Prof. Sumitro, source: profilbos.com |
Oleh Tahir Saleh
"Saya adalah korban dari apa yang pernah disebut
Clifford Geertz dalam makalah pendeknya sebagai sindrom terlalu sibuk, sebab
sibuk mengangkat status sosial." Begitu seorang Sumitro Djojohadikusumo
memulai tulisannya soal betapa di tengah kesibukan yang begitu padat, ia masih
bisa meluangkan waktu bercerita tentang pemikiran ekonominya. "Sebetulnya
saya tak terlalu setuju dengan Geertz, tapi dalam hal ini dia benar,"
katanya.
Profesor Sumitro Djojohadikusumo, lahir di Kebumen, 29 Mei
1917. Semua ekonom Indonesia, apalagi alumnus Universitas Indonesia, tentu
mengenal Profesor Sumitro, salah seorang arsitek utama kebijakan ekonomi
Indonesia pasca-kemerdekaan. Tapi ekonom-ekonom muda ada juga yang belum sempat
mendapat asupan ilmu dari Profesor Sumitro yang meninggal pada 9 Maret 2001 di
usia 83 tahun ini.
Banyak muridnya berhasil menjadi menteri pada era Presiden
Soeharto, sebut saja JB Sumarlin, Ali Wardhana, dan Widjojo Nitisastro. Sumitro
ialah ayah dari mantan Danjen Kopassus dan pendiri Partai Gerindra, Prabowo
Subianto; ayah mertua dari mantan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad
Djiwandono; dan besan dari Soeharto.
Buku dan Buah Pemikiran
Dalam tulisannya untuk Profesor Thee Kian Wee, demi
keperluan buku Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an,
terbitan Kompas, Desember 2005, Prof. Sumitro bercerita sangat apik bagaimana
proses tahapan berpikirnya bermula, apa saja asupan buku yang dia baca sehingga
mampu menopang landasan pemikiran ekonominya.
Ketika Soekarno masuk penjara untuk kedua kalinya tahun
1935, lalu dibuang ke Flores, dan diasingkan ke Bengkulu, Sumitro muda baru
lulus Hogere Burgerschool (HBS) atau Sekolah Menengah Atas Belanda. Ayah
Sumitro seorang pegawai negeri golongan menengah atas, jadi Sumitro punya
kesempatan belajar di sekolah Belanda. Tidak semua pribumi beruntung seperti
dia. Ayahnya, Raden Mas Margono Djojohadikusumo, dikenal sebagai pendiri Bank
Negara Indonesia tahun 1946.
Setelah lulus HBS, Sumitro masuk perguruan tinggi. Di zaman
itu, belum ada namanya beasiswa seperti sekarang, hanya ada dana belajar. Tapi
dana belajar itu bisa didapat dengan catatan siswa tersebut harus masuk tentara
atau menjadi "Indolog" di Leiden. "Saya sama sekali tak ingin
melakukan itu, sebab berarti saya nanti bekerja untuk Belanda," ceritanya.
Itu sebabnya, sang ayah, dengan pengorbanan yang besar,
mengirim Sumitro ke Rotterdam, Belanda, untuk belajar di Sekolah Ilmu Ekonomi.
Tahun 1935, itu berati umurnya baru 18 tahun, sebelia itu sudah menempuh ilmu
ekonomi di Belanda. Benar-benar inspiratif.
Awalnya Sumitro tidak tertarik pada ekonomi. Dia justru
lebih suka filsafat dan sastra. "Sekiranya saya tahu ada (jurusan) Ilmu
Politik, Filsafat, dan Ilmu Ekonomi di Oxford University, saya kira saya akan
mencoba mempelajarinya," katanya.
Kenapa Sumitro suka sastra dan filsafat?
Salah seorang penulis yang berpengaruh menggiring minatnya
ke ranah sastra ialah Andre Malraux, penulis Perancis yang pernah menjadi
Menteri Kebudayaan Prancis tahun 1958. Dua karya yang menjadi favorit Sumitro
adalah roman berjudul Les Conquerants yang mengambil latar di Timur jauh tahun
1928 dan roman La Condition Humaine (terbitan tahun 1933) yang hampir merupakan
karya klasik dan berlatar belakang Perang Saudara Spanyol. Malraux sebenarnya
beraliran sosialis dan komunis, jadi sejak belia Sumitro sudah menjejal dirinya
dengan roman klasik beraliran sosialis dan komunis.
Ketika usia belasan ini, Sumitro sudah melahap buku autobiografi
Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri pertama India, yang ditulis tahun 1936 ketika
Nehru di penjara. "Semua karya itu menimbulkan kesan mendalam pada diri
saya. Saya mencoba merenungkan, kenapa rakyat saya tertindas, dan apa yang
dapat dilakukan untuk itu."
Khusus filsafat, Sumitro membaca buku Henri-Louis Bergson,
yang pernah mendapat nobel sastra tahun 1927. Buku yang dilahapnya ialah
l'Evolution Creatrice atau Evolusi Kreatif yang ditulis tahun 1907. Zaman itu,
penulis-penulis dari Perancis memang cukup masyhur.
Selain membaca pidato pembelaan Soekarno dan Hatta, Sumitro
juga ikut arus zaman kala itu dengan membaca karya Nietzsche dan Machiavelli.
Karya-karya Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, dan karya sastrawan Spanyol Ortega
y Gasset. Dua nama yang pertama disebut, Freud dan Jung, adalah tokoh di bidang
psikoanalisis yang begitu terkenal sampai sekarang. Semua karya-karya itu,
memang tak ada hubungannya dengan analisis ekonomi tapi itulah awal mula bacaan
sang begawan ekonomi ini.
Di sastra, pengaruh buku Malraux sangat besar. Gara-gara
buku itu, Sumitro begitu prihatin dengan Perang Saudara di Spanyol. Bisa
dibilang ketika itu Malraux adalah idola Sumitro. Sayangnya, ketika mendaftar
menjadi sukarelawan di sana, dia ditolak karena belum cukup umur, jadi mesti
ada surat izin dari orang tua. "Jadi saya cuma melintas perbatasan
Spanyol, dan kemudian saya diusir dari sana. Tapi saya tetap aktif dan membantu
mengumpulkan dana."
Lalu kenapa dia mulai jatuh cinta dengan ekonomi?
Menurut Sumitro, hanya ekonom yang bisa jadi 'jenderal' yang
baik. Dengan ilmu ekonomi, seseorang bisa mengevaluasi suatu keadaan tanpa
segera menjatuhkan penilaian baik atau buruk, baru kemudian mengambil
keputusan. Dengan ekonomi, seseorang bisa menghimpun fakta-fakta tentang masalah
dan kemudian melakukan analisis yang logis. Pada intinya, jika orang tidak
memiliki cukup fakta, maka perlu ada penelitian untuk memperolehnya. Setelah
itu baru melakukan analisis logis untuk memperoleh jawaban.
"Begitu banyak orang keliru menangani masalah, atau
lebih buruk lagi, mereka sama sekali tidak mengidentifikasi masalah.
Demikianlah saya menjadi ekonom untuk dapat menjawab berbagai soal."
Buku-buku yang menopang keilmuan ekonomi Sumitro yakni karya
Karl Marx dan Joseph Schumpeter, juga karya David Ricardo (ekonom politik
Inggris). Sumitro tidak membacanya dalam bahasa Inggris tapi karya asli
Schumpeter yakni Theorie der wirtschaftlichen Entwicklung dalam bahasa Jerman,
isinya soal konsep wiraswasta yang amat mempengaruhi Sumitro muda. Secara tak
langsung pekerjaan ayah Sumitro di perdesaan Jawa di masa krisis tahun 1930-an
juga mempengaruhinya.
"Kita tidak perlu bekerja, sebab orang lain bisa
melakukannya untuk kita, kita tidak perlu memiliki uang, sebab kita bisa
meminjamkannya. Satu-satunya yang perlu kita lakukan adalah melakukan
pembaruan-pembaruan dan menanggung risiko. Jalan pemikian ini sangat
mempengaruhi saya."
Buku lain dari Schumpeter ialah Capitalism, Socialism, and
Democracy, juga buku Business Cycles. Buku lainnya adalah Risk, Uncertainty and
Profit karya Frank Hyneman Knight.
Buku-buku di atas membuatnya makin memahami perbedaan antara
risiko yang dapat diasuransikan dan risiko yang tidak dapat diasuransikan. Buku
inilah yang melandasinya, membantu dia dalam perjuangannya melawan 'ekonomi
biaya tinggi', akibat pemerintah yang menciptakan terlalu banyak ketikdapastian
yang tidak dapat diasuannsikan oleh pengusaha. "Saya berutang budi pada
Knight, walau dalam banyak hal saya tidak setuju doktrin-doktrin mazhab Chicago
ini."
Frank Knight merupakan ekonom AS yang menghabiskan kariernya
di University of Chicago, dia adalah guru dari tiga ekonom yang mendapat nobel
ekonomi yakni Milton Friedman, George Stigler dan James M. Buchanan.
Pusing juga, bukunya berat semua........
Tapi ini tak berhenti di sini. Buku lainnya adalah dua jilid
buku Principles of Economics karya Frank William Taussig, buku terbitan tahun
1911 dan edisi kedua dirilis tahun 1915. Saya tidak tahu apakah buku ini
menjadi pedoman utama mata kuliah ekonomi di kampus-kampus Tanah Air atau
tidak, tapi satu buku yang juga cukup banyak dipakai mahasiswa ekonomi untuk
pengantar ekonomi makro dan mikro ialah Principles of Economics yang ditulis N.
Gregory Mankiw. Baik buku milik Taussig maupun Mankiw ada di Perpustakaan
Universitas Indonesia.
Buku lainnya yang disukai Sumitro ialah karya Alfred
Marshall yang mengajarkan berfikir sistematis. Marshall terkenal sebagai bapak
ekonom neo-klasik, yang menerapkan ilmu matematika dalam ekonomi karena latar
belakang Alfred sejatinya ahli matematika.
Buku-buku tadi berat semua, apa tidak pusing Prof? Ternyata
seorang Sumitro juga butuh waktu untuk memahami beberapa buku yang dinilai
cukup berat dipahami.
"Saya harus membaca dengan susah payah Business Cycles,
betul-betul mengangumkan. Saya juga susah payah membaca buku karya [John
Maynard] Keynes, General Theory dan saya pura-pura memahaminya, sebab saya
menduga kuat bahwa guru-guru saya pun tidak memahaminya."
Agak lama Sumitro memahami pemikiran Keynes. Dia sangat
terbantu dengan tulisan Alvin Hansen (Business Cycles and National Income)
dalam memahami dengan baik pemikiran ekonomi Keynes dan tafsir-tafsir post-keynesian.
Mahzab Keynes didasari suatu fakta bahwa ekonomi makro sudah bertahun-tahun
tidak tersentuh oleh ilmuwan. Bila tataran ekonomi makro tak terjamah, otomatis
tataran mikro menurutnya makin kacau.
Dari beberapa ulasan para ekonom soal mazhab Keynes ini,
satu contoh yang mudah dicerna yakni Keynes merekomendasikan agar perekonomian
tidak diserahkan begitu saja ke mekanisme pasar. Peran pemerintah pada batas
tertentu justru diperlukan. Misalnya, bila tingkat pengangguran tinggi,
pemerintah bisa memperbesar pengeluaran untuk proyek-proyek padat karya, dan
lainnya.
Dari semua buku yang dia baca, Sumitro sangat terkesan
dengan buku Edward Hastings Chamberlin, ekonom AS yang dikenal dengan
teori-teorinya tentang monopoli industri dan persaingan. Tahun 1937, pada usia
20 tahun, Sumitro membaca buku Chamberlin Theory of Monopolistic Competition.
Banyak pemikiran Chamberlain ternyata sesuai dengan apa yang Sumitro alami, apa
yang dia lihat di desa-desa dan kondisi Jakarta.
Selain itu, karya Vin Boehm-Bawerk dan Irving Fisher juga
mengesankan bagi Sumitro, terutama Irving dalam buku Theory of Interest. Buku
ini menjelaskan konsep bentuk waktu arus pendapatan yang membantunya memahami
mengapa pedagang perantara China sering dipandang sebagai penyelamat produsen-produsen
kecil.
Sumitro sebetulnya sangat marah dengan pernyataan orang
Belanda bahwa tidak ada pengangguran. Justru dia menyadari bahwa pengangguran,
pengangguran terselubung, kurangnya lapangan pekerjaan, pekerjaan bermutu
rendah, sesungguhnya adalah masalah produktivitas dan pendapatan nyata.
Keberpihakannya pada orang kecil ini tampak dari disertasinya berjudul Het
Volkscredietween di de Depressie (Sistem Kredit Rakyat di Masa Krisis Ekonomi).
Ini semacam pengejawantahan keprihatinannya pada dampak krisis ekonomi di
perdesaan Jawa.
Ada satu penulis yang kurang dia sukai dari sisi karya,
bukan pribadi. Dia adalah ekonom Belanda, Julius H. Boeke. Tulisan Boeke dan
beberapa penulis sejenis menilai orang Indonesia atau ras Timur tidak pernah
dapat memperbaiki keadaan karena dianggap memiliki nilai yang berbeda.
Sumitro pun membaca tulisan ekonom Marxist, Nikolai
Dmitriyevich Kondratiev, dalam bahasa Jerman lalu dalam bahasa Inggris.
Dampaknya terasa ketika tahun 1970-an ketika dia melakukan penelitian mengenai
perspektif pertumbuhan jangka panjang Indonesia. Dari buku yang dia baca,
timbul kesimpulan Sumitro bahwa daya dorong pertumbuhan jangka panjang suatu
negeri adalah penduduk, teknologi, dan SDA, bukan perang atau revolusi.
Ada banyak nama ekonom yang tulisannya memengaruhi Sumitro,
tapi secara umum yang cukup dominan adalah buku-buku tadi. Nama lain yakni Jan
Tinbergen, ekonom Belanda penerima nobel ekonomi, ketika Sumitro berjumpa
dengannya tahun 1938. Pada tahun itu, Tinbergen menjadi dosen muda Sekolah Ilmu
Ekonomi Belanda. Ada pula Sir William Arthur Lewis, ekonom Saint Lucia, negara
di Laut Karibia. Arthur Lewis bertemu dengan Sumitro tahun 1954. "Saya
sangat terkesan oleh kecerdasannya."
Dari pemikiran para ekonom itulah, kepintaran ekonomi
Sumitro terbentuk makin matang. Sumitro menjadi orang yang paling berperan
membentuk ekonom-ekonom muda dari UI tahun 1966 yakni Widjojo Nitisastro, Ali
Wardhana, Sadli, Subroto, dan Emil Salim---dikenal dengan istilah Mafia Berkeley.
Para ekonom muda inilah yang menentukan kebijakan ekonomi di era Orde Baru di
bawah kekuasaan Presiden Suharto.
Sejarah mencatat, kelangsungan kebijakan ekonomi Orde Baru
runtuh ketika kendali pemerintahan kian otoriter dan represif. Dampaknya
menurunkan disiplin keuangan, memicu banyak transaksi pemerintah yang tidak
tercantum dalam anggaran resmi sehingga perekonomian mulai goyang. Ditambah
lagi, kuatnya pengaruh para profesional non-ekonom (Prof. Habibie dan lainnya
yang kebanyakan para insinyur) dengan proyek-proyek nasional besar di bidang
teknologi membuat para teknokrat ekonom semakin redup.
Lalu pada akhirnya, kita tahu, krisis tahun 1997 menjadi
peristiwa yang sampai sekarang menjadi pelajaran berharga bagi perekonomian
nasional. Tapi di luar tuduhan atas Mafia Berkeley, Profesor Sumitro punya jasa
besar terhadap negeri ini, terutama dalam membangun SDM di bidang ekonomi yang
handal.
Words: 1.780
Dipublish di Kompasiana, 19 Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar