Jumat, 11 Juli 2014

Spiritualitas dalam Goresan Sketsa

Romo Mudji, @Galeri Cipta,
photo by Muniroh, Sinar Harapan
Lewat sketsa-sketsa, dia menuangkan perjalanan spiritualnya dengan warna-warna—mencerminkan keberagaman suku, ras, dan agama di Indonesia yang penuh keindahan

Oleh M. Tahir Saleh

ROHANIWAN, budayawan, ilmuwan, filsuf, dan pelukis sketsa. Lima talenta itu menyatu dalam diri Prof. Dr. Mudji Sutrisno S.J. Maka, bukan hal aneh jika renungan spiritualnya muncul dalam bentuk seni rupa.

Selama sembilan hari (8-17 Januari), pria yang akrab disapa Romo Mudji ini mengekspresikan perjalanan batinnya lewat pameran sketsa bertajuk Dari Stupa ke Stupa di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Barang kali banyak yang bertanya: kenapa stupa? Atau adakah hal menarik dari benda yang biasa kita lihat di Candi Borobudur atau candi-candi Budha lainnya ini?

Bagi Romo Mudji (59), stupa dimaknai sebagai sebuah garba atau rahim yang memiliki arti sama dengan 'cupala' gereja Katedral atau kubah Masjid Istiqlal. Ada keheningan yang sama saat ia berada, baik di kedua tempat ibadah itu maupun di Candi Borobudur. "Saya merasakan spiritualitas, sebuah keheningan yang persis sama. Inilah yang membangkitkan mood saya untuk melukiskannya pada sketsa," katanya usai membuka pameran pekan silam.

Jika goresan sketsa lazim menggunakan kombinasi hitam dan putih, kali ini berbeda. Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan dosen filsafat di Pasca Sarjana Universitas Indonesia itu mulai berani memasukkan dominasi warna merah, hijau, dan kuning pada 54 sketsa dari total 104 karyanya.

Keberanian tersebut muncul setelah Romo mengadakan perjalanan spiritual bersama wartawan majalah Tempo, Seno Joko Suyono ke Kathmandu, Nepal.

Di sana, batinnya terhenyak melihat ritual suci penyiraman tepung bunga warna-warni di puncak stupa. Masyarakat setempat larut dalam doa syahdu di tengah guyuran bunga dan tali berwarna. Meriah sekali. "Mata saya seperti tak bisa berkedip saking merasa kagum. Ternyata, spiritualitas itu ada di balik warna-warna seperti merah, kuning, dan hijau," ujarnya.

Tidak berhenti di situ, Romo lantas kembali termenung. Bukankah warna-warni tadi persis sama dengan keberagaman suku, ras, dan agama di Indonesia? Bukankah seharusnya perbedaan itu indah?

Pada titik inilah dia berusaha menyampaikan bahasa perdamaian melalui sketsa yang semuanya dibuat berukuran 21 x 29,7 sentimeter. Pemilihan waktunya tepat karena tiga bulan ke depan bakal digelar pemilihan umum. Hampir dipastikan situasi politik akan memanas dan memicu perseteruan. "Saya tahu, 2014 ini tahun politik. Saya ingin mengajak agar semua damai dan menjunjung tinggi perdamaian. Mudah-mudahan sketsa saya bisa menyampaikan pesan itu kepada yang melihatnya.”

Melalui sketsa itu pula Romo mengkritik fenomena Indonesia kini dengan bahasa filosofis dan transendental. Dia dengan lantang mengutip ucapan Attisa Dalai Lama XIV soal inti spiritual, "Pada pagi hari, tolong Anda cermati motivasi Anda. Lalu, pada malam hari sebelum tidur cermati tindakan Anda kemudian satukan dalam rentetan benang putih kesadaran.”

Kesadaran tentang kehidupan ini berdenyar dalam dirinya, mengapa bangsa yang formal dan resmi khusyuk beribadah, tapi korupsi dalam kehidupan sehari-hari? Pertanyaan ini menjadi pekerjaan rumah bagi setiap agama, menghampiri masing-masing pemeluk untuk mau kembali ke sumber asal religi itu sendiri: spiritualitas.

Pergulatan pertanyaan tersebut membuahkan apa yang disebut ‘Ora et Labora’ atau berdoalah dan bekerjalah. Sebab yang nyata saat ini doa masih terpisah dari kerja, altar dilepas dari pasar. Dibutuhkan evolusi kesadaran supaya bisa mengintegrasikan antara doa dan kerja dalam menemukan arti hidup dari Sang Pencipta.

Bagi Arswendo Atmowiloto, sastrawan yang turut hadir malam itu, sketsa Romo lebih mendengar dengan sabar, belajar dari benda menjadi bermakna. Namun menurut sutradara Garin Nugroho, dalam buku komentar sahabat, sketsa yang kuat justru tak sekadar ekspresi bangunan dan landscape. “Ia menjadi suara hati,” kata Garin.

Dalam buku yang sama, aktor monolog Butet Kartaredjasa menilai sketsa Romo ibarat monolog: permainan tunggal untuk mengartikulasikan pikiran dan ‘dunia dalam’ dengan cara yang sederhana. Keberhasilan mencapai kesederhanaan itulah puncaknya. “Soalnya bicara secara sederhana, nyatanya memang tak mudah dimiliki oleh para intelektual atau mereka yang menyangka dirinya filsuf,” katanya. “Selamat bergumam Romo!” □

Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin 20 Januari 2014
Words: 626

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu