Senin, 10 Juni 2013

Warteg

PARDI, sebut saja begitu namanya. Saya juga lupa menanyakan namanya lengkapnya. Dia tukang becak, baru kenal beberapa jam karena mengantar kami; saya dan Firda ke Terminal Tegal dari kediaman kawan. Usianya barangkali 50 tahun yah.

Sebetulnya tak tega juga rasanya menyuruh kakek tua ujur itu mengayuh becak membawa beban kami berdua sekitar 100 kg itu menuju Terminal Tegal dari Desa Sidakaton, tapi tak ada transportasi lain selain becak.

Tak mungkin juga saya turun gantian dengan Pak Pardi dan mengayuh becak dengan penumpangnya Firda dan bapak tua itu. Apa kata dunia...

Nah...cerita saya bukan soal Pardi yang punya tiga istri, pernah kerja di Jakarta, dan cukup tahu nama-nama pejabat di Indonesia ini. Saya hanya mau sharing soal bagaimana cerita Pardi ketika kami melewati rumah-rumah mentereng di desa itu sambil cas cis cus dalam perjalanan malam itu. Nama desanya Sidakaton, Tegal, Jawa Tengah.

“Yang itu Mas, rumah petani, kalau yang itu (menunjuk rumah bercat putih, tingkat dua, dan megah) usaha warteg, sukses dia,” kata Pardi sambil gowes.

“Wah hebat ya Pak?” kata saya.
"Iyah, kalau petani rumahnya biasa-biasa saja".
"Kalau yang itu warteg juga Pak?" tanya saya.
"Lah iya, rata-rata di sini mah warteg, sukses di Jakarta."

Rumah yang ditunjuk Pardi besar menurut kami. Yah, hampir sama dengan rumah rumah yang ada di Pondok Indah.

Kami hanya geleng-geleng di dalam becak. Hebat, meski warteg atau warung tegal di Jakarta itu masih dipandang makanan kelas bawah menengah dari tukang becak, montir bengkel, hingga pekerja biasa lainnya--termasuk mahasiswa kere, ternyata penghasilan dari usaha makanan itu mampu membuat sang empunya usaha membangun istana lokal di kampung.

Awalnya kami fikir, rumah-rumah besar di desa itu lantaran pemiliknya TKI di Arab atau negara Asia lain seperti di sejumlah daerah misalnya Sukabumi dan Indramayu.

Kami meleset. Dari Pardilah kami baru sadar terlalu banyak stigma yang melekat pada warteg. Stigma itu membunuh pikiran kami bahwa dari usaha itu, berapa banyak ayah yang mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi, berapa banyak orang tua naik haji, betapa besarnya status sosial di Tegal dalam usaha warteg ini. Hebat sekali usaha ini.

Warti, seorang karib yang kami kunjungi di hari bahagianya itu di Desa Sidakaton, Dukuhturi, Tegal, mengakui satu kata yang melekat pada daerahnya itu ialah warteg, warung makan sederhana yang begitu terkenal sejak tahun 60-70-an di Jakarta.

Satu keunikan bisnis ini, katanya, ada periodesasi pertukaran tempat antara tiap pengelola warteg, katanya sih biar semua kebagian. Warti juga pengusaha warteg. Beberapa kali saya makan gratis di warungnya.

Saya pernah dengar anekdot soal warteg, konon ide brilian teknologi touch screen yang diterapkan mendiang Steve Jobs itu terinspirasi ketika dia ke Jakarta, melihat ada warteg ramai sekali. Apa yang dipesan konsumen hanya dengan menujukan jarinya ke arah makanan di etalasi langsung ada di piring. Yah namanya juga konon kabarnya, tentu derajat sahih-nya cuma 0,01%.

Jujur, sampai sekarang saya juga masih menjadi pelanggan setia warteg samping kantor kalau lagi kepepet tengah bulan. Awal bulan gajian masih gaya makan di warung padang, tengah bulan makan di warteg, akhir bulan yah terpaksa numpang makan di rumah mertua....

3 komentar:

Entri Populer

Penayangan bulan lalu