|
Hironori Goto (kanan), Agung Pambudi , dan Dai Oshiro (kiri), photo by Agung |
Seorang mahasiswa
Indonesia di Jepang menciptakan aplikasi ponsel yang membantu masyarakat
memburu produk, kosmetik, dan obat-obatan halal.
Oleh M. Tahir Saleh
AKHIR-AKHIR ini kesibukan
Agung Pambudi cukup padat. Selain mempersiapkan ujian tertutup doktoral di
Kyushu University yang bakal dihadapinya pada akhir Mei, dia juga mesti
memenuhi janji wawancara dengan sejumlah media lokal di Jepang. Belum lagi
interviu dengan beberapa investor yang kesengsem dengan aplikasi
buatannya.
“Maaf ya sebelumnya, kesibukan bulan ini luar biasa. Ditambah lagi,
baru saja istri saya melahirkan anak kami yang kedua,” katanya.
Nama Agung mulai masyhur
di Fukuoka, tempat Kyushu University berdiri. Lokasi kampus yang dibangun sejak
1903 dengan nama Fukuoka Medical College itu terletak di ibu kota Prefektur
Fukuoka, pesisir utara Pulau Kyushu, Jepang. Agung kelahiran 30 Desember 1981 dan
tercatat sebagai mahasiswa tingkat doktoral Departemen Rekayasa Sumber Daya
Bumi yang berhasil menciptakan HalalMinds, aplikasi untuk telepon seluler yang
membantu pengguna mengidentifikasi produk halal.
April lalu, Kyushu
Island Lab, tempat Agung menjadi CEO, mengumumkan secara resmi HalalMinds.
Agung sebetulnya bukan dari jurusan teknologi informasi, riset S3-nya bahkan
tentang ‘Energi dan Analisis Exergy dari Pembangkit Listrik Panas Bumi’. Tapi
berangkat dari kegelisahannya mengenai unsur sake dan daging babi yang ada di hampir
semua produk di Jepang, dia terdorong menciptakan
aplikasi halal. HalalMinds kini tersedia untuk sistem operasi Android sejak 3
April dan iOS iPhone sejak 28 April. Fitur utamanya adalah scanner barcode
yang bisa digunakan saat belanja di supermarket. Pengguna tinggal memindai barcode
produk, dan HalalMinds secara otomatis melacak database dari sekitar
500.000 item untuk menentukan apakah produk tersebut sarat bahan halal
atau tidak.
Aplikasi ini sangat
bermanfaat bagi mereka yang buta huruf Jepang, apalagi label makanan di sana
kerap memakai huruf kanji atau bahasa Jepang yang kompleks. Petunjuk bahan atau
kandungan zat di label lazimnya memakai kanji. Hampir semua orang asing tak
bisa membaca kanji. Bahasa Jepang dinilai agak mudah, tapi kanji sangat sulit
dipelajari. Kalaupun membaca kanji, butuh waktu lama untuk mengamati komposisi
makanan karena harus dibaca satu per satu.
Tak hanya produk halal,
sistem buatan Agung ini pun menawarkan informasi restoran halal, kompas kiblat,
dan ayat-ayat Al-Qur’an. Kendati baru tersedia dalam bahasa Inggris, hingga
bulan lalu sudah lebih dari 1.100 pengguna yang mengunduh aplikasi tersebut
sejak diluncurkan. Layanan ini akan membantu mahasiswa atau masyarakat muslim
secara umum yang tinggal di Jepang—bahkan negara lain—untuk mencari produk
halal sesuai dengan aturan Islam. Dari data yang dihimpun HalalMinds, kini
tersebar 150.000 muslim di Jepang dan lebih dari 1 juta muslim menjadi turis di
Negeri Sakura. Pengunjung muslim datang dari Malaysia, Indonesia, dan Timur
Tengah.
Selain di Jepang,
HalalMinds juga bakal dikembangkan hingga ke negara lain, yakni Korea Selatan,
Taiwan, dan China. Jumlah penduduk muslim di tiga negara tersebut pun cukup
besar. Di Korea Selatan misalnya tercatat sekitar 150.000 muslim dan 1 juta
pengunjung muslim.
Berdasarkan riset berjudul
‘The Pew Research Center’s Religion & Public Life Project’ dari
lembaga yang berbasis di Washington, Pew Research Center, terdapat 1,57 miliar
muslim di dunia, mewakili 23% dari estimasi populasi dunia 6,8 miliar pada
2009. Paling banyak populasi muslim tersebar di Indonesia sekitar 202 juta dan
Pakistan 174 juta. Adapun data lembaga riset global, Ernst & Young yang
dikutip HalalMinds, mencatat populasi muslim di dunia saat ini menembus 1,8
miliar atau 23% dari populasi dunia. Jumlahnya diperkirakan naik hingga lebih
dari 2 miliar pada 2030 atau 26,4% dari penduduk global.
Potensi pertumbuhan
penduduk muslim menjadi peluang bagi produk-produk halal di seluruh dunia. Lembaga
riset Thomson Reuters menyebutkan industri halal kini bernilai US$1 triliun, 20%
dari total pasar halal di dunia untuk makanan. Pada 2030, nilai ekonomi pasar
halal ditaksir menggelembung hingga US$10 triliun seiring dengan peningkatan
PDB dari populasi umat Islam dunia.
“Dengan potensi itu, saya yakin HalalMinds
akan berkembang,” kata Agung melalui
surat elektronik, pekan lalu. “Sebagai seorang muslim, makanan halal itu
keniscayaan, tapi sulit sekali menemukan produk halal di Jepang sejak
bahan-bahan seperti babi dan alkohol begitu eksis di sini, padahal keduanya
haram bagi muslim.” Keharaman itu bukan sebatas produk, tapi tata cara
penyembelihan. “Daging yang disembelih dengan menggunakan cara-cara non-islami
juga masuk kategori bukan makanan halal.”
**
AGUNG LAHIR
DI BREBES,
Jawa Tengah, kota yang kondang sebagai sentra produksi bawang dan telur asin. Dia
anak kedua dari tiga bersaudara, putra pasangan guru SMP. Tak heran dengan
latar belakang keluarga pendidik, kemauan menuntut ilmu ke jenjang lebih tinggi
sudah terpatri sejak dini. Adiknya guru, sedangkan sang kakak lebih memilih
berkarier di perpustakaan Universitas Diponegoro, Semarang.
Lulus SMA, Agung
meneruskan sekolah ke Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Kampus ini sebelum era 2000 masih bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(IKIP) Negeri Semarang. Semasa kuliah, dia dikenal pendiam, tapi punya ide-ide
brilian. Dia juga termasuk jajaran mahasiswa yang selalu jadi langganan mitra
riset beberapa dosen. “Orangnya cerdas, cenderung religius, peduli dengan
lingkungan. Tapi dia pendiam,” kata Wirawan
Sumbodo, dosen Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Unnes.
Wirawan mengajar
sedikitnya tiga mata kuliah antara lain sistem kontrol, pneumatik dan hidrolik,
dan computer numerical control (CNC). Pada 1993-1995, Wirawan pernah dikirim
untuk belajar ke Landesinstitut fur Berufsausbildung, Jerman dan sempat menjadi
asisten dosen selama setahun di Landesinstitut fur Qualifizierung (LFQ) pada
2002. Ketika mengajar di Unnes, dari semua mahasiswa, Agung punya keunggulan
tersendiri. “Dosen punya kewajiban riset, dia [Agung] sering menjadi pilihan
dosen, termasuk saya, untuk membantu riset,” katanya.
Sejumlah tulisan di
jurnal internasional juga melibatkan Agung, misalnya artikel yang dimuat di International
Journal of Engineering and Industries pada Juni 2011. Judulnya ‘The Making Workpieces Using Autocad Software
Base Siemens Sinumerik 802c Base Line Frais Machine’. Selain mendukung tim
riset, Agung juga menjadi penulis bersama Wirawan untuk buku pelajaran SMK.
Salah satu buku mereka masuk Buku Sekolah Elektronik bertemakan Teknik
Produksi Mesin Industri.
“Dia penuh inovasi sejak
mahasiswa. Skripsinya soal sistem kontrol pada Forklife berbasis elektrik.
Beberapa penelitian sudah menunjukkan bahwa dia senang bidang TI, jadi wajar
bila dia bisa menciptakan aplikasi halal untuk umat Islam di Jepang.”
Dari Unnes, Agung berangkat
ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah magister di Universitas Gadjah Mada dan
lulus pada 2008. Konsentrasinya masih bidang teknik mesin. “Tesisnya kebetulan
ikut saya bimbing. Dia rajin, serius, dan pekerja keras. Dia juga enggak
males-malesan, cita-citanya tinggi,” kata Prof. Harwin Saptoadi, Guru Besar Fakultas Teknik UGM, pekan lalu.
Masih pada tahun yang sama, dia melepas masa lajang dengan mempersunting Linda.
Kini mereka dikarunai dua anak. “Putri saya baru saja lahir 21 April lalu di
Fukuoka Hospital. Anak kami Reyhan Muhammad dan Keiko Zhafira,” kata Agung.
Usai meraih gelar
magister, Agung menggelar riset di Taiwan atas beasiswa kampus dan pemerintah
Taiwan. Ini pertama kalinya dia ke luar negeri dan merasakan sulitnya mencari
produk halal. Ditambah lagi, bahasa dan karakter kanji China begitu
memusingkan.
Setelah itu, Agung
meraih penghargaan sebagai peneliti muda dari pemerintah Finlandia. Dia bekerja
sebagai periset di Helsinki Technology University yang kini bernama Aalto
University—gabungan tiga universitas. Suasana aman dan relasi yang luas
membuatnya betah. “Saya suka traveling. Bahkan saya pernah menginap di
sebuah desa dengan petani di sana yang sampai saat ini masih kontak. Tapi,
tetap saja makanan halal sulit ditemukan karena memang Islam merupakan
minoritas.”
Agung kemudian melanjutkan
kuliah doktoral di Korea Selatan. Tak lama kemudian dia berhenti lantaran sulit
membawa keluarga. Tapi dasar mahasiswa pintar, dia malah dapat dua beasiswa
sekaligus: beasiswa Monbusho ke Jepang dan bekerja di Finlandia sebagai
peneliti plus dikuliahkan S3. Di Finlandia, mahasiswa S3 bukan lagi seorang
mahasiswa, tapi pekerja yang digaji sesuai standar. Sempat galau, akhirnya Agung
memilih Finlandia karena sudah akrab dengan karakteristiknya. Lagi pula, dia
trauma ke Jepang. Baginya tipikal masyarakat Jepang dan Korea sama: workaholic,
kasar, dan kurang bebas dalam riset.
Beasiswa ke Jepang
ditampiknya. Namun, profesor di Jepang menelepon agar Agung mempertimbangkannya
lagi. Dia luluh juga, tapi seminggu kemudian dia mengirimkan e-mail
pembatalan. Sang profesor tak patah arang, Agung ditelepon lagi.
“Karena tak enak, saya
melupakan Finlandia, negara yang bagi saya sangat damai dan tenang,” ceritanya.
“Saya berangkat ke Jepang dan menetap hingga saat ini. Apa yang saya rasakan
memang sangat bertolak belakang dengan apa yang saya pikirkan. Jepang tak sama
dengan Korea, negara ini sangat aman, bahkan jika dibandingkan dengan Finlandia
sekalipun,” katanya. Baginya, masyarakat Jepang sangat melayani, bersih, dan jujur.
“Saya enggak menyesal memilih Jepang sebagai negara saya bermukim untuk
studi.”
Pengalaman jalan-jalan
ke Thailand, Belanda, dan Amerika lalu tinggal di Taiwan, Korea, Finlandia, dan
akhirnya di Jepang, membuatnya stres mencari makanan halal—terutama snack
dan roti. Apalagi negara non-bahasa Inggris seperti Taiwan, Korea, dan Jepang
punya karakter huruf sendiri, Kanji, Hiragana, dan Katakana. Ketika jajan,
pembeli bakal kesulitan membaca komposisinya. Kalaupun bisa dibaca, akan
menyita banyak waktu. Dari sanalah ide membuat HalalMinds lahir.
**
SUATU HARI, di sebuah kota di
Jepang digelar Startup Weekend,
forum tempat kongko para wirausahawan bidang teknologi informasi (TI).
Pertemuan ini juga diselenggarakan di Amerika, Irlandia, Jepang, Filipina, dan
negara Asia lain. Secara global forum tersebut disponspori oleh Coca-Cola,
Google, dan Amazon Web Services. Dalam forum muda-mudi itulah Agung dikenalkan
dengan Dai Oshiro, Chief Executive Officer Whatz.jp, komunitas pendatang
dan masyarakat lokal di Jepang.
Dai Oshiro juga satu
almamater dengan Agung di Kyushu—tapi dari Departemen Ekonomi—keduanya pun menjadi
akrab. Agung kemudian menceritakan ide membuat aplikasi halal yang akhirnya dikembangkan
bersama hingga saat ini. Dari pertemuan intens dan kesamaan visi itu,
HalalMinds terbentuk melalui bendera Kyushu Lab. “Saya yakin upayanya membuat
aplikasi ini menjadi langkah besar bagi masyarakat muslim,” kata Dai Oshiro melalui e-mail.
“Agung pribadi yang baik, saya respek terhadapnya.” HalalMinds bisa diklaim
menjadi aplikasi pertama di Jepang bagi masyarakat muslim. “Pengguna bisa
dengan mudah melihat makanan halal, bisa juga tahu arah restoran halal, arah
kiblat salat. Aplikasi ini sangat berguna bagi masyarakat muslim,” kata Dai.
Berdirinya HalalMinds tak
pernah disangka karena begitu cepat terealisasi. Sejak lama Agung bercita-cita
ingin mendirikan perusahaan rintisan (startup) internasional, tapi buta
dari mana awalnya.
“Ayah ibu saya hanya
seorang pendidik. Saya sendiri tidak ada relasi ke sana, yang ada hanyalah
impian. Tapi tahun terakhir saya ikut Startup
Weekend, dari sana saya banyak bertemu dengan teman-teman dari Jepang
yang memiliki mimpi sama,” cerita Agung. Dia kadang harus pintar-pintar mencuri
waktu. Biasanya malam hari selesai dari lab, Agung mengembangkan HalalMinds.
“Karena di tim ini sayalah yang muslim, kadang tidak ada diskusi tentang ini
dengan anggota lain. Mangkanya saya perlu teman lain yang bisa
mewujudkan ide-ide saya.”
Agung pun menemukan visi
yang sama dalam diri Hironori Goto, kini Business Executive HalalMinds. Awalnya
Hironori bekerja di Panasonic Communication Co. Ltd. (kini bernama Panasonic
System Networks Co. Ltd.) pada 1988-2009. Lebih dari 20 tahun ia bertanggung jawab
dalam pengembangan desain, rencana produk untuk perangkat keras, lunak, servis
jaringan, dan proyek bisnis baru. Pada 2009-2010 dia berkarier di bidang
pengembangan TI dan komunikasi sebagai Advanced Demonstration Project Leader
Fukuoka IST, Industry, Science & Technology Foundation. Setelah itu ia
mendirikan H&S Inc. dan menjadi CEO perusahaan yang bergerak pada ekspor-impor
produk TI.
Hironori kepincut melihat
visi brilian dari pemuda Brebes itu. Beberapa tahun terakhir, banyak pengunjung
muslim, termasuk dari Asia Tenggara, yang menyambangi Jepang, didorong ekspansi
pesawat bertarif murah, kemudahan visa, dan depresiasi yen.
“Enaknya traveling
ialah ketika Anda menikmati makanan lezat dan mengeksplorasi budaya baru. Tapi informasi
halal di sini sangat kurang,” tutur Hironori.
Tak ada informasi cukup terutama soal makanan bagi muslim, ditambah di Jepang
ada budaya layanan Omotemashi—keramahan:
konsumen adalah tuhan, bukan sekadar raja. Sebab itu kehadiran HalalMinds bisa
mengubah kondisi dewasa ini di Jepang.
“Pergerakan masyarakat
dan barang itu menjangkau seluruh dunia. Saya percaya aplikasi ini membuat
muslim bergerak bebas, tanpa khawatir soal halal atau haram,” katanya.
Pengalaman susahnya mencari produk halal mendorong Agung membuat database
yang saat ini jumlahnya hampir 500.000 item. Jumlahnya bakal terus ditambah
karena masih ada sekitar setengah juta produk lagi yang harus dijaring.
Pada HalalMinds, terdapat
dua teknologi untuk mencari produk halal. Pertama, menggunakan database.
Makanan halal, haram, dan syubhat (samar, abu-abu antara haram dan
halal) dikelompokkan dengan melihat bahan atau ingredient secara manual
satu per satu. Bila ada beberapa substansi yang dilarang, misalnya daging babi
dan turunannya, sake, mirin (bumbu dapur beralkohol), dan semua derivative
lain termasuk emulsifier dari binatang, makanan itu tidak dibeli.
Database juga didukung feature
user generate content, artinya pengguna bisa mengisi database
sendiri atas informasi yang ditemukan dan tim HalalMinds akan memvalidasi.
Kendalanya, mereka harus selalu mencari produk-produk untuk dimasukkan dalam database.
Juga merepotkan saat aplikasi itu diperluas ke negara lain seperti Korea,
Taiwan, dan China—tiga negara yang tengah mereka bidik.
Kedua, semacam mesin pencari
halal. Saat pengguna memasukkan barcode satu produk, web engine
akan mencari ke situs-situs yang menyediakan informasi tersebut—ini seperti
algoritma Google untuk pencarian makanan lintas negara yang tidak terbatas di
negara tertentu seperti Jepang, Korea, atau Taiwan. “Teknologi kedua ini belum
dirilils. Kami masih harus mengembangkannya lagi,” kata Agung.
HalalMinds membantu menginformasikan
bahan dari sebuah produk, menerjemahkan informasi ke bahasa Inggris, memberi
saran apakah produk itu halal, haram, atau syubhat. Meski ada lembaga
sertifikasi halal yakni Islamic Center Japan-Halal Committee, produk dengan
sertifikat halal di sana sangat jarang, barang kali hanya ada ratusan dari
jutaan produk. Kondisi itu membuat mereka menyeleksi kehalalan berdasarkan bahan
material yang dikandung, bukan proses.
“Sangat mustahil umat
Islam hanya mengonsumsi produk yang cuma memiliki sertifikat. Beras pun di sini
tak ada sertifikat,” tuturnya. Agung lalu menggunakan logic code yang sangat ketat untuk menyeleksi bahan. Contoh,
material emulsifier—zat yang menstabilkan emulsi—dimasukkan dalam
kategori syubhat. Emulsifier biasanya dari binatang haram dan
dari tumbuhan halal. “Seleksi aplikasi ini ketat. Misalnya glycerin dan amino
acid, walau rata-rata terbuat dari tumbuhan, kami masukkan ke dalam
kategori syubhat.”
Nah, penggunalah yang
menentukan sendiri sesuai dengan keyakinan. “Makanan halal, yaitu makanan yang
tidak mengandung daging, entah daging ayam, sapi, apalagi daging babi. Meski
satu produk menggunakan daging ayam, kami memasukan dalam kategori haram,
karena kami meyakini proses penyembelihan di Jepang meragukan.”
Saya kemudian mencoba
mengunduh aplikasi HalalMinds melalui Play Store di ponsel berbasis Android
4.1.2. Untuk Android bisa berjalan dengan baik, tapi karena sedikit gangguan
jaringan internet, setelah masuk dalam shortcut menu ponsel, aplikasi
belum bisa diakses dengan iPhone 5. Beberapa pengguna yang berhasil men-download
HalalMinds memberi komentar cukup beragam—rata-rata lima bintang. “Sangat
berguna, terima kasih,” komentar Daviand Corleone. “Ahamdulillah,
Jazakumullah khoir [semoga Allah membalas dengan kebaikan],” kata Eka Fransisca. “Enggak berhasil nih
di Lenovo A512 saya, mungkin terlalu berat,” kata Linda Azhar di daftar komentar Play Store, akhir Mei lalu.
Hingga saat ini Agung, Dai,
dan Hinori sudah mengeluarkan bujet sekitar US$2.000 dari kocek pribadi. Mereka
tengah bernegosiasi dengan beberapa investor. “Kami sangat senang apabila ada
pengusaha Indonesia yang mau bergabung dengan proyek ini,” harap Agung.
Sayangnya belum ada
perlindungan hukum untuk HalalMinds. “Setelah ada investor masuk, kami akan
segera mengurus itu.” Dukungan kampus cukup penuh terhadap ketiganya. Manajer
bisnis Program MBA di kampus tersebut selalu membantu koneksi sejumlah
investor. “Beberapa konsultan halal di Kyoto juga banyak yang menghubungi saya
terkait dengan makanan halal karena mereka melihat dari segi prospek bisnis.”
Setelah berbicara dengan
pemerintah Fukuoka, akhir Mei mereka temu muka dengan pemerintah kota Kumamoto.
Hanya saja, entah karena ‘tersumbatnya’ informasi, keberhasilan Agung belum
mendapat respons dari negeri asalnya. “Proyek tentang halal [memang] belum
terlalu fokus di negara mayoritas, tapi di negara berpopulasi muslim minoritas,
produk halal menjadi perhatian besar.”
Betul bahwa proyek ini
brilian, tapi HalalMinds belum bisa dikatakan sempurna. Itu sebabnya, selain
pengembangan “Mesin Pencari Halal”, mereka tengah mengembangkan Halal Tourism
Project untuk membantu mengetahui tingkat kehalalan suatu daerah berdasarkan
peringkat bintang. Beberapa parameter di antaranya: apakah hotel menyediakan
makanan halal, menyediakan Al-Quran di setiap kamar, arah kiblat, bagaimana
lokasi hotel dari masjid berdasarkan jarak, lokasi hotel dari lokasi restoran
halal, dan apakah di sekitar kota lokasi hotel ada organisasi Islam yang bisa
dihubungi.
Parameter lain, adakah
masjid di sekitar hotel dan berapa kilo jaraknya. “Jadi hotel yang memiliki rating
baik bukan dari segi bangun, fasilitas, atau harga, tapi hotel yang baik secara
islami. Kami menyebutnya halal tourism.”
Dalam jangka pendek,
Agung dan dua mitranya akan menggandeng convenient store di sana. Target
berikutnya bermitra dengan agensi halal tourism dan pasar halal di dunia
seperti Amazon atau Alibaba.
Tak hanya itu,
HalalMinds kini mereka mengembangkan database produk kosmetik dan
obat-obatan. Bidang ini lebih susah dikategorikan karena bahannya banyak
memakai istilah kedokteran, orang awam yang paham Kanji pun belum tentu bisa
menentukan kandungan obat atau kosmetik itu halal atau tidak. “Mudah-mudahan
bulan depan sudah bisa dipublikasikan untuk obat dan kosmetik. Ini penting,
misalnya sabun masuk dalam kategori ini. Apabila sabun kita mengandung material
nonhalal, misal minyak babi, dan menempel pada kulit kita, ini menjadi najis
dan tidak boleh dipergunakan untuk beribadah.”
Abimanyu
Wahyu,
pengamat independen bidang teknologi informasi (TI), menilai aplikasi tersebut sejajar
dengan buatan orang asing lain karena peralatan yang dipakai sama. Beda dengan
teknologi hardware seperti komputer, mobil dan pesawat, harus diakui buatan
Indonesia belum sejajar.
“Saya jamin 1000%,
produk software buatan kita, termasuk HalalMinds yang dibuat saudara
Agung bagus,” kata Abimanyu. Aplikasi buatan luar negeri pun tidak seluruhnya
bagus karena secara kualitas beberapa masih rendah. Secara umum, aplikasi
buatan orang Indonesia bisa diadu. “Ciptaan Amerika, Jerman, ada juga yang
jelek. Di Indonesia banyak program bagus, misalnya tiruan Facebook, Instagram,
ada lho. Tapi, saya enggak mau nyebut merek karena ada
beberapa yang mengajukan kepada saya untuk dinilai,” kata mantan dosen TI di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Namun, baginya tetap
saja masih ada kendala. Makin lengkap produk dalam database, maka makin luas
cakupan produk halal. “Makanan yang dibilang halal oleh program pasti halal
karena ada di dalam database; tapi yang dideteksi tidak halal, belum
tentu itu tidak halal karena bisa jadi Agung belum sempat merekam makanan dalam
sistemnya. Misalnya ada 100 kaleng, ternyata di pasar terdapat 150 kaleng.”
Selain itu, akurasi membaca
data dan kualitas ponsel pun penting karena setiap kemasan makanan barcode-nya
berbeda: bulat, horizontal, vertikal, atau melingkar. “Ada kemungkinan barang
halal dianggap haram karena tidak terbaca barcode, padahal ada di database.
Banyak merek ponsel abal-abal sehingga pemindaian tidak terdeteksi.”
Meski patut diapresiasi,
Abimanyu menegaskan bahwa produk dalam database mestinya whitelist—kumpulan
produk halal—bukan blacklist atau barang haram. Alasannya, jika yang
didata adalah blacklist, bisa berbahaya. Karena nanti makanan yang aslinya
haram dan masuk database tapi tidak terdeteksi, maka makanan tersebut
bisa dikonsumsi karena si pembeli menganggapnya halal.
“Informasi halal atau
haram perlu juga ada gambar binatang yang muncul. Gambar lebih mudah dikenali,
terutama bagi yang tidak memahami bahasa setempat atau tidak bisa berbahasa
Inggris,” tambah Wirawan Sumbodo, dosen Agung di Unnes.
Majelis Ulama Indonesia
(MUI) juga mengapresiasi temuan ilmiah Agung. Lembaga ini hanya mempertanyakan
dari mana sumber referensi yang mengklaim suatu produk masuk kategori halal.
“Ide dasarnya dengan aplikasi yang bisa diunduh di Play Store itu luar biasa.
Kami apresiasi,” kata Aminuddin,
Anggota Komisi Fatma MUI yang mengurusi sertifikasi halal. Namun dosen Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta ini menegaskan kategori halal atau tidak
mesti dikeluarkan oleh otoritas halal negara setempat.
“Mengategorikan halal tak bisa hanya melihat
bahan-bahan produk karena dalam beberapa kasus, misalnya ada permen marshmellow
yang kenyal pasti menggunakan jelatin yang bersumber dari kulit, bisa kulit
hewan mana saja. Artinya tak bisa hanya lihat,” jelasnya. “Sebab itu bila hanya
berdasarkan ingredient, dikhawatirkan bisa keliru,” katanya.
Di Jepang sudah ada
lembaga sertifikasi halal, yakni Islamic Center Japan-Halal Committee dan sudah
masuk dalam anggota World Halal Council. Setiap negara pun memiliki lembaga
sertifikasi halal seperi China Islamic Association di China kendati di negara
lain belum, misalnya Vietnam dan Thailand. MUI pun bekerja sama dengan
organisasi ulama di negara lain yang juga memiliki lembaga sertifikasi halal.
Kerja sama itu penting guna mengatasi ketidaktahuan bahan baku impor dari negara
lain.
Proyek HalalMinds memang
baru dimulai dan Agung masih bermimpi menjadikannya besar, menjadi pemimpin di
industri halal. Pekerjaan rumahnya saat ini ialah terus mengisi database.
Agung punya banyak dukungan di sana apalagi kerukunan agama di sana cukup tinggi.
Walaupun minoritas, Jepang sangat menghargai Islam dengan mendirikan beberapa
masjid, termasuk di Fukuoka. “April lalu, tempat ibadah baru saja dibuka di
Bandara Fukuoka. Saat ini ada penggalangan dana untuk mendirikan masjid kedua
di kota ini,” tutur Agung.
Di sisi lain, dalam hal
pengembangan startup, negara ini pun sangat terbuka dengan dukungan
pemerintah dan swasta. Dukungan dana juga bisa dicari dari berbagai sumber, asalkan
kreatif. “Walaupun saya bukan orang Jepang, tapi bantuan tidak membeda-bedakan
dari mana kita berasal. Asal ada ide kreatif, mereka akan mendukung. Sayangnya,
bagi Agung, pemerintah Indonesia kurang melirik pasar halal dunia yang kini dipegang
oleh Malaysia sekitar 30%.
Keinginannya saat ini
mengoneksikan Indonesia-Jepang, dan dunia, dalam bidang industri halal. Jepang
sebagai trust business place, sedangkan Indonesia sebagai produsen dan
sertifikasi halal serta memegang pangsa pasar terbesar untuk industri halal.
“Memang mimpi yang sangat besar. Saya tidak melihat hasil yang ada, hanya usaha,
tetap jalan dan doa. Kalaupun tak mendapatkan profit besar, setidaknya saya
sudah berusaha untuk mewujudkan sesuatu untuk umat Islam.” □
Tulisan
ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin, 9 Juni 2014
Words:
3.404