Minggu, 06 Juli 2014

Karena Halal Begitu Berharga

Hironori Goto (kanan), Agung Pambudi ,
dan Dai Oshiro (kiri), photo by Agung
Seorang mahasiswa Indonesia di Jepang menciptakan aplikasi ponsel yang membantu masyarakat memburu produk, kosmetik, dan obat-obatan halal.

Oleh M. Tahir Saleh

AKHIR-AKHIR ini kesibukan Agung Pambudi cukup padat. Selain mempersiapkan ujian tertutup doktoral di Kyushu University yang bakal dihadapinya pada akhir Mei, dia juga mesti memenuhi janji wawancara dengan sejumlah media lokal di Jepang. Belum lagi interviu dengan beberapa investor yang kesengsem dengan aplikasi buatannya.

“Maaf ya sebelumnya, kesibukan bulan ini luar biasa. Ditambah lagi, baru saja istri saya melahirkan anak kami yang kedua,” katanya.

Nama Agung mulai masyhur di Fukuoka, tempat Kyushu University berdiri. Lokasi kampus yang dibangun sejak 1903 dengan nama Fukuoka Medical College itu terletak di ibu kota Prefektur Fukuoka, pesisir utara Pulau Kyushu, Jepang. Agung kelahiran 30 Desember 1981 dan tercatat sebagai mahasiswa tingkat doktoral Departemen Rekayasa Sumber Daya Bumi yang berhasil menciptakan HalalMinds, aplikasi untuk telepon seluler yang membantu pengguna mengidentifikasi produk halal.

April lalu, Kyushu Island Lab, tempat Agung menjadi CEO, mengumumkan secara resmi HalalMinds. Agung sebetulnya bukan dari jurusan teknologi informasi, riset S3-nya bahkan tentang ‘Energi dan Analisis Exergy dari Pembangkit Listrik Panas Bumi’. Tapi berangkat dari kegelisahannya mengenai unsur sake dan daging babi yang ada di hampir semua produk di Jepang, dia  terdorong menciptakan aplikasi halal. HalalMinds kini tersedia untuk sistem operasi Android sejak 3 April dan iOS iPhone sejak 28 April. Fitur utamanya adalah scanner barcode yang bisa digunakan saat belanja di supermarket. Pengguna tinggal memindai barcode produk, dan HalalMinds secara otomatis melacak database dari sekitar 500.000 item untuk menentukan apakah produk tersebut sarat bahan halal atau tidak.

Aplikasi ini sangat bermanfaat bagi mereka yang buta huruf Jepang, apalagi label makanan di sana kerap memakai huruf kanji atau bahasa Jepang yang kompleks. Petunjuk bahan atau kandungan zat di label lazimnya memakai kanji. Hampir semua orang asing tak bisa membaca kanji. Bahasa Jepang dinilai agak mudah, tapi kanji sangat sulit dipelajari. Kalaupun membaca kanji, butuh waktu lama untuk mengamati komposisi makanan karena harus dibaca satu per satu.

Tak hanya produk halal, sistem buatan Agung ini pun menawarkan informasi restoran halal, kompas kiblat, dan ayat-ayat Al-Qur’an. Kendati baru tersedia dalam bahasa Inggris, hingga bulan lalu sudah lebih dari 1.100 pengguna yang mengunduh aplikasi tersebut sejak diluncurkan. Layanan ini akan membantu mahasiswa atau masyarakat muslim secara umum yang tinggal di Jepang—bahkan negara lain—untuk mencari produk halal sesuai dengan aturan Islam. Dari data yang dihimpun HalalMinds, kini tersebar 150.000 muslim di Jepang dan lebih dari 1 juta muslim menjadi turis di Negeri Sakura. Pengunjung muslim datang dari Malaysia, Indonesia, dan Timur Tengah.

Selain di Jepang, HalalMinds juga bakal dikembangkan hingga ke negara lain, yakni Korea Selatan, Taiwan, dan China. Jumlah penduduk muslim di tiga negara tersebut pun cukup besar. Di Korea Selatan misalnya tercatat sekitar 150.000 muslim dan 1 juta pengunjung muslim.

Berdasarkan riset berjudul ‘The Pew Research Center’s Religion & Public Life Project’ dari lembaga yang berbasis di Washington, Pew Research Center, terdapat 1,57 miliar muslim di dunia, mewakili 23% dari estimasi populasi dunia 6,8 miliar pada 2009. Paling banyak populasi muslim tersebar di Indonesia sekitar 202 juta dan Pakistan 174 juta. Adapun data lembaga riset global, Ernst & Young yang dikutip HalalMinds, mencatat populasi muslim di dunia saat ini menembus 1,8 miliar atau 23% dari populasi dunia. Jumlahnya diperkirakan naik hingga lebih dari 2 miliar pada 2030 atau 26,4% dari penduduk global.

Potensi pertumbuhan penduduk muslim menjadi peluang bagi produk-produk halal di seluruh dunia. Lembaga riset Thomson Reuters menyebutkan industri halal kini bernilai US$1 triliun, 20% dari total pasar halal di dunia untuk makanan. Pada 2030, nilai ekonomi pasar halal ditaksir menggelembung hingga US$10 triliun seiring dengan peningkatan PDB dari populasi umat Islam dunia.

 “Dengan potensi itu, saya yakin HalalMinds akan berkembang,” kata Agung melalui surat elektronik, pekan lalu. “Sebagai seorang muslim, makanan halal itu keniscayaan, tapi sulit sekali menemukan produk halal di Jepang sejak bahan-bahan seperti babi dan alkohol begitu eksis di sini, padahal keduanya haram bagi muslim.” Keharaman itu bukan sebatas produk, tapi tata cara penyembelihan. “Daging yang disembelih dengan menggunakan cara-cara non-islami juga masuk kategori bukan makanan halal.”

**

AGUNG LAHIR DI BREBES, Jawa Tengah, kota yang kondang sebagai sentra produksi bawang dan telur asin. Dia anak kedua dari tiga bersaudara, putra pasangan guru SMP. Tak heran dengan latar belakang keluarga pendidik, kemauan menuntut ilmu ke jenjang lebih tinggi sudah terpatri sejak dini. Adiknya guru, sedangkan sang kakak lebih memilih berkarier di perpustakaan Universitas Diponegoro, Semarang.

Lulus SMA, Agung meneruskan sekolah ke Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang (Unnes). Kampus ini sebelum era 2000 masih bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Semarang. Semasa kuliah, dia dikenal pendiam, tapi punya ide-ide brilian. Dia juga termasuk jajaran mahasiswa yang selalu jadi langganan mitra riset beberapa dosen. “Orangnya cerdas, cenderung religius, peduli dengan lingkungan. Tapi dia pendiam,” kata Wirawan Sumbodo, dosen Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Unnes.

Wirawan mengajar sedikitnya tiga mata kuliah antara lain sistem kontrol, pneumatik dan hidrolik, dan computer numerical control (CNC). Pada 1993-1995, Wirawan pernah dikirim untuk belajar ke Landesinstitut fur Berufsausbildung, Jerman dan sempat menjadi asisten dosen selama setahun di Landesinstitut fur Qualifizierung (LFQ) pada 2002. Ketika mengajar di Unnes, dari semua mahasiswa, Agung punya keunggulan tersendiri. “Dosen punya kewajiban riset, dia [Agung] sering menjadi pilihan dosen, termasuk saya, untuk membantu riset,” katanya.

Sejumlah tulisan di jurnal internasional juga melibatkan Agung, misalnya artikel yang dimuat di International Journal of Engineering and Industries pada Juni 2011. Judulnya ‘The Making Workpieces Using Autocad Software Base Siemens Sinumerik 802c Base Line Frais Machine’. Selain mendukung tim riset, Agung juga menjadi penulis bersama Wirawan untuk buku pelajaran SMK. Salah satu buku mereka masuk Buku Sekolah Elektronik bertemakan Teknik Produksi Mesin Industri.

“Dia penuh inovasi sejak mahasiswa. Skripsinya soal sistem kontrol pada Forklife berbasis elektrik. Beberapa penelitian sudah menunjukkan bahwa dia senang bidang TI, jadi wajar bila dia bisa menciptakan aplikasi halal untuk umat Islam di Jepang.”

Dari Unnes, Agung berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah magister di Universitas Gadjah Mada dan lulus pada 2008. Konsentrasinya masih bidang teknik mesin. “Tesisnya kebetulan ikut saya bimbing. Dia rajin, serius, dan pekerja keras. Dia juga enggak males-malesan, cita-citanya tinggi,” kata Prof. Harwin Saptoadi, Guru Besar Fakultas Teknik UGM, pekan lalu. Masih pada tahun yang sama, dia melepas masa lajang dengan mempersunting Linda. Kini mereka dikarunai dua anak. “Putri saya baru saja lahir 21 April lalu di Fukuoka Hospital. Anak kami Reyhan Muhammad dan Keiko Zhafira,” kata Agung.

Usai meraih gelar magister, Agung menggelar riset di Taiwan atas beasiswa kampus dan pemerintah Taiwan. Ini pertama kalinya dia ke luar negeri dan merasakan sulitnya mencari produk halal. Ditambah lagi, bahasa dan karakter kanji China begitu memusingkan.

Setelah itu, Agung meraih penghargaan sebagai peneliti muda dari pemerintah Finlandia. Dia bekerja sebagai periset di Helsinki Technology University yang kini bernama Aalto University—gabungan tiga universitas. Suasana aman dan relasi yang luas membuatnya betah. “Saya suka traveling. Bahkan saya pernah menginap di sebuah desa dengan petani di sana yang sampai saat ini masih kontak. Tapi, tetap saja makanan halal sulit ditemukan karena memang Islam merupakan minoritas.”

Agung kemudian melanjutkan kuliah doktoral di Korea Selatan. Tak lama kemudian dia berhenti lantaran sulit membawa keluarga. Tapi dasar mahasiswa pintar, dia malah dapat dua beasiswa sekaligus: beasiswa Monbusho ke Jepang dan bekerja di Finlandia sebagai peneliti plus dikuliahkan S3. Di Finlandia, mahasiswa S3 bukan lagi seorang mahasiswa, tapi pekerja yang digaji sesuai standar. Sempat galau, akhirnya Agung memilih Finlandia karena sudah akrab dengan karakteristiknya. Lagi pula, dia trauma ke Jepang. Baginya tipikal masyarakat Jepang dan Korea sama: workaholic, kasar, dan kurang bebas dalam riset.

Beasiswa ke Jepang ditampiknya. Namun, profesor di Jepang menelepon agar Agung mempertimbangkannya lagi. Dia luluh juga, tapi seminggu kemudian dia mengirimkan e-mail pembatalan. Sang profesor tak patah arang, Agung ditelepon lagi.

“Karena tak enak, saya melupakan Finlandia, negara yang bagi saya sangat damai dan tenang,” ceritanya. “Saya berangkat ke Jepang dan menetap hingga saat ini. Apa yang saya rasakan memang sangat bertolak belakang dengan apa yang saya pikirkan. Jepang tak sama dengan Korea, negara ini sangat aman, bahkan jika dibandingkan dengan Finlandia sekalipun,” katanya. Baginya, masyarakat Jepang sangat melayani, bersih, dan jujur. “Saya enggak menyesal memilih Jepang sebagai negara saya bermukim untuk studi.”

Pengalaman jalan-jalan ke Thailand, Belanda, dan Amerika lalu tinggal di Taiwan, Korea, Finlandia, dan akhirnya di Jepang, membuatnya stres mencari makanan halal—terutama snack dan roti. Apalagi negara non-bahasa Inggris seperti Taiwan, Korea, dan Jepang punya karakter huruf sendiri, Kanji, Hiragana, dan Katakana. Ketika jajan, pembeli bakal kesulitan membaca komposisinya. Kalaupun bisa dibaca, akan menyita banyak waktu. Dari sanalah ide membuat HalalMinds lahir.

**

SUATU HARI, di sebuah kota di Jepang digelar Startup Weekend, forum tempat kongko para wirausahawan bidang teknologi informasi (TI). Pertemuan ini juga diselenggarakan di Amerika, Irlandia, Jepang, Filipina, dan negara Asia lain. Secara global forum tersebut disponspori oleh Coca-Cola, Google, dan Amazon Web Services. Dalam forum muda-mudi itulah Agung dikenalkan dengan Dai Oshiro, Chief Executive Officer Whatz.jp, komunitas pendatang dan masyarakat lokal di Jepang.

Dai Oshiro juga satu almamater dengan Agung di Kyushu—tapi dari Departemen Ekonomi—keduanya pun menjadi akrab. Agung kemudian menceritakan ide membuat aplikasi halal yang akhirnya dikembangkan bersama hingga saat ini. Dari pertemuan intens dan kesamaan visi itu, HalalMinds terbentuk melalui bendera Kyushu Lab. “Saya yakin upayanya membuat aplikasi ini menjadi langkah besar bagi masyarakat muslim,” kata Dai Oshiro melalui e-mail. “Agung pribadi yang baik, saya respek terhadapnya.” HalalMinds bisa diklaim menjadi aplikasi pertama di Jepang bagi masyarakat muslim. “Pengguna bisa dengan mudah melihat makanan halal, bisa juga tahu arah restoran halal, arah kiblat salat. Aplikasi ini sangat berguna bagi masyarakat muslim,” kata Dai.

Berdirinya HalalMinds tak pernah disangka karena begitu cepat terealisasi. Sejak lama Agung bercita-cita ingin mendirikan perusahaan rintisan (startup) internasional, tapi buta dari mana awalnya.

“Ayah ibu saya hanya seorang pendidik. Saya sendiri tidak ada relasi ke sana, yang ada hanyalah impian. Tapi tahun terakhir saya ikut Startup Weekend, dari sana saya banyak bertemu dengan teman-teman dari Jepang yang memiliki mimpi sama,” cerita Agung. Dia kadang harus pintar-pintar mencuri waktu. Biasanya malam hari selesai dari lab, Agung mengembangkan HalalMinds. “Karena di tim ini sayalah yang muslim, kadang tidak ada diskusi tentang ini dengan anggota lain. Mangkanya saya perlu teman lain yang bisa mewujudkan ide-ide saya.”

Agung pun menemukan visi yang sama dalam diri Hironori Goto, kini Business Executive HalalMinds. Awalnya Hironori bekerja di Panasonic Communication Co. Ltd. (kini bernama Panasonic System Networks Co. Ltd.) pada 1988-2009. Lebih dari 20 tahun ia bertanggung jawab dalam pengembangan desain, rencana produk untuk perangkat keras, lunak, servis jaringan, dan proyek bisnis baru. Pada 2009-2010 dia berkarier di bidang pengembangan TI dan komunikasi sebagai Advanced Demonstration Project Leader Fukuoka IST, Industry, Science & Technology Foundation. Setelah itu ia mendirikan H&S Inc. dan menjadi CEO perusahaan yang bergerak pada ekspor-impor produk TI.

Hironori kepincut melihat visi brilian dari pemuda Brebes itu. Beberapa tahun terakhir, banyak pengunjung muslim, termasuk dari Asia Tenggara, yang menyambangi Jepang, didorong ekspansi pesawat bertarif murah, kemudahan visa, dan depresiasi yen.

“Enaknya traveling ialah ketika Anda menikmati makanan lezat dan mengeksplorasi budaya baru. Tapi informasi halal di sini sangat kurang,” tutur Hironori. Tak ada informasi cukup terutama soal makanan bagi muslim, ditambah di Jepang ada budaya layanan Omotemashi—keramahan: konsumen adalah tuhan, bukan sekadar raja. Sebab itu kehadiran HalalMinds bisa mengubah kondisi dewasa ini di Jepang.

“Pergerakan masyarakat dan barang itu menjangkau seluruh dunia. Saya percaya aplikasi ini membuat muslim bergerak bebas, tanpa khawatir soal halal atau haram,” katanya. Pengalaman susahnya mencari produk halal mendorong Agung membuat database yang saat ini jumlahnya hampir 500.000 item. Jumlahnya bakal terus ditambah karena masih ada sekitar setengah juta produk lagi yang harus dijaring.

Pada HalalMinds, terdapat dua teknologi untuk mencari produk halal. Pertama, menggunakan database. Makanan halal, haram, dan syubhat (samar, abu-abu antara haram dan halal) dikelompokkan dengan melihat bahan atau ingredient secara manual satu per satu. Bila ada beberapa substansi yang dilarang, misalnya daging babi dan turunannya, sake, mirin (bumbu dapur beralkohol), dan semua derivative lain termasuk emulsifier dari binatang, makanan itu tidak dibeli.

Database juga didukung feature user generate content, artinya pengguna bisa mengisi database sendiri atas informasi yang ditemukan dan tim HalalMinds akan memvalidasi.

Kendalanya, mereka harus selalu mencari produk-produk untuk dimasukkan dalam database. Juga merepotkan saat aplikasi itu diperluas ke negara lain seperti Korea, Taiwan, dan China—tiga negara yang tengah mereka bidik.

Kedua, semacam mesin pencari halal. Saat pengguna memasukkan barcode satu produk, web engine akan mencari ke situs-situs yang menyediakan informasi tersebut—ini seperti algoritma Google untuk pencarian makanan lintas negara yang tidak terbatas di negara tertentu seperti Jepang, Korea, atau Taiwan. “Teknologi kedua ini belum dirilils. Kami masih harus mengembangkannya lagi,” kata Agung.

HalalMinds membantu menginformasikan bahan dari sebuah produk, menerjemahkan informasi ke bahasa Inggris, memberi saran apakah produk itu halal, haram, atau syubhat. Meski ada lembaga sertifikasi halal yakni Islamic Center Japan-Halal Committee, produk dengan sertifikat halal di sana sangat jarang, barang kali hanya ada ratusan dari jutaan produk. Kondisi itu membuat mereka menyeleksi kehalalan berdasarkan bahan material yang dikandung, bukan proses.

“Sangat mustahil umat Islam hanya mengonsumsi produk yang cuma memiliki sertifikat. Beras pun di sini tak ada sertifikat,” tuturnya. Agung lalu menggunakan logic code yang sangat ketat untuk menyeleksi bahan. Contoh, material emulsifier—zat yang menstabilkan emulsi—dimasukkan dalam kategori syubhat. Emulsifier biasanya dari binatang haram dan dari tumbuhan halal. “Seleksi aplikasi ini ketat. Misalnya glycerin dan amino acid, walau rata-rata terbuat dari tumbuhan, kami masukkan ke dalam kategori syubhat.”

Nah, penggunalah yang menentukan sendiri sesuai dengan keyakinan. “Makanan halal, yaitu makanan yang tidak mengandung daging, entah daging ayam, sapi, apalagi daging babi. Meski satu produk menggunakan daging ayam, kami memasukan dalam kategori haram, karena kami meyakini proses penyembelihan di Jepang meragukan.”

Saya kemudian mencoba mengunduh aplikasi HalalMinds melalui Play Store di ponsel berbasis Android 4.1.2. Untuk Android bisa berjalan dengan baik, tapi karena sedikit gangguan jaringan internet, setelah masuk dalam shortcut menu ponsel, aplikasi belum bisa diakses dengan iPhone 5. Beberapa pengguna yang berhasil men-download HalalMinds memberi komentar cukup beragam—rata-rata lima bintang. “Sangat berguna, terima kasih,” komentar Daviand Corleone. “Ahamdulillah, Jazakumullah khoir [semoga Allah membalas dengan kebaikan],” kata Eka Fransisca. “Enggak berhasil nih di Lenovo A512 saya, mungkin terlalu berat,” kata Linda Azhar di daftar komentar Play Store, akhir Mei lalu.

Hingga saat ini Agung, Dai, dan Hinori sudah mengeluarkan bujet sekitar US$2.000 dari kocek pribadi. Mereka tengah bernegosiasi dengan beberapa investor. “Kami sangat senang apabila ada pengusaha Indonesia yang mau bergabung dengan proyek ini,” harap Agung.

Sayangnya belum ada perlindungan hukum untuk HalalMinds. “Setelah ada investor masuk, kami akan segera mengurus itu.” Dukungan kampus cukup penuh terhadap ketiganya. Manajer bisnis Program MBA di kampus tersebut selalu membantu koneksi sejumlah investor. “Beberapa konsultan halal di Kyoto juga banyak yang menghubungi saya terkait dengan makanan halal karena mereka melihat dari segi prospek bisnis.”

Setelah berbicara dengan pemerintah Fukuoka, akhir Mei mereka temu muka dengan pemerintah kota Kumamoto. Hanya saja, entah karena ‘tersumbatnya’ informasi, keberhasilan Agung belum mendapat respons dari negeri asalnya. “Proyek tentang halal [memang] belum terlalu fokus di negara mayoritas, tapi di negara berpopulasi muslim minoritas, produk halal menjadi perhatian besar.”

Betul bahwa proyek ini brilian, tapi HalalMinds belum bisa dikatakan sempurna. Itu sebabnya, selain pengembangan “Mesin Pencari Halal”, mereka tengah mengembangkan Halal Tourism Project untuk membantu mengetahui tingkat kehalalan suatu daerah berdasarkan peringkat bintang. Beberapa parameter di antaranya: apakah hotel menyediakan makanan halal, menyediakan Al-Quran di setiap kamar, arah kiblat, bagaimana lokasi hotel dari masjid berdasarkan jarak, lokasi hotel dari lokasi restoran halal, dan apakah di sekitar kota lokasi hotel ada organisasi Islam yang bisa dihubungi.
Parameter lain, adakah masjid di sekitar hotel dan berapa kilo jaraknya. “Jadi hotel yang memiliki rating baik bukan dari segi bangun, fasilitas, atau harga, tapi hotel yang baik secara islami. Kami menyebutnya halal tourism.”

Dalam jangka pendek, Agung dan dua mitranya akan menggandeng convenient store di sana. Target berikutnya bermitra dengan agensi halal tourism dan pasar halal di dunia seperti Amazon atau Alibaba.

Tak hanya itu, HalalMinds kini mereka mengembangkan database produk kosmetik dan obat-obatan. Bidang ini lebih susah dikategorikan karena bahannya banyak memakai istilah kedokteran, orang awam yang paham Kanji pun belum tentu bisa menentukan kandungan obat atau kosmetik itu halal atau tidak. “Mudah-mudahan bulan depan sudah bisa dipublikasikan untuk obat dan kosmetik. Ini penting, misalnya sabun masuk dalam kategori ini. Apabila sabun kita mengandung material nonhalal, misal minyak babi, dan menempel pada kulit kita, ini menjadi najis dan tidak boleh dipergunakan untuk beribadah.”

Abimanyu Wahyu, pengamat independen bidang teknologi informasi (TI), menilai aplikasi tersebut sejajar dengan buatan orang asing lain karena peralatan yang dipakai sama. Beda dengan teknologi hardware seperti komputer, mobil dan pesawat, harus diakui buatan Indonesia belum sejajar.

“Saya jamin 1000%, produk software buatan kita, termasuk HalalMinds yang dibuat saudara Agung bagus,” kata Abimanyu. Aplikasi buatan luar negeri pun tidak seluruhnya bagus karena secara kualitas beberapa masih rendah. Secara umum, aplikasi buatan orang Indonesia bisa diadu. “Ciptaan Amerika, Jerman, ada juga yang jelek. Di Indonesia banyak program bagus, misalnya tiruan Facebook, Instagram, ada lho. Tapi, saya enggak mau nyebut merek karena ada beberapa yang mengajukan kepada saya untuk dinilai,” kata mantan dosen TI di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Namun, baginya tetap saja masih ada kendala. Makin lengkap produk dalam database, maka makin luas cakupan produk halal. “Makanan yang dibilang halal oleh program pasti halal karena ada di dalam database; tapi yang dideteksi tidak halal, belum tentu itu tidak halal karena bisa jadi Agung belum sempat merekam makanan dalam sistemnya. Misalnya ada 100 kaleng, ternyata di pasar terdapat 150 kaleng.”

Selain itu, akurasi membaca data dan kualitas ponsel pun penting karena setiap kemasan makanan barcode-nya berbeda: bulat, horizontal, vertikal, atau melingkar. “Ada kemungkinan barang halal dianggap haram karena tidak terbaca barcode, padahal ada di database. Banyak merek ponsel abal-abal sehingga pemindaian tidak terdeteksi.”

Meski patut diapresiasi, Abimanyu menegaskan bahwa produk dalam database mestinya whitelist—kumpulan produk halal—bukan blacklist atau barang haram. Alasannya, jika yang didata adalah blacklist, bisa berbahaya. Karena nanti makanan yang aslinya haram dan masuk database tapi tidak terdeteksi, maka makanan tersebut bisa dikonsumsi karena si pembeli menganggapnya halal.
“Informasi halal atau haram perlu juga ada gambar binatang yang muncul. Gambar lebih mudah dikenali, terutama bagi yang tidak memahami bahasa setempat atau tidak bisa berbahasa Inggris,” tambah Wirawan Sumbodo, dosen Agung di Unnes.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengapresiasi temuan ilmiah Agung. Lembaga ini hanya mempertanyakan dari mana sumber referensi yang mengklaim suatu produk masuk kategori halal. “Ide dasarnya dengan aplikasi yang bisa diunduh di Play Store itu luar biasa. Kami apresiasi,” kata Aminuddin, Anggota Komisi Fatma MUI yang mengurusi sertifikasi halal. Namun dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta ini menegaskan kategori halal atau tidak mesti dikeluarkan oleh otoritas halal negara setempat.

 “Mengategorikan halal tak bisa hanya melihat bahan-bahan produk karena dalam beberapa kasus, misalnya ada permen marshmellow yang kenyal pasti menggunakan jelatin yang bersumber dari kulit, bisa kulit hewan mana saja. Artinya tak bisa hanya lihat,” jelasnya. “Sebab itu bila hanya berdasarkan ingredient, dikhawatirkan bisa keliru,” katanya.

Di Jepang sudah ada lembaga sertifikasi halal, yakni Islamic Center Japan-Halal Committee dan sudah masuk dalam anggota World Halal Council. Setiap negara pun memiliki lembaga sertifikasi halal seperi China Islamic Association di China kendati di negara lain belum, misalnya Vietnam dan Thailand. MUI pun bekerja sama dengan organisasi ulama di negara lain yang juga memiliki lembaga sertifikasi halal. Kerja sama itu penting guna mengatasi ketidaktahuan bahan baku impor dari negara lain.

Proyek HalalMinds memang baru dimulai dan Agung masih bermimpi menjadikannya besar, menjadi pemimpin di industri halal. Pekerjaan rumahnya saat ini ialah terus mengisi database. Agung punya banyak dukungan di sana apalagi kerukunan agama di sana cukup tinggi. Walaupun minoritas, Jepang sangat menghargai Islam dengan mendirikan beberapa masjid, termasuk di Fukuoka. “April lalu, tempat ibadah baru saja dibuka di Bandara Fukuoka. Saat ini ada penggalangan dana untuk mendirikan masjid kedua di kota ini,” tutur Agung.

Di sisi lain, dalam hal pengembangan startup, negara ini pun sangat terbuka dengan dukungan pemerintah dan swasta. Dukungan dana juga bisa dicari dari berbagai sumber, asalkan kreatif. “Walaupun saya bukan orang Jepang, tapi bantuan tidak membeda-bedakan dari mana kita berasal. Asal ada ide kreatif, mereka akan mendukung. Sayangnya, bagi Agung, pemerintah Indonesia kurang melirik pasar halal dunia yang kini dipegang oleh Malaysia sekitar 30%.

Keinginannya saat ini mengoneksikan Indonesia-Jepang, dan dunia, dalam bidang industri halal. Jepang sebagai trust business place, sedangkan Indonesia sebagai produsen dan sertifikasi halal serta memegang pangsa pasar terbesar untuk industri halal. “Memang mimpi yang sangat besar. Saya tidak melihat hasil yang ada, hanya usaha, tetap jalan dan doa. Kalaupun tak mendapatkan profit besar, setidaknya saya sudah berusaha untuk mewujudkan sesuatu untuk umat Islam.” □


Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin, 9 Juni 2014
Words: 3.404

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu