Abidin, peneliti
hukum dan HAM Universitas Krisnadwipayana.
Menurut Abetnego, kerusakan hutan di Indonesia
sangat parah. Imbasnya Indonesia termasuk lima besar negara penghasil emisi
karbon di dunia, 80% sumber emisi berasal dari tata guna lahan dan alih fungsi
lahan. Fungsi ekologis hutan di Indonesia, ketiga terbesar di dunia, bagi dunia
terus rusak dan menyusut. “Riset Matt Hansen dari University of Maryland menemukan
bahwa Indonesia kehilangan 15,8 juta hektare sejak 2000-2012.”
Oleh sebab itu, pihaknya berharap presiden
mendatang harus pro hijau agar kerusakan hutan bisa dihentikan. Isu ini penting
mengingat kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar ketimbang biaya
penanggulangan. Sayang, dibandingkan dengan topik penegakan hukum, akses
kesehatan, dan korupsi, isu ini belum populer. “Lingkungan hanya dianggap
konsekuensi,” katanya. “Maka kami tantang capres untuk lebih memprioritaskan
lingkungan.”
Burhanuddin
Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, menilai Prabowo unggul
kompetensi dan kepemimpinan sementara Jokowi menang integritas dan empati.
Baginya cara terbaik memilih ialah dengan melihat rekam jejak, agenda politik,
dan barisan pendukung.
“Lihat
rekam jejaknya. Tapi itu berlaku bagi pemilih dengan tingkat pendidikan baik,
sedangkan pemilih kita sekitar 40% berpendidikan rendah.” Ia kesulitan meramal
hasil pemilu 9 Juli mendatang. “Kompetisinya sama dengan persaingan antara
George W Bush dan Al-Gore pada pemilihan presiden Amerika pada 2000,” katanya.
“Peluangnya 50-50 antara Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta.”
Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg
Businessweek Indonesia, Senin 30 Juni 2014
Words: 611
Tidak ada komentar:
Posting Komentar