Oleh M Tahir Saleh
Apa yang menjadi masterpiece Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono—Boediono sebelum masa kepemimpinannya berakhir 2 tahun lagi?
Jalan Lintas Sumatra ataukah Jembatan Selatan Sunda? Proyek raksasa ini toh
masih jauh dari realisasi.
Wapres Boediono bersama dengan Wakil Menhub Bambang Susantono memantau pembangunan rel ganda kereta api di Surabaya, By bambangsusantono.com |
SEJUMLAH proyek itu memang masuk dalam
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
2011—2025, tapi tak semua proyek yang termaktub di dalamnya bisa rampung
sebelum keduanya pensiun pada 2014.
Jembatan Selat Sunda sepanjang 29 km dengan
anggaran Rp150 triliun dan Jalan Lintas Sumatra sepanjang 1.580 km dengan
budget Rp55,30 triliun ditargetkan baru rampung pada 2025 dan 2018, saat dua
pimpinan negara itu berganti.
Maka secara realistis, salah satu yang bisa
dibanggakan keduanya selain pertumbuhan ekonomi 6,5% pada tahun lalu barangkali
adalah pembangunan rel ganda kereta api Jalur Utara yang ditargetkan rampung
pada Desember 2013.
Pembangunan rel ganda sepanjang 432 km ini
menghubungkan Cirebon—Brebes, Pekalongan—Semarang, Semarang—Bojonegoro, dan Bojonegoro—Surabaya.
Proyek rel ganda ini satu dari empat proyek rel
ganda di Jawa, lainnya adalah Jalur Ganda Lintas Selatan (Cirebon—Kroya,
Kroya—Kutoarjo), Jalur Ganda Duri—Tangerang, dan Jalur Ganda Tanah
Abang—Serpong—Maja.
Upaya merampungkan proyek senilai Rp9,15 triliun
ini bukan main—main. Beberapa kali, Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono yang juga Ketua Tim
Percepatan Pembangunan Jalur Rel Ganda mau memeras keringat datang langsung ke
lokasi pembangunan.
Saya pernah sekali ikut kunjungan tersebut pada
9 Mei 2012 saat mantan staf ahli Menko Perekonomian itu mengajak wartawan
bersama dengan sejumlah pengamat tranportasi meninjau langsung ke Surabaya.
Di atas gerbong kereta Argo Bromo Anggrek
jurusan Pasar Turi Surabaya—Stasiun Gambir Jakarta, saya menanyakan mengapa
proyek itu tidak didanai swasta atau mencari alternatif pembiayaan dengan
obligasi. Selama ini, cukup banyak proyek pemerintah menggandeng swasta dan
investor luar, kenapa rel ganda ini istimewa.
“Kami mau ini secepatnya proyek ini rampung,
kalau pinjaman luar akan lama prosesnya,” kata mantan Ketua Umum Masyarakat
Transportasi Indonesia ini.
Ketika itu Bambang didampingi oleh Dirjen
Perekeretaapian Tunjdung Inderawan
dan Dirut PT Kereta Api Indonesia Ignasius
Jonan.
Dalam MP3EI yang disusun oleh Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian itu terpampang sejumlah proyek kereta api mulai
single, double track, hingga dwi ganda atau double—double track.
Di koridor Sumatra, di antaranya pembangunan
jaringan rel kereta Kertapati—Simpang Tanjung Api-api 90 km—250 km, jalur
kereta angkutan batu bara dari Sumatra Selatan ke Lampung, dan rel kereta
Bandar Tinggi—Kuala Tanjung 18,5 km.
Di Jawa di antaranya pembangunan rel kereta dwi
ganda Manggarai—Bekasi, Bekasi—Cikarang elektrifikasi, jalur ganda dan
elektrifikasi lintas Duri—Tanggerang 20 km, jalur ganda dan elektrifikasi
Serpong—Maja—Rangkasbitung 32 km, dan elektrifikasi Padalarang—Bandung
Cicalengka 45 km.
Jadi
Keharusan
Percepatan realisasi rel ganda itu sebetulnya
menjadi keharusan. Pertama, saat ini
pangsa pasar angkutan barang melalui kereta api masih rendah. Kemenhub mencatat
angkanya baru 0,7% dari semua barang yang diangkut moda transportasi, sedangkan
angkutan penumpang melalui kereta baru mencapai 7%.
Jika jalur ganda selesai, kapasitas pengangkutan
diharapkan bertambah dari sebelumnya 0,7% menjadi antara 20%--25%, terjadi
peralihan beban angkutan dari jalan ke kereta api dari jalur Pantai Utara Jawa
atau Pantura yang rutin jalannya diperbaiki karena sering rusak.
Pemerintah juga mematok target dengan jalur
ganda, angkutan barang naik dari 5.000 TEUs (twenty-foot equivalent units)
menjadi 15.000 TEUs per minggu. Selain itu, waktu tempuh Jakarta—Surabaya bisa
8,5 jam dari saat ini 10 jam—12 jam perjalanan.
Sayang, pemerintah sepertinya belum punya
pandangan bahwa kereta menjadi transportasi penumpang dan barang utama.
Indikasinya terlihat dari masih jauh atau timpangnya anggaran Kemenhub dan
Kementerian Pekerjaan Umum.
Tahun depan, anggaran Ditjen Perkeretaapian
Rp8,84 triliun dari total anggaran Kemenhub Rp31,35 triliun, sedangkan Ditjen
Bina Marga Kementerian PU yang menangangi jalan mencapai Rp34,57 triliun dari
total Rp 69,15 triliun. Bahkan Kementerian PU meminta tambahan anggaran lagi,
Rp20,39 triliun.
Kontan ini jadi soal sehingga Ditjen
Perkeretaapian belum bisa berbuat banyak lantaran anggaran dari APBN juga
‘disunat’ dengan eselon satu lain. Terbesar untuk Ditjen Perhubungan Laut
sebesar Rp9,74 triliun.
Kedua, tingkat efisiensi.
Dalam buku Investing in ASEAN 2011—2012
yang diterbitkan oleh Allurentis Limited tahun ini, disebutkan negara-negara di
Asia Tenggara juga mulai mengamini tingkat efisiensi kereta itu.
Hal itu nampak dari upaya sejumlah negara merehabilitasi
dan memodernisasi jalur kereta apinya terutama lintas perbatasan karena selama
beberapa dekade, belum ada perhatian untuk kereta.
Ambil contoh di Kamboja yang terhitung jauh dari
sisi ekonomi dengan Indonesia. Mereka bahkan sudah merehabilitasi 117 km rel
kereta pada 2010 dan tahun lalu jalur kereta 254 km dari Phnom Penh—Pelabuhan
Sihanoukville rampung. Proyek itu dibantu Asian Development Bank.
Pada tahun depan Kamboja juga menargetkan jalur
kereta 388 km di utara dari Phnom Penh, Poipet, dan Aranyaprathet di Thailand
selesai.
Kereta sejak dahulu diakui lebih lebih efisien,
murah, ramah polusi udara dibandingkan dengan jalan raya tetapi sepertinya
pandangan itu baru—baru ini disadari oleh pemerintah. Padahal bisa jadi itu
sudah dipikirkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda LAJ Baron Sloet van den
Beele saat pertama kali membangun rel kereta Desa Kemijen—Tanggung sepanjang 26
km pada 17 Juni 1864.
Di jalan, banyak kendala mulai dari teknis
hingga ke non teknis seperti pungli meski saat ini jumlah barang memang masih
ebih banyak diangkut lewat laut, udara, dan jalan ketimbang kereta.
Rendahnya efisiensi angkutan melalui jalan darat
itu yang membuat daya saing Indonesia lemah karena beban logistik mahal,
imbasnya lagi—lagi masyarakat juga yang kena getahnya.
Tingginya beban logistik itu sebagaimana
diungkapkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Biaya logistik di
Indonesia ternyata yang tertinggi di Asean sebesar 25%--30% dari PDB padahal
idealnya dengan kondisi geografis Indonesia, biaya logistik itu tidak melebihi
15% dari PDB.
Rel ganda ini bisa menjadi semacam awalan bagi
pemerintah untuk memperkuat derajat konektivitas ekonomi nasional (intra dan
inter wilayah) maupun konektivitas ekonomi internasional Indonesia dengan pasar
dunia.
Hal itu karena konektivitas nasional merupakan
pengintegrasian empat elemen kebijakan nasional; Sistem Logistik Nasional
(Sislognas), Sistem Transportasi Nasional (Sistranas), Pengembangan Wilayah,
dan Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Namun tentu bukan menjadi keharusan bagi SBY
untuk memaksakan seluruh proyek MP3EI selesai karena memang pada 2011—2015,
kegiatan MP3EI difokuskan dalam pembentukan dan operasionalisasi institusi
pelaksana.
Artinya realisasi proyek MP3EI itu masih sebatas
upaya untuk membuka sumbatan (debottlenecking) birokrasi, regulasi, perizinan,
insentif, dukungan infrastruktur yang diperlukan, dan realisasi komitmen
investasi.
Sisa fase berikutnya (2016—2020 dan 2021—2025)
dalam MP3EI menjadi pekerjaan rumah bagi presiden selanjutnya setelah
SBY—Boediono menanggalkan jabatannya.
Tapi hal lain perlu dicatat adalah mesti ada
upaya untuk menggandeng pihak swasta karena sederet proyek besar itu tentu
membutuhkan dana besar.APBN bukan hanya untuk rel ganda, tetapi banyak juga
prioritas di kementerian lain.
Lagipula program dalam MP3EI juga tak bisa
menegasikan begitu saja problem sosial yang mesti ditanggung pemerintah, mulai
dari sengketa lahan dengan masyarakat sampai dengan kewajiban membina sumber
daya manusia dalam mempersiapkan persaingan global.
Namun dengan dipercepatnya rel ganda itu
setidaknya sebelum masa kepemimpinan SBY—Boediono berakhir 2 tahun lagi, mereka
bisa meresmikan salah satu masterpiece itu kepada rakyat, yah hitung—hitung
kompensasi atas ketidakkonsistennya terhadap komitmennya sendiri dalam
memberantas korupsi. (tahir.saleh@bisnis.co.id)
Terbit di Harian Bisnis Indonesia, Senin, 15
Oktober 2012
Words: 1.133