Romo Mudji, @Galeri Cipta, photo by Muniroh, Sinar Harapan |
Lewat sketsa-sketsa, dia
menuangkan perjalanan spiritualnya dengan warna-warna—mencerminkan keberagaman
suku, ras, dan agama di Indonesia yang penuh keindahan
Oleh M. Tahir Saleh
ROHANIWAN, budayawan, ilmuwan, filsuf, dan pelukis
sketsa. Lima talenta itu menyatu dalam diri Prof. Dr. Mudji Sutrisno S.J. Maka,
bukan hal aneh jika renungan spiritualnya muncul dalam bentuk seni rupa.
Selama sembilan hari (8-17 Januari), pria yang
akrab disapa Romo Mudji ini mengekspresikan perjalanan batinnya lewat pameran sketsa
bertajuk ‘Dari Stupa ke Stupa’ di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Barang kali banyak yang bertanya: kenapa stupa? Atau adakah hal
menarik dari benda yang biasa kita lihat di Candi Borobudur atau candi-candi
Budha lainnya ini?
Bagi Romo Mudji (59), stupa dimaknai sebagai sebuah
garba atau rahim yang memiliki arti sama dengan 'cupala' gereja Katedral
atau kubah Masjid Istiqlal. Ada keheningan yang sama saat ia berada, baik di
kedua tempat ibadah itu maupun di Candi Borobudur. "Saya merasakan
spiritualitas, sebuah keheningan yang persis sama. Inilah yang membangkitkan mood
saya untuk melukiskannya pada sketsa," katanya usai membuka pameran pekan
silam.
Jika goresan sketsa lazim menggunakan kombinasi
hitam dan putih, kali ini berbeda. Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara dan dosen filsafat di Pasca Sarjana Universitas Indonesia itu mulai
berani memasukkan dominasi warna merah, hijau, dan kuning pada 54 sketsa dari
total 104 karyanya.
Keberanian tersebut muncul setelah Romo mengadakan
perjalanan spiritual bersama wartawan majalah Tempo, Seno Joko Suyono ke
Kathmandu, Nepal.
Di sana, batinnya terhenyak melihat ritual suci penyiraman
tepung bunga warna-warni di puncak stupa. Masyarakat setempat larut dalam doa
syahdu di tengah guyuran bunga dan tali berwarna. Meriah sekali. "Mata
saya seperti tak bisa berkedip saking merasa kagum. Ternyata, spiritualitas itu
ada di balik warna-warna seperti merah, kuning, dan hijau," ujarnya.
Tidak berhenti di situ, Romo lantas kembali
termenung. Bukankah warna-warni tadi persis sama dengan keberagaman suku, ras,
dan agama di Indonesia? Bukankah seharusnya perbedaan itu indah?
Pada titik inilah dia berusaha menyampaikan bahasa
perdamaian melalui sketsa yang semuanya dibuat berukuran 21 x 29,7 sentimeter. Pemilihan waktunya
tepat karena tiga bulan ke depan bakal digelar pemilihan umum. Hampir
dipastikan situasi politik akan memanas dan memicu perseteruan. "Saya tahu,
2014 ini tahun politik. Saya ingin mengajak agar semua damai dan menjunjung
tinggi perdamaian. Mudah-mudahan sketsa saya bisa menyampaikan pesan itu kepada
yang melihatnya.”
Melalui sketsa itu pula Romo mengkritik fenomena
Indonesia kini dengan bahasa filosofis dan transendental. Dia dengan lantang
mengutip ucapan Attisa Dalai Lama XIV soal inti spiritual, "Pada pagi
hari, tolong Anda cermati motivasi Anda. Lalu, pada malam hari
sebelum tidur cermati tindakan Anda kemudian satukan dalam rentetan benang
putih kesadaran.”
Kesadaran tentang kehidupan ini berdenyar dalam
dirinya, mengapa bangsa yang formal dan resmi khusyuk beribadah, tapi korupsi
dalam kehidupan sehari-hari? Pertanyaan ini menjadi pekerjaan rumah bagi setiap
agama, menghampiri masing-masing pemeluk untuk mau kembali ke sumber asal
religi itu sendiri: spiritualitas.
Pergulatan pertanyaan tersebut membuahkan apa yang
disebut ‘Ora et Labora’ atau
berdoalah dan bekerjalah. Sebab yang nyata saat ini doa masih terpisah dari
kerja, altar dilepas dari pasar. Dibutuhkan evolusi kesadaran supaya bisa
mengintegrasikan antara doa dan kerja dalam menemukan arti hidup dari Sang
Pencipta.
Bagi Arswendo Atmowiloto, sastrawan yang turut
hadir malam itu, sketsa Romo lebih mendengar dengan sabar, belajar dari benda
menjadi bermakna. Namun menurut sutradara Garin Nugroho, dalam buku komentar sahabat, sketsa
yang kuat justru tak sekadar ekspresi bangunan dan landscape. “Ia
menjadi suara hati,” kata Garin.
Dalam buku yang sama, aktor monolog Butet Kartaredjasa menilai sketsa
Romo ibarat monolog: permainan tunggal untuk mengartikulasikan pikiran dan
‘dunia dalam’ dengan cara yang sederhana. Keberhasilan mencapai kesederhanaan
itulah puncaknya. “Soalnya bicara secara sederhana, nyatanya memang tak mudah dimiliki oleh
para intelektual atau mereka yang menyangka dirinya filsuf,” katanya. “Selamat
bergumam Romo!” □
Tulisan
ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin 20 Januari 2014
Words: 626
Tidak ada komentar:
Posting Komentar