Kamis, 25 Oktober 2012

Warisan Terakhir SBY-Boediono

Oleh M Tahir Saleh

Apa yang menjadi masterpiece Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono—Boediono sebelum masa kepemimpinannya berakhir 2 tahun lagi? Jalan Lintas Sumatra ataukah Jembatan Selatan Sunda? Proyek raksasa ini toh masih jauh dari realisasi.

Wapres Boediono bersama dengan Wakil Menhub Bambang Susantono
memantau pembangunan rel ganda kereta api di Surabaya,
By bambangsusantono.com
SEJUMLAH proyek itu memang masuk dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011—2025, tapi tak semua proyek yang termaktub di dalamnya bisa rampung sebelum keduanya pensiun pada 2014.

Jembatan Selat Sunda sepanjang 29 km dengan anggaran Rp150 triliun dan Jalan Lintas Sumatra sepanjang 1.580 km dengan budget Rp55,30 triliun ditargetkan baru rampung pada 2025 dan 2018, saat dua pimpinan negara itu berganti.

Maka secara realistis, salah satu yang bisa dibanggakan keduanya selain pertumbuhan ekonomi 6,5% pada tahun lalu barangkali adalah pembangunan rel ganda kereta api Jalur Utara yang ditargetkan rampung pada Desember 2013.

Pembangunan rel ganda sepanjang 432 km ini menghubungkan Cirebon—Brebes, Pekalongan—Semarang, Semarang—Bojonegoro, dan Bojonegoro—Surabaya.

Proyek rel ganda ini satu dari empat proyek rel ganda di Jawa, lainnya adalah Jalur Ganda Lintas Selatan (Cirebon—Kroya, Kroya—Kutoarjo), Jalur Ganda Duri—Tangerang, dan Jalur Ganda Tanah Abang—Serpong—Maja.

Upaya merampungkan proyek senilai Rp9,15 triliun ini bukan main—main. Beberapa kali, Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono yang juga Ketua Tim Percepatan Pembangunan Jalur Rel Ganda mau memeras keringat datang langsung ke lokasi pembangunan.

Saya pernah sekali ikut kunjungan tersebut pada 9 Mei 2012 saat mantan staf ahli Menko Perekonomian itu mengajak wartawan bersama dengan sejumlah pengamat tranportasi meninjau langsung ke Surabaya.

Di atas gerbong kereta Argo Bromo Anggrek jurusan Pasar Turi Surabaya—Stasiun Gambir Jakarta, saya menanyakan mengapa proyek itu tidak didanai swasta atau mencari alternatif pembiayaan dengan obligasi. Selama ini, cukup banyak proyek pemerintah menggandeng swasta dan investor luar, kenapa rel ganda ini istimewa.

“Kami mau ini secepatnya proyek ini rampung, kalau pinjaman luar akan lama prosesnya,” kata mantan Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia ini.

Ketika itu Bambang didampingi oleh Dirjen Perekeretaapian Tunjdung Inderawan dan Dirut PT Kereta Api Indonesia Ignasius Jonan.

Dalam MP3EI yang disusun oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian itu terpampang sejumlah proyek kereta api mulai single, double track, hingga dwi ganda atau double—double track.

Di koridor Sumatra, di antaranya pembangunan jaringan rel kereta Kertapati—Simpang Tanjung Api-api 90 km—250 km, jalur kereta angkutan batu bara dari Sumatra Selatan ke Lampung, dan rel kereta Bandar Tinggi—Kuala Tanjung 18,5 km.

Di Jawa di antaranya pembangunan rel kereta dwi ganda Manggarai—Bekasi, Bekasi—Cikarang elektrifikasi, jalur ganda dan elektrifikasi lintas Duri—Tanggerang 20 km, jalur ganda dan elektrifikasi Serpong—Maja—Rangkasbitung 32 km, dan elektrifikasi Padalarang—Bandung Cicalengka 45 km.

Jadi Keharusan
Percepatan realisasi rel ganda itu sebetulnya menjadi keharusan. Pertama, saat ini pangsa pasar angkutan barang melalui kereta api masih rendah. Kemenhub mencatat angkanya baru 0,7% dari semua barang yang diangkut moda transportasi, sedangkan angkutan penumpang melalui kereta baru mencapai 7%.

Jika jalur ganda selesai, kapasitas pengangkutan diharapkan bertambah dari sebelumnya 0,7% menjadi antara 20%--25%, terjadi peralihan beban angkutan dari jalan ke kereta api dari jalur Pantai Utara Jawa atau Pantura yang rutin jalannya diperbaiki karena sering rusak.

Pemerintah juga mematok target dengan jalur ganda, angkutan barang naik dari 5.000 TEUs (twenty-foot equivalent units) menjadi 15.000 TEUs per minggu. Selain itu, waktu tempuh Jakarta—Surabaya bisa 8,5 jam dari saat ini 10 jam—12 jam perjalanan.

Sayang, pemerintah sepertinya belum punya pandangan bahwa kereta menjadi transportasi penumpang dan barang utama. Indikasinya terlihat dari masih jauh atau timpangnya anggaran Kemenhub dan Kementerian Pekerjaan Umum.

Tahun depan, anggaran Ditjen Perkeretaapian Rp8,84 triliun dari total anggaran Kemenhub Rp31,35 triliun, sedangkan Ditjen Bina Marga Kementerian PU yang menangangi jalan mencapai Rp34,57 triliun dari total Rp 69,15 triliun. Bahkan Kementerian PU meminta tambahan anggaran lagi, Rp20,39 triliun.

Kontan ini jadi soal sehingga Ditjen Perkeretaapian belum bisa berbuat banyak lantaran anggaran dari APBN juga ‘disunat’ dengan eselon satu lain. Terbesar untuk Ditjen Perhubungan Laut sebesar Rp9,74 triliun.

Kedua, tingkat efisiensi. Dalam buku Investing in ASEAN 2011—2012 yang diterbitkan oleh Allurentis Limited tahun ini, disebutkan negara-negara di Asia Tenggara juga mulai mengamini tingkat efisiensi kereta itu.

Hal itu nampak dari upaya sejumlah negara merehabilitasi dan memodernisasi jalur kereta apinya terutama lintas perbatasan karena selama beberapa dekade, belum ada perhatian untuk kereta.

Ambil contoh di Kamboja yang terhitung jauh dari sisi ekonomi dengan Indonesia. Mereka bahkan sudah merehabilitasi 117 km rel kereta pada 2010 dan tahun lalu jalur kereta 254 km dari Phnom Penh—Pelabuhan Sihanoukville rampung. Proyek itu dibantu Asian Development Bank.

Pada tahun depan Kamboja juga menargetkan jalur kereta 388 km di utara dari Phnom Penh, Poipet, dan Aranyaprathet di Thailand selesai.

Kereta sejak dahulu diakui lebih lebih efisien, murah, ramah polusi udara dibandingkan dengan jalan raya tetapi sepertinya pandangan itu baru—baru ini disadari oleh pemerintah. Padahal bisa jadi itu sudah dipikirkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda LAJ Baron Sloet van den Beele saat pertama kali membangun rel kereta Desa Kemijen—Tanggung sepanjang 26 km pada 17 Juni 1864.

Di jalan, banyak kendala mulai dari teknis hingga ke non teknis seperti pungli meski saat ini jumlah barang memang masih ebih banyak diangkut lewat laut, udara, dan jalan ketimbang kereta.

Rendahnya efisiensi angkutan melalui jalan darat itu yang membuat daya saing Indonesia lemah karena beban logistik mahal, imbasnya lagi—lagi masyarakat juga yang kena getahnya.

Tingginya beban logistik itu sebagaimana diungkapkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Biaya logistik di Indonesia ternyata yang tertinggi di Asean sebesar 25%--30% dari PDB padahal idealnya dengan kondisi geografis Indonesia, biaya logistik itu tidak melebihi 15% dari PDB.

Rel ganda ini bisa menjadi semacam awalan bagi pemerintah untuk memperkuat derajat konektivitas ekonomi nasional (intra dan inter wilayah) maupun konektivitas ekonomi internasional Indonesia dengan pasar dunia.

Hal itu karena konektivitas nasional merupakan pengintegrasian empat elemen kebijakan nasional; Sistem Logistik Nasional (Sislognas), Sistem Transportasi Nasional (Sistranas), Pengembangan Wilayah, dan Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Namun tentu bukan menjadi keharusan bagi SBY untuk memaksakan seluruh proyek MP3EI selesai karena memang pada 2011—2015, kegiatan MP3EI difokuskan dalam pembentukan dan operasionalisasi institusi pelaksana.

Artinya realisasi proyek MP3EI itu masih sebatas upaya untuk membuka sumbatan (debottlenecking) birokrasi, regulasi, perizinan, insentif, dukungan infrastruktur yang diperlukan, dan realisasi komitmen investasi.

Sisa fase berikutnya (2016—2020 dan 2021—2025) dalam MP3EI menjadi pekerjaan rumah bagi presiden selanjutnya setelah SBY—Boediono menanggalkan jabatannya.

Tapi hal lain perlu dicatat adalah mesti ada upaya untuk menggandeng pihak swasta karena sederet proyek besar itu tentu membutuhkan dana besar.APBN bukan hanya untuk rel ganda, tetapi banyak juga prioritas di kementerian lain.

Lagipula program dalam MP3EI juga tak bisa menegasikan begitu saja problem sosial yang mesti ditanggung pemerintah, mulai dari sengketa lahan dengan masyarakat sampai dengan kewajiban membina sumber daya manusia dalam mempersiapkan persaingan global.

Namun dengan dipercepatnya rel ganda itu setidaknya sebelum masa kepemimpinan SBY—Boediono berakhir 2 tahun lagi, mereka bisa meresmikan salah satu masterpiece itu kepada rakyat, yah hitung—hitung kompensasi atas ketidakkonsistennya terhadap komitmennya sendiri dalam memberantas korupsi. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Terbit di Harian Bisnis Indonesia, Senin, 15 Oktober 2012
Words: 1.133

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu