Rabu, 02 Juli 2014

Mengusung Presiden Pro Hijau

Debat Capres RI 2014, photo by Antarafoto
Topik lingkungan hidup belum menjadi isu utama dibandingkan penegakan hukum, akses kesehatan, dan korupsi

Oleh M. Tahir Saleh

KETIKA debat perdana calon presiden Amerika hendak digelar dua tahun silam, majalah The Nation mengundang sejumlah aktivis lingkungan untuk mengajukan pertanyaan kepada Barrack Obama dan pesaingnya Mitt Romney. Ada 10 pertanyaan di antaranya: kapan PLTU batu bara stop membunuh orang, tiap tahun 13.000 warga Amerika terbunuh; Anda melindungi masyarakat atau para pencipta polusi; apa warisan kebijakan soal lingkungan hidup?

Ken Cook, Presiden Environmental Working Group, menjadi salah satu penanya. “Presiden Abraham Lincoln menyediakan Lembah Yosemite buat publik. Teddy Roosevelt membentuk Dinas Kehutanan dan lima taman nasional. Richard Nixon membuat Badan Perlindungan Lingkungan. Bila Anda terpilih, apa warisan terbesar Anda di bidang lingkungan?” tanya Cook kala itu.

Tentu bukan hal mudah bagi kedua kandidat untuk menjawab. Perkara lingkungan bukan hanya satu soal, tapi bercabang. Problemnya tidak hanya milik Amerika, tapi erat dengan negara lain. Salah satu isu lingkungan paling aktual ialah perubahan iklim dan kerusakan hutan.

Di Indonesia, permasalahan ini pun mengemuka dan menjadi pekerjaan rumah bagi calon presiden. Pada 5 Juli nanti, dua pasangan kandidat capres 2014, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, bakal saling lempar visi mengenai pangan, energi, dan lingkungan. Selama ini, kedua kandidat dinilai belum memprioritaskan lingkungan. “Gerakan lingkungan hidup masih ditempatkan pada kasus, bukan politik. Padahal ini isu teknis yang erat dengan politik,” tegas Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan usai Seminar Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Kedua pasangan memang bersemangat soal perbaikan lingkungan, tapi belum sepenuhnya karena sumber daya alam masih menjadi andalan ekonomi. “Bila utang luar negeri naik, bisa dibayangkan sumber daya alam kita makin dieksploitasi,” ujarnya khawatir. Soal program lingkungan, Abetnego menilai dari draft visi-misi, Joko Widodo alias Jokowi punya kedalaman. “Tak banyak perubahan pada visi-misi Prabowo, seperti pembukaan 2 juta hektare sawah, dari zaman Pak Harto sudah terbukti gagal.”

Dari dokumen visi-misi sembilan halaman yang disampaikan kepada KPU, pasangan nomor urut satu Prabowo-Hatta antara lain akan mereboisasi 77 juta hektare hutan yang rusak, menindak pelaku pencemaran, mendorong usaha kehutanan, merehabilitasi daerah aliran sungai, dan mendorong pertambangan ramah lingkungan. Di sisi lain, visi-misi Jokowi-JK setebal 41 halaman di antaranya akan mengintensifkan kerja sama global bidang perubahan iklim, membentuk komisi independen, mengembangkan energi terbarukan, dan menindak illegal logging. “Visi-misi Jokowi-JK lebih unggul. Contoh, mereka rela kehilangan investor demi menegakkan hukum lingkungan,” kata Handa S. Abidin, peneliti hukum dan HAM Universitas Krisnadwipayana.

Menurut Abetnego, kerusakan hutan di Indonesia sangat parah. Imbasnya Indonesia termasuk lima besar negara penghasil emisi karbon di dunia, 80% sumber emisi berasal dari tata guna lahan dan alih fungsi lahan. Fungsi ekologis hutan di Indonesia, ketiga terbesar di dunia, bagi dunia terus rusak dan menyusut. “Riset Matt Hansen dari University of Maryland menemukan bahwa Indonesia kehilangan 15,8 juta hektare sejak 2000-2012.”

Oleh sebab itu, pihaknya berharap presiden mendatang harus pro hijau agar kerusakan hutan bisa dihentikan. Isu ini penting mengingat kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar ketimbang biaya penanggulangan. Sayang, dibandingkan dengan topik penegakan hukum, akses kesehatan, dan korupsi, isu ini belum populer. “Lingkungan hanya dianggap konsekuensi,” katanya. “Maka kami tantang capres untuk lebih memprioritaskan lingkungan.”

Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, menilai Prabowo unggul kompetensi dan kepemimpinan sementara Jokowi menang integritas dan empati. Baginya cara terbaik memilih ialah dengan melihat rekam jejak, agenda politik, dan barisan pendukung.

“Lihat rekam jejaknya. Tapi itu berlaku bagi pemilih dengan tingkat pendidikan baik, sedangkan pemilih kita sekitar 40% berpendidikan rendah.” Ia kesulitan meramal hasil pemilu 9 Juli mendatang. “Kompetisinya sama dengan persaingan antara George W Bush dan Al-Gore pada pemilihan presiden Amerika pada 2000,” katanya. “Peluangnya 50-50 antara Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta.”

Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin 30 Juni 2014
Words: 611

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu