Rabu, 07 Februari 2018

Belajar Foto dari Om Arbain

Arbain Rambey, foto: Darwis Triadi, source: diaryfotografi
Oleh Tahir Saleh

Pecinta fotografi Tanah Air pasti familiar dengan nama ini: Arbain Rambey, fotografer senior harian Kompas. Follower Instagram-nya sudah tembus 89,6 ribu orang, termasuk saya. Rekam jejaknya sudah tak diragukan lagi, memotret di seluruh wilayah Nusantara hingga mancanegara. Foto-fotonya juga mendapat penghargaan dari dalam dan luar negeri, pernah juara tunggal Festival Seni Internasional Art Summit 1999, dan medali perunggu 2 tahun berturut-turut pada Lomba Salon Foto tahun 2006 dan 2007. Bahkan salah satu buku karya fotonya yakni 'Indonesia, Mist of Time' bisa terbitkan oleh Waterous & Co. di London tahun 2005.

Jika melihat latar belakang pendidikan formal, pria kelahiran Semarang, 2 Juli 1961, ini adalah lulusan Teknik Sipil ITB tahun 1988. Tapi passion-nya di bidang fotografi mengantarkannya menjadi salah satu publik figur di ranah fotografi Tanah Air. "Ini hobi yang menghasilkan [uang]," begitu selorohnya.

Segudang prestasi nyatanya tak membuat Arbain menyimpan ilmu, tapi dibagi dengan penyuka fotografi lainnya. Beberapa pekan lalu saya mengikuti workshop fotografi Om Arbain---panggilan akrab beliau di jagad Instagram---yang digelar Bursa Efek Indonesia (BEI). Temanya "Pasar Modal dalam Lensa". Workshop ini digelar sebagai salah satu rangkaian acara ulang tahun ke-25 tahun BEI yang diperingati setiap 13 Juli. Jadilah saya ikut workshopsekitar 3 jam itu karena rasanya sayang dilewatkan, kapan lagi dapat ilmu plus makan siang, gratis.

Pantai Ende, Tsunami Flores, 1992. Sumber: Twitter Arbain
Arbain adalah fotografer senior yang punya kemampuan sama baiknya antara memotret dan menulis, dia fotografer dan wartawan. Kemampuannya terbukti ketika tahun 1992, saat bencana tsunami mengguncang Flores, kampung halaman saya di Nusa Tenggara Timur, Om Arbain memotret di Ende dan menulis reportasenya di Kompas. Saat itu saya masih kecil dan menjadi korban selamat dari tsunami Flores itu.

Lantaran Arbain lulusan teknik sipil ITB, maka features-nya tentu menjadi lebih mendalam karena lewat ilmu dari bangku kuliah teknik sipil, dia sangat memahami struktur bangunan, bagaimana sebuah bangunan rusak terkena gempa bumi. Kemampuan mumpuni dari foto dan tulisan juga ditunjukkan ketika ia melakukan reportase peristiwa 911, serangan yang merubuhkan menara kembar WTC di New York City, pada 11 September 2001.

Tahun ini, usianya sudah 56 tahun. Tapi biar sudah 'senior', usia justru tak membuatnya menghindari aktivitas yang sangat berhubungan dengan kaum millenial, medsos. Biasanya banyak kaum baby boomers belum intens menggunakan medsos. Tapi Arbain punya akun medsos, mulai dari Twitter, Facebook, hingga Instagram dengan followers puluhan ribu---memang masih kalah dari Ayu Tingting, artis dengan followers Instagram terbanyak di Indonesia mencapai 21,2 juta.

Gara-gara perbedaan usia yang sangat jauh dengan para fotografer muda ini, suatu kali Om tidak dikenali saat datang ke sebuah acara fashion show. Om ternyata datang telat, dan merasa tidak enak sehingga memilih tempat memotret di pojokan. Hal wajar bila para forografer muda belum banyak  familiar dengan wajah aslinya. Untung ada seorang fotografer senior melihat Om berdiri di pojokan karena tak mendapat space untuk memotret. Tiba-tiba si kawan itu berteriak,  "Eh, orang itu sudah motret jauh sebelum kalian lahir,....... kasih jalan woi," teriak si fotografer senior. Semua minggir, akhirnya memberi tempat bagi Om.

Kunci penting dalam memotret

Sebetulnya materi yang dibawakan Arbain tidak njelimet, justru menarik meskipun waktunya terlalu singkat. Mestinya ditambah jam dan langsung praktek...heheh. Materinya slide powerpoint-nya hanya beberapa lembar dengan tulisan kapital. Presentasinya lebih banyak menampilkan contoh-contoh di folder leptop. Jadi kita bisa tahu, mana foto yang bagus, foto yang indah, foto yang menarik, foto yang berbicara, dan beberapa foto dengan komposisi yang salah.

Melihat contoh foto ini menjadi penting karena ternyata antara foto bagus, foto indah, dan foto menarik itu berbeda. Bagi para fotografer profesional, ini sudah pengetahuan umum, tapi bagi saya yang baru menyukai fotografi, ini jadi informasi baru. Saya jadi malu sendiri melihat foto-foto yang asal saya posting di Instagram pribadi.

Materi Arbain
Foto bagus adalah foto yang sesuai dengan target pembuatannya, misalnya seorang fotografer diminta membuat foto dengan target atau permintaan tertentu. Foto yang indah adalah foto yang menyenangkan untuk dilihat. Adapun foto yang menarik adalah foto yang lebih memancing untuk dilihat ketimbang foto lain meskipun belum tentu foto tersebut lebih indah. Nah, foto yang berbicara adalah foto yang bisa langsung dimengerti oleh yang melihat, bahkan tanpa caption.

Dari hampir 3 jam workshop, ada catatan yang ingin saya bagi di sini terutama bagi kawan-kawan yang masih baru di bidang fotografi, termasuk saya. Materi ini pun tentu sudah dipelajari para peserta workshop Om Arbain sebelumnya.

Menurut Arbain, ada empat unsur penting dan diperlukan untuk membuat sebuah foto yang bagus, indah, menarik, dan berbicara. Empat unsur foto tersebut yakni teknis, posisi, komposisi, dan momen.

Pertama, teknis ini lebih pada kemampuan dasar seperti pemahaman ISO atau tingkat sensitifitas sensor terhadap cahaya, aperture atau bukaan, dan shutter speed atau kecepatan rana.

"Soal teknis, tidak perlu kita bahas di sini, Anda bisa belajar sendiri, membaca bagaimana teknis, dari mulai ISO dan lainnya, tapi yang penting lagi adalah 3 unsur berikutnya," katanya.

Jadi, apapun jenis kamera yang kita pakai, hanya membantu secara teknis, sementara tiga unsur lainnya lebih dominan dan terus dilatih dengan pengalaman, melihat hasil foto orang dari media, internet, dan latihan.  Banyak kamera canggih saat ini sudah menyediakan dengan baik fitur sehingga persoalan teknis menjadi lebih mudah. "Saya fotografer profesional, tapi saya auto kok, biar kamera yang saya suruh kerja," katanya.

Kedua, posisi. Di fotografi jurnalistik, foto sudah jadi sebelum difoto. Maksudnya adalah, angle (sudut pengambilan) gambar sudah diatur atau dikonsep akan seperti apa foto itu nantinya. Di Kompas, semua fotografer diharuskan membuat sketsa terlebih dahulu sebelum terjun. Ketika almarhum mantan Presiden Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 dan almarhum ustaz Jefri Al Buchori pada 23 April 2013, fotografer yang bertugas membuat sketsa terlebih dahulu. Jadilah foto ratusan ribu pelayat mengangkat keranda dua orang yang sangat dihormati itu.

Posisi di sini juga berarti mencari angle yang pas. Untuk mendapat foto seperti angle yang disketsakan, pembidik kamera perlu mencari posisi yang tepat. Salah posisi, target foto yang diincar tak bakal bisa terealisasi, atau hasilnya kurang maksimal.

Dulu, waktu memotret Sidang Umum MPR zaman Presiden Soeharto, ada satu posisi favorit Arbain di ruang sidang. Jadi sejak subuh, Om sudah mangkal di posisi itu. Bahkan dia sampai menyimpan beberapa botol kosong buat menadah (maaf) air pipisnya. Sedikit saja meleng ke kamar mandi, sudah ada fotografer lain yang siap mencaplok tempat kita.

"Jadi malem hari, istri saya suka beli tuh beberapa botol selai yang besar ujungnya, lalu dikosongin selainya. Besok paginya saya bawa. Abis sidang biasanya si OB gedung bawa banyak botol, isinya warna kuning [air pipis] fotografer."

Konsentrasi angle ini menjadi perhatian Arbain saat pelantikan Presiden Jokowi 20 Oktober 2014. Kompas setidaknya menurunkan hingga 18 fotografer. Ada yang posisinya di balkon ruang sidang DPR-MPR, di luar, di dalem, di jalanan (untuk memotret aktivitas masyarakat yang menyaksikan, di shelter busway, di jembatan penyebrangan dan posisi lainnya). Ini hanya untuk mendapatkan foto headline yang berbeda dengan media lain. Hasilnya, foto Jokowi mengangkat kedua tangannya ke atas.

Ketiga, komposisi. Tak ada kewajiban fotografer menempatkan objek di posisi tertentu untuk mendapatkan komposisi yang pas. Dari depan bisa, samping, dari atas, dan lainnya tergantung mata dan taste si fotografer.

Salah satu kunci untuk memahami komposisi yakni membuat konsep sebelum memotret. Dengan begitu, akan lebih mudah kita memilih posisi yang pas supaya mendapatkan target foto yang kita inginkan. "Komposisi tak bisa otomatis, dan sangat menentukan bagus tidaknya sebuah foto. Membuat komposisi yang baik cuma ada tiga cara, berlatih, berlatih dan berlatih."

Susi Susanti, foto: Kartono Riyadi
Keempat, momen. Untuk materi ini, Arbain memberi contoh foto Susi Susanti yang sedang menangis saat meraih medali emas tahun 1992. Foto itu adalah satu karya monumental dari fotografer Kompas,almarhum Kartono Riyadi, berjudul "Air Mata Emas". Foto itu diambil saat Susi berlinang air mata di arena Olimpiade Barcelona 1992. Tapi akhirnya foto yang dipakai Kompas adalah foto Kartono dengan angle Susi mengangkat bunga di tangannya sambil tersenyum. Pertimbangannya Indonesia meraih emas baik dari Susi maupun Alan Budikusuma dari cabang bulutangkis tunggal putra dan putri, sehingga raut wajah bahagia yang mestinya ditampakkan ke media.
Momen yang tak bisa diulang itulah yang membuat foto Susi sangat bernilai tinggi. Sampai sekarang kalau melihat foto itu, rasanya terharu, sangat. Ketepatan momen itu, seperti diistilahkan oleh fotografer Henri Cartier-Bresson dengan the decisive moment, itu menjadi pembeda antara foto yang baik, berbicara, indah, mengesankan, dan foto yang gagal.

Dengan arahan dari Om Arbain, jujur saya jadi semmakin semangat memotret.

Trims ya Om ilmunya.....


Words: 1.352, dipublish di Kompasiana, 28 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu