PARDI,
sebut saja begitu namanya. Saya juga lupa menanyakan namanya lengkapnya. Dia
tukang becak, baru kenal beberapa jam karena mengantar kami; saya dan Firda ke
Terminal Tegal dari kediaman kawan. Usianya barangkali 50 tahun yah.
Sebetulnya
tak tega juga rasanya menyuruh kakek tua ujur itu mengayuh becak membawa beban
kami berdua sekitar 100 kg itu menuju Terminal Tegal dari Desa Sidakaton, tapi
tak ada transportasi lain selain becak.
Tak
mungkin juga saya turun gantian dengan Pak Pardi dan mengayuh becak dengan
penumpangnya Firda dan bapak tua itu. Apa kata dunia...
Nah...cerita
saya bukan soal Pardi yang punya tiga istri, pernah kerja di Jakarta, dan cukup
tahu nama-nama pejabat di Indonesia ini. Saya hanya mau sharing soal bagaimana
cerita Pardi ketika kami melewati rumah-rumah mentereng di desa itu sambil cas
cis cus dalam perjalanan malam itu. Nama desanya Sidakaton, Tegal, Jawa Tengah.
“Yang
itu Mas, rumah petani, kalau yang itu (menunjuk rumah bercat putih, tingkat
dua, dan megah) usaha warteg, sukses dia,” kata Pardi sambil gowes.
“Wah
hebat ya Pak?” kata saya.
"Iyah,
kalau petani rumahnya biasa-biasa saja".
"Kalau
yang itu warteg juga Pak?" tanya saya.
"Lah
iya, rata-rata di sini mah warteg, sukses di Jakarta."
Rumah
yang ditunjuk Pardi besar menurut kami. Yah, hampir sama dengan rumah rumah
yang ada di Pondok Indah.
Kami
hanya geleng-geleng di dalam becak. Hebat, meski warteg atau warung tegal di
Jakarta itu masih dipandang makanan kelas bawah menengah dari tukang becak,
montir bengkel, hingga pekerja biasa lainnya--termasuk mahasiswa kere, ternyata
penghasilan dari usaha makanan itu mampu membuat sang empunya usaha membangun
istana lokal di kampung.
Awalnya
kami fikir, rumah-rumah besar di desa itu lantaran pemiliknya TKI di Arab atau
negara Asia lain seperti di sejumlah daerah misalnya Sukabumi dan Indramayu.
Kami
meleset. Dari Pardilah kami baru sadar terlalu banyak stigma yang melekat pada
warteg. Stigma itu membunuh pikiran kami bahwa dari usaha itu, berapa banyak
ayah yang mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi, berapa banyak
orang tua naik haji, betapa besarnya status sosial di Tegal dalam usaha warteg
ini. Hebat sekali usaha ini.
Warti,
seorang karib yang kami kunjungi di hari bahagianya itu di Desa Sidakaton,
Dukuhturi, Tegal, mengakui satu kata yang melekat pada daerahnya itu ialah
warteg, warung makan sederhana yang begitu terkenal sejak tahun 60-70-an di
Jakarta.
Satu
keunikan bisnis ini, katanya, ada periodesasi pertukaran tempat antara tiap
pengelola warteg, katanya sih biar semua kebagian. Warti juga pengusaha warteg.
Beberapa kali saya makan gratis di warungnya.
Saya
pernah dengar anekdot soal warteg, konon ide brilian teknologi touch screen
yang diterapkan mendiang Steve Jobs itu terinspirasi ketika dia ke Jakarta,
melihat ada warteg ramai sekali. Apa yang dipesan konsumen hanya dengan menujukan
jarinya ke arah makanan di etalasi langsung ada di piring. Yah namanya juga konon
kabarnya, tentu derajat sahih-nya cuma 0,01%.
Jujur,
sampai sekarang saya juga masih menjadi pelanggan setia warteg samping kantor
kalau lagi kepepet tengah bulan. Awal bulan gajian masih gaya makan di warung
padang, tengah bulan makan di warteg, akhir bulan yah terpaksa numpang makan di
rumah mertua....
Itu dongeng Steve Jobsnya keren banget ahahahaha!!
BalasHapushehehe itu rumor lebay yah hehehe
BalasHapusWartegmu itu pasti isinya klo ga Usus yaa Kerang.. :D
BalasHapus