Rabu, 07 Februari 2018

Apa Saja Buku-buku Pilihan Prof Sumitro Djojohadikusumo?

Prof. Sumitro, source: profilbos.com
Oleh Tahir Saleh

"Saya adalah korban dari apa yang pernah disebut Clifford Geertz dalam makalah pendeknya sebagai sindrom terlalu sibuk, sebab sibuk mengangkat status sosial." Begitu seorang Sumitro Djojohadikusumo memulai tulisannya soal betapa di tengah kesibukan yang begitu padat, ia masih bisa meluangkan waktu bercerita tentang pemikiran ekonominya. "Sebetulnya saya tak terlalu setuju dengan Geertz, tapi dalam hal ini dia benar," katanya.

Profesor Sumitro Djojohadikusumo, lahir di Kebumen, 29 Mei 1917. Semua ekonom Indonesia, apalagi alumnus Universitas Indonesia, tentu mengenal Profesor Sumitro, salah seorang arsitek utama kebijakan ekonomi Indonesia pasca-kemerdekaan. Tapi ekonom-ekonom muda ada juga yang belum sempat mendapat asupan ilmu dari Profesor Sumitro yang meninggal pada 9 Maret 2001 di usia 83 tahun ini.

Banyak muridnya berhasil menjadi menteri pada era Presiden Soeharto, sebut saja JB Sumarlin, Ali Wardhana, dan Widjojo Nitisastro. Sumitro ialah ayah dari mantan Danjen Kopassus dan pendiri Partai Gerindra, Prabowo Subianto; ayah mertua dari mantan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono; dan besan dari Soeharto.

Buku dan Buah Pemikiran
Dalam tulisannya untuk Profesor Thee Kian Wee, demi keperluan buku Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an, terbitan Kompas, Desember 2005, Prof. Sumitro bercerita sangat apik bagaimana proses tahapan berpikirnya bermula, apa saja asupan buku yang dia baca sehingga mampu menopang landasan pemikiran ekonominya.

Ketika Soekarno masuk penjara untuk kedua kalinya tahun 1935, lalu dibuang ke Flores, dan diasingkan ke Bengkulu, Sumitro muda baru lulus Hogere Burgerschool (HBS) atau Sekolah Menengah Atas Belanda. Ayah Sumitro seorang pegawai negeri golongan menengah atas, jadi Sumitro punya kesempatan belajar di sekolah Belanda. Tidak semua pribumi beruntung seperti dia. Ayahnya, Raden Mas Margono Djojohadikusumo, dikenal sebagai pendiri Bank Negara Indonesia tahun 1946.

Setelah lulus HBS, Sumitro masuk perguruan tinggi. Di zaman itu, belum ada namanya beasiswa seperti sekarang, hanya ada dana belajar. Tapi dana belajar itu bisa didapat dengan catatan siswa tersebut harus masuk tentara atau menjadi "Indolog" di Leiden. "Saya sama sekali tak ingin melakukan itu, sebab berarti saya nanti bekerja untuk Belanda," ceritanya.

Itu sebabnya, sang ayah, dengan pengorbanan yang besar, mengirim Sumitro ke Rotterdam, Belanda, untuk belajar di Sekolah Ilmu Ekonomi. Tahun 1935, itu berati umurnya baru 18 tahun, sebelia itu sudah menempuh ilmu ekonomi di Belanda. Benar-benar inspiratif.

Awalnya Sumitro tidak tertarik pada ekonomi. Dia justru lebih suka filsafat dan sastra. "Sekiranya saya tahu ada (jurusan) Ilmu Politik, Filsafat, dan Ilmu Ekonomi di Oxford University, saya kira saya akan mencoba mempelajarinya," katanya.

Kenapa Sumitro suka sastra dan filsafat?

Salah seorang penulis yang berpengaruh menggiring minatnya ke ranah sastra ialah Andre Malraux, penulis Perancis yang pernah menjadi Menteri Kebudayaan Prancis tahun 1958. Dua karya yang menjadi favorit Sumitro adalah roman berjudul Les Conquerants yang mengambil latar di Timur jauh tahun 1928 dan roman La Condition Humaine (terbitan tahun 1933) yang hampir merupakan karya klasik dan berlatar belakang Perang Saudara Spanyol. Malraux sebenarnya beraliran sosialis dan komunis, jadi sejak belia Sumitro sudah menjejal dirinya dengan roman klasik beraliran sosialis dan komunis.

Ketika usia belasan ini, Sumitro sudah melahap buku autobiografi Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri pertama India, yang ditulis tahun 1936 ketika Nehru di penjara. "Semua karya itu menimbulkan kesan mendalam pada diri saya. Saya mencoba merenungkan, kenapa rakyat saya tertindas, dan apa yang dapat dilakukan untuk itu."

Khusus filsafat, Sumitro membaca buku Henri-Louis Bergson, yang pernah mendapat nobel sastra tahun 1927. Buku yang dilahapnya ialah l'Evolution Creatrice atau Evolusi Kreatif yang ditulis tahun 1907. Zaman itu, penulis-penulis dari Perancis memang cukup masyhur.

Selain membaca pidato pembelaan Soekarno dan Hatta, Sumitro juga ikut arus zaman kala itu dengan membaca karya Nietzsche dan Machiavelli. Karya-karya Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, dan karya sastrawan Spanyol Ortega y Gasset. Dua nama yang pertama disebut, Freud dan Jung, adalah tokoh di bidang psikoanalisis yang begitu terkenal sampai sekarang. Semua karya-karya itu, memang tak ada hubungannya dengan analisis ekonomi tapi itulah awal mula bacaan sang begawan ekonomi ini.

Di sastra, pengaruh buku Malraux sangat besar. Gara-gara buku itu, Sumitro begitu prihatin dengan Perang Saudara di Spanyol. Bisa dibilang ketika itu Malraux adalah idola Sumitro. Sayangnya, ketika mendaftar menjadi sukarelawan di sana, dia ditolak karena belum cukup umur, jadi mesti ada surat izin dari orang tua. "Jadi saya cuma melintas perbatasan Spanyol, dan kemudian saya diusir dari sana. Tapi saya tetap aktif dan membantu mengumpulkan dana."

Lalu kenapa dia mulai jatuh cinta dengan ekonomi?

Menurut Sumitro, hanya ekonom yang bisa jadi 'jenderal' yang baik. Dengan ilmu ekonomi, seseorang bisa mengevaluasi suatu keadaan tanpa segera menjatuhkan penilaian baik atau buruk, baru kemudian mengambil keputusan. Dengan ekonomi, seseorang bisa menghimpun fakta-fakta tentang masalah dan kemudian melakukan analisis yang logis. Pada intinya, jika orang tidak memiliki cukup fakta, maka perlu ada penelitian untuk memperolehnya. Setelah itu baru melakukan analisis logis untuk memperoleh jawaban.

"Begitu banyak orang keliru menangani masalah, atau lebih buruk lagi, mereka sama sekali tidak mengidentifikasi masalah. Demikianlah saya menjadi ekonom untuk dapat menjawab berbagai soal."

Buku-buku yang menopang keilmuan ekonomi Sumitro yakni karya Karl Marx dan Joseph Schumpeter, juga karya David Ricardo (ekonom politik Inggris). Sumitro tidak membacanya dalam bahasa Inggris tapi karya asli Schumpeter yakni Theorie der wirtschaftlichen Entwicklung dalam bahasa Jerman, isinya soal konsep wiraswasta yang amat mempengaruhi Sumitro muda. Secara tak langsung pekerjaan ayah Sumitro di perdesaan Jawa di masa krisis tahun 1930-an juga mempengaruhinya.

"Kita tidak perlu bekerja, sebab orang lain bisa melakukannya untuk kita, kita tidak perlu memiliki uang, sebab kita bisa meminjamkannya. Satu-satunya yang perlu kita lakukan adalah melakukan pembaruan-pembaruan dan menanggung risiko. Jalan pemikian ini sangat mempengaruhi saya."

Buku lain dari Schumpeter ialah Capitalism, Socialism, and Democracy, juga buku Business Cycles. Buku lainnya adalah Risk, Uncertainty and Profit karya Frank Hyneman Knight.

Buku-buku di atas membuatnya makin memahami perbedaan antara risiko yang dapat diasuransikan dan risiko yang tidak dapat diasuransikan. Buku inilah yang melandasinya, membantu dia dalam perjuangannya melawan 'ekonomi biaya tinggi', akibat pemerintah yang menciptakan terlalu banyak ketikdapastian yang tidak dapat diasuannsikan oleh pengusaha. "Saya berutang budi pada Knight, walau dalam banyak hal saya tidak setuju doktrin-doktrin mazhab Chicago ini."

Frank Knight merupakan ekonom AS yang menghabiskan kariernya di University of Chicago, dia adalah guru dari tiga ekonom yang mendapat nobel ekonomi yakni Milton Friedman, George Stigler dan James M. Buchanan.

Pusing juga, bukunya berat semua........

Tapi ini tak berhenti di sini. Buku lainnya adalah dua jilid buku Principles of Economics karya Frank William Taussig, buku terbitan tahun 1911 dan edisi kedua dirilis tahun 1915. Saya tidak tahu apakah buku ini menjadi pedoman utama mata kuliah ekonomi di kampus-kampus Tanah Air atau tidak, tapi satu buku yang juga cukup banyak dipakai mahasiswa ekonomi untuk pengantar ekonomi makro dan mikro ialah Principles of Economics yang ditulis N. Gregory Mankiw. Baik buku milik Taussig maupun Mankiw ada di Perpustakaan Universitas Indonesia.

Buku lainnya yang disukai Sumitro ialah karya Alfred Marshall yang mengajarkan berfikir sistematis. Marshall terkenal sebagai bapak ekonom neo-klasik, yang menerapkan ilmu matematika dalam ekonomi karena latar belakang Alfred sejatinya ahli matematika.

Buku-buku tadi berat semua, apa tidak pusing Prof? Ternyata seorang Sumitro juga butuh waktu untuk memahami beberapa buku yang dinilai cukup berat dipahami.

"Saya harus membaca dengan susah payah Business Cycles, betul-betul mengangumkan. Saya juga susah payah membaca buku karya [John Maynard] Keynes, General Theory dan saya pura-pura memahaminya, sebab saya menduga kuat bahwa guru-guru saya pun tidak memahaminya."

Agak lama Sumitro memahami pemikiran Keynes. Dia sangat terbantu dengan tulisan Alvin Hansen (Business Cycles and National Income) dalam memahami dengan baik pemikiran ekonomi Keynes dan tafsir-tafsir post-keynesian. Mahzab Keynes didasari suatu fakta bahwa ekonomi makro sudah bertahun-tahun tidak tersentuh oleh ilmuwan. Bila tataran ekonomi makro tak terjamah, otomatis tataran mikro menurutnya makin kacau.

Dari beberapa ulasan para ekonom soal mazhab Keynes ini, satu contoh yang mudah dicerna yakni Keynes merekomendasikan agar perekonomian tidak diserahkan begitu saja ke mekanisme pasar. Peran pemerintah pada batas tertentu justru diperlukan. Misalnya, bila tingkat pengangguran tinggi, pemerintah bisa memperbesar pengeluaran untuk proyek-proyek padat karya, dan lainnya.

Dari semua buku yang dia baca, Sumitro sangat terkesan dengan buku Edward Hastings Chamberlin, ekonom AS yang dikenal dengan teori-teorinya tentang monopoli industri dan persaingan. Tahun 1937, pada usia 20 tahun, Sumitro membaca buku Chamberlin Theory of Monopolistic Competition. Banyak pemikiran Chamberlain ternyata sesuai dengan apa yang Sumitro alami, apa yang dia lihat di desa-desa dan kondisi Jakarta.

Selain itu, karya Vin Boehm-Bawerk dan Irving Fisher juga mengesankan bagi Sumitro, terutama Irving dalam buku Theory of Interest. Buku ini menjelaskan konsep bentuk waktu arus pendapatan yang membantunya memahami mengapa pedagang perantara China sering dipandang sebagai penyelamat produsen-produsen kecil.

Sumitro sebetulnya sangat marah dengan pernyataan orang Belanda bahwa tidak ada pengangguran. Justru dia menyadari bahwa pengangguran, pengangguran terselubung, kurangnya lapangan pekerjaan, pekerjaan bermutu rendah, sesungguhnya adalah masalah produktivitas dan pendapatan nyata. Keberpihakannya pada orang kecil ini tampak dari disertasinya berjudul Het Volkscredietween di de Depressie (Sistem Kredit Rakyat di Masa Krisis Ekonomi). Ini semacam pengejawantahan keprihatinannya pada dampak krisis ekonomi di perdesaan Jawa.

Ada satu penulis yang kurang dia sukai dari sisi karya, bukan pribadi. Dia adalah ekonom Belanda, Julius H. Boeke. Tulisan Boeke dan beberapa penulis sejenis menilai orang Indonesia atau ras Timur tidak pernah dapat memperbaiki keadaan karena dianggap memiliki nilai yang berbeda.

Sumitro pun membaca tulisan ekonom Marxist, Nikolai Dmitriyevich Kondratiev, dalam bahasa Jerman lalu dalam bahasa Inggris. Dampaknya terasa ketika tahun 1970-an ketika dia melakukan penelitian mengenai perspektif pertumbuhan jangka panjang Indonesia. Dari buku yang dia baca, timbul kesimpulan Sumitro bahwa daya dorong pertumbuhan jangka panjang suatu negeri adalah penduduk, teknologi, dan SDA, bukan perang atau revolusi.

Ada banyak nama ekonom yang tulisannya memengaruhi Sumitro, tapi secara umum yang cukup dominan adalah buku-buku tadi. Nama lain yakni Jan Tinbergen, ekonom Belanda penerima nobel ekonomi, ketika Sumitro berjumpa dengannya tahun 1938. Pada tahun itu, Tinbergen menjadi dosen muda Sekolah Ilmu Ekonomi Belanda. Ada pula Sir William Arthur Lewis, ekonom Saint Lucia, negara di Laut Karibia. Arthur Lewis bertemu dengan Sumitro tahun 1954. "Saya sangat terkesan oleh kecerdasannya."

Dari pemikiran para ekonom itulah, kepintaran ekonomi Sumitro terbentuk makin matang. Sumitro menjadi orang yang paling berperan membentuk ekonom-ekonom muda dari UI tahun 1966 yakni Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sadli, Subroto, dan Emil Salim---dikenal dengan istilah Mafia Berkeley. Para ekonom muda inilah yang menentukan kebijakan ekonomi di era Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Suharto.

Sejarah mencatat, kelangsungan kebijakan ekonomi Orde Baru runtuh ketika kendali pemerintahan kian otoriter dan represif. Dampaknya menurunkan disiplin keuangan, memicu banyak transaksi pemerintah yang tidak tercantum dalam anggaran resmi sehingga perekonomian mulai goyang. Ditambah lagi, kuatnya pengaruh para profesional non-ekonom (Prof. Habibie dan lainnya yang kebanyakan para insinyur) dengan proyek-proyek nasional besar di bidang teknologi membuat para teknokrat ekonom semakin redup.

Lalu pada akhirnya, kita tahu, krisis tahun 1997 menjadi peristiwa yang sampai sekarang menjadi pelajaran berharga bagi perekonomian nasional. Tapi di luar tuduhan atas Mafia Berkeley, Profesor Sumitro punya jasa besar terhadap negeri ini, terutama dalam membangun SDM di bidang ekonomi yang handal.


Words: 1.780
Dipublish di Kompasiana, 19 Juni 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu