Jumat, 11 Juli 2014

Uang Digital atau Komoditas Virtual?

Pengguna Bitcoin di Tanah Air sudah mencapai 3.000-5.000 orang. Mereka meyakininya sebagai komoditas, bukan mata uang

Oleh M. Tahir Saleh
RedFury, photo by Bloomberg Businessweek

SUARA DI SEBERANG TELEPON mengagetkan Tiyo Triyanto (30). Selang beberapa hari setelah dia menerima kiriman uang dari para pembeli USB Bitcoin Miner, produk buatannya, staf sebuah bank memintanya datang untuk menjelaskan aliran uang berjumlah besar yang mampir ke rekeningnya.

“[Transaksi] disangka mencurigakan, saya dipanggil, ditanya-tanya oleh kepala bank, yah saya buka semua, saya orang bener kok," cerita Tiyo, penambang terbesar Bitcoin di Indonesia, ditemui Rabu malam (22/1).

Pria lulusan Xavier University, Cincinnati Ohio, Amerika, ini hampir setahun menekuni bisnis tambang uang virtual bernama Bitcoin. Sebelumnya dia berbisnis macam-macam, mulai dari restoran hingga usaha lain. Sampai akhirnya uang virtual yang heboh di Amerika, Eropa, dan Asia—termasuk Indonesia—ini menarik minatnya dengan segala manfaat; tanpa biaya transfer, memudahkan transaksi, aman, dan banyak membantu orang. Transaksi itu tanpa fee karena memakai teknologi peer-to-peer atau teknologi pemakaian bersama (sharing) resource dan service antara satu komputer dengan komputer lain.

Bitcoin ini semacam invensi (rancangan) protokol yang terbuka (open-source) sehingga siapa pun bisa turut serta memverifikasi data-data di dalamnya, sebutannya ‘penambang’. Ketika data terpecahkan, Bitcoin pun diperoleh dengan nilai tertentu layaknya menambang emas. Penciptanya Satoshi Nakamoto.

Ada dua cara mendapatkan Bitcoin. Pertama, membeli dari orang atau menukar Bitcoin ke dalam mata uang dolar Amerika di Bitcoin exchange seperti money changer. Kedua, ‘menambang’ atau mining yang membutuhkan software dan hardware tertentu. Konsep sederhananya seperti mengunduh duit dari internet.

Tiyo merancang dan memproduksi apa yang dia namakan RedFury, USB Bitcoin Miner pertama buatan Indonesia. Pengguna tinggal mencolok USB itu ke slot komputer atau laptop, memasukkan ID atau address yang sudah dibuat sebelumnya di beberapa situs (bisa lewat Blockchain.info atau Coinbase.com), mirip seperti membuat e-mail. Memiliki address adalah langkah awal sebelum menambang.

Setelah USB khusus itu dicolok, ikuti saja petunjuk mudah lalu cip itu akan bekerja otomatis 24 jam per hari memecahkan teka-teki matematis (menambang) dan menghasilkan Bitcoin yang bisa ditukar menjadi dolar (1 Bitcoin = US$850). Pembeli tinggal memantaunya berapa lama dan berapa banyak. Bitcoin yang dihasilkan tergantung berapa banyak unit USB khusus ini dipakai. Semakin banyak unit USB dipakai melalui USB Hub, makin bejibun Bitcoin yang dihasilkan.

Tiyo di bengkel kerja,
photo by Bloomberg Businessweek
Produk pertama Tiyo, yang bekerja sendiri tanpa perusahaan, terjual 3.000 unit dalam 20 hari dan batch kedua terjual 7.000 unit dalam lima hari. Omzetnya menembus US$1 juta dengan harga satu Redfury sekitar USD$100-150. Dengan 95% pembeli mancanegara, wajar saja uang yang masuk ke rekening pria kelahiran 25 Januari 1984 ini membuat bank curiga.

Dengan USB ini, pembeli bisa dengan mudah menambang Bitcoin. Tak perlu ribet memusingkan kabel dan spesifikasi teknis komputer. “Ketika memulai dulu memang kompleks sekali, saya sebulan belajar seluk-beluknya,” katanya. “Tapi kini ada teknologi baru, saya buat sedemikian rupa biar orang baru enggak terlalu bingung, software sudah ada, colok USB, tinggal klik kanan, edit ganti jadi Bitcoin address saja.”

Bahkan dengan Bitcoin, dia bersama komunitas Indonesian Bitcoin Community (IBC) menggalang donasi bagi korban Topan Haiyan di Filipina. Hasilnya mengesankan, terkumpul US$60.000 atau setara dengan Rp720 juta. Tapi yang lebih menakjubkan, nilai itu ditarik dari 8 sen dolar. “Nilai minimum Bitcoin itu bisa delapan desimal.”

Diperkirakan pengguna Bitcoin di Indonesia saat ini sudah mencapai 3.000-5.000 orang, baik sebagai trader maupun penambang. Pasokan Bitcoin terbatas hanya sampai 21 juta dan bakal habis dikeruk mesin komputer pada 2140.

Oscar,
photo by Bloomberg TV Ind
Oscar Darmawan, CEO Bitcoin Indonesia, menjelaskan Bitcoin lebih diartikan sebagai komoditas virtual, bukan mata uang digital (virtual currency). Barangkali ini seperti emas digital. Pengguna tinggal barter atau mengonversi Bitcoin menjadi rupiah atau dolar. “Jadi Bitcoin semacam media transfer, lalu ditukar ke rupiah,“ katanya.

Namun, perlu dicatat, perdagangannya pun berisiko. Harga Bitcoin fluktuatif, berubah signifikan dari waktu ke waktu. Berdasarkan informasi situs Bitcoin.co.id milik Oscar, disebutkan dalam transaksi Bitcoin, tak ada nomor kartu kredit yang bisa dikumpulkan oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Dengan Bitcoin, dimungkinkan transaksi anonim alias tanpa identitas. Berbeda dengan transaksi online konvensional, misalnya transfer bank, yang wajib mencantumkan nama lengkap dan identitas pendukung. Transfer lintas benua juga mudah, layaknya bertransaksi dengan tetangga sebelah. Soal keamanan, transaksi diamankan oleh kriptografi tingkat militer, tak ada yang bisa memakai uang Anda atau membayar atas nama Anda.

Bitcoin Indonesia dipelopori oleh Oscar sejak 2012 sebagai perusahaan pertama yang melayani jual beli Bitcoin online (BTC online) di Indonesia melalui berbagai media Bitcoin online di dalam dan luar negeri. Ribuan orang di Indonesia, katanya, mulai menggunakannya, tapi masih sebatas membuat website, hosting, dan domain. Beberapa restoran diketahui juga memakai Bitcoin, contohnya di Lombok dan Jakarta. Mereka memilih Bitcoin, selain untuk memperluas ekosistem pengguna, juga untuk ekspos media.

Dengan pesatnya pertumbuhan pengguna, Oscar berharap pemerintah ikut mendukung mata uang digital ini. Sokongan bisa berbentuk regulasi atau menerapkan pajak dalam Bitcoinseperti di Singapurakarena ini merupakan komoditas, bukan mata uang. “Di China, untuk finansial dan bank memang enggak boleh, tapi digunakan individu boleh. Kalau mata uang ‘kan dikeluarkan negara, kalau ini komoditas: emas sakti,” kata Oscar yang juga pendiri Yayasan Sosial Dokter Sehat.

Pemerintah memang tak boleh berdiam diri. “Mau tak mau Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) harus siap turun tangan bila jumlah pengguna Bitcoin makin gemuk. Di satu sisi belum ada pengaturan, di sisi lain tak ada pelarangan eksplisit,” kata Dradjad Hari Wibowo, Ekonom Sustainable Development Indonesia.

Masih jauh bila dikatakan Bitcoin bakal menggeser penggunaan uang fisik karena perubahan ini berkaitan dengan tahapan ekonomi sebuah bangsa. Di beberapa daerah, malah masih ada yang memakai sistem barter—meski tak dimungkiri ada kelas menengah yang sudah siap memakai alat tukar ini. Jumlah kelas menengah, dengan penghasilan US$5.000 per bulan atau US$60.000 per tahun, jauh lebih banyak dari Singapura yang jumlah penduduknya hanya sekitar 4 juta. “Masih jauh untuk mengganti uang fisik, teknologi Near Field Communication [NFC] saja belum banyak dipakai. Bitcoin dipakai beli es cendol enggak bisa, tapi ada beberapa transaksi online bisa, saya rasa ada kaum virtual kelas menengah di Indonesia yang sudah siap,” ujarnya.

Meski di Indonesia berlaku UU No.7/2011 tentang Mata Uang, tidak semua transaksi mengacu pada peraturan ini, misalnya di Bali dan pelabuhan internasional yang menggunakan dolar Amerika. “Biar bagaimanapun BI mau tidak mau harus siap. BI saya rasa enggak akan melarang, kalau melarang bisa dikategorikan anti-perkembangan. Tinggal sekarang pengguna aktif jalankan saja, kembangkan seluasnya, nanti negara juga pasti turun tangan,” kata Dradjad.

Gatot S. Dewa Broto, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, mencatat dua hal terkait Bitcoin. Pertama, layanan ini kian berkembang di luar negeri sehingga akan masuk radar mereka. Pihaknya tidak menutup kemungkinan akan mengatur bila urgent. Meski begitu, dalam UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan PP No.82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik sudah mengatur, tapi masih secara umum.

Kedua, bila terjadi perselisihan (dispute) dan fraud dalam layanan Bitcoin sebetulnya bisa masuk dalam perlindungan UU ITE Pasal 28 Ayat 1 dan kalau ada pengambilan atau pencurian dokumen, masuk Pasal 30-35. “Misalnya saya punya Bitcoin, ternyata diambil oleh seseorang. Itu bisa dijerat, tapi kalau peraturan yang khusus mengatur layanan itu [Bitcoin] sendiri belum ada. Di Amerika pernah ada kejadian, dan dijerat dengan UU yang mirip ITE di pengadilan.”

Lebih jauh, Kementerian akan mengkaji perkembangan Bitcoin, melihat urgensinya, dan bila perlu akan dibuat regulasi khusus. Mereka juga meminta ada terminologi detail dari Otoritas Jasa Keuangan. Hingga saat ini belum ada pengajuan audiensi dari komunitas Bitcoin.

Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacob menegaskan dasar hukum transaksi keuangan di Indonesia sudah jelas, harus menggunakan mata uang rupiah sebagai mata uang sah. Tetapi memang ada pengecualian, misalnya di pelabuhan atau perbatasan. “Intinya begitu. Jadi, kalau ada orang yang mau memakai Bitcoin, siapa yang tanggung jawab kalau enggak laku? Transaksi harus memakai mata uang sah, yaitu rupiah,” katanya.

Tiyo dan Oscar mahfum betul wilayah regulasi ini. Rencana pengajuan penjelasan mengenai Bitcoin kepada pemerintah tengah disusun bersama komunitas Bitcoin. Tujuannya tentu bukan hanya mengejar keuntungan dari menjual komoditas virtual itu, tapi ke depan mereka berharap Bitcoin bisa menjadi alat tukar global.

Banyak celah yang perlu diperbaiki agar Bitcoin bisa dipahami betul oleh masyarakat.  “Sosialisasi terus kami lakukan, terakhir kami buat IBC di kampus Bina Nusantara. Kami berharap pemerintah bisa mendukung. Masa kalah melulu dengan Malaysia, Singapura? Ayo deh kita mulai,” kata Tiyo.

Malam itu, meski di rekeningnya bertumpuk duit miliaran, Tiyo tetap rendah hati. Berbalut kaos oblong abu-abu bertuliskan ‘Newton & Edison & Einstein & Satoshi’, dia dengan santai mengobrol soal visinya terkait Bitcoin dalam 10 tahun ke depan. □

Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin 27 Januari 2014
Words: 1.502


BAGAIMANA CARA MENDAPATKAN BITCOIN?
1. Membuat ID atau address, semacam akun pribadi untuk menambang komoditas virtual ini. Dua situs yang paling sering digunakan adalah Blockchain.info dan Coinbase.com. Anda hanya perlu memasukkan alamat e-mail dan password.

2.  Address yang Anda miliki tentu saldo Bitcoin-nya masih nol, ada dua cara mendapatkan Bitcoin setelah memiliki akun tersebut:
- Membeli dari orang yang sudah punya Bitcoin atau di money changer khusus Bitcoin. Beberapa situs jual beli Bitcoin: Bitcoin.co.id dan Artabit.com.
- Menambang (mining) dengan hardware dan software khusus. Penyedia hardware dan software asli Indonesia salah satunya Tiyo Triyanto, meski ada beberapa nama lain yang juga membuat USB serupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu