Arbain Rambey, foto: Darwis Triadi, source: diaryfotografi |
Oleh Tahir Saleh
Pecinta fotografi Tanah Air pasti familiar dengan nama ini:
Arbain Rambey, fotografer senior harian Kompas. Follower Instagram-nya sudah
tembus 89,6 ribu orang, termasuk saya. Rekam jejaknya sudah tak diragukan lagi,
memotret di seluruh wilayah Nusantara hingga mancanegara. Foto-fotonya juga
mendapat penghargaan dari dalam dan luar negeri, pernah juara tunggal Festival
Seni Internasional Art Summit 1999, dan medali perunggu 2 tahun berturut-turut
pada Lomba Salon Foto tahun 2006 dan 2007. Bahkan salah satu buku karya fotonya
yakni 'Indonesia, Mist of Time' bisa terbitkan oleh Waterous & Co. di
London tahun 2005.
Jika melihat latar belakang pendidikan formal, pria
kelahiran Semarang, 2 Juli 1961, ini adalah lulusan Teknik Sipil ITB tahun
1988. Tapi passion-nya di bidang fotografi mengantarkannya menjadi salah satu
publik figur di ranah fotografi Tanah Air. "Ini hobi yang menghasilkan
[uang]," begitu selorohnya.
Segudang prestasi nyatanya tak membuat Arbain menyimpan
ilmu, tapi dibagi dengan penyuka fotografi lainnya. Beberapa pekan lalu saya
mengikuti workshop fotografi Om Arbain---panggilan akrab beliau di jagad
Instagram---yang digelar Bursa Efek Indonesia (BEI). Temanya "Pasar Modal
dalam Lensa". Workshop ini digelar sebagai salah satu rangkaian acara
ulang tahun ke-25 tahun BEI yang diperingati setiap 13 Juli. Jadilah saya ikut
workshopsekitar 3 jam itu karena rasanya sayang dilewatkan, kapan lagi dapat
ilmu plus makan siang, gratis.
Pantai Ende, Tsunami Flores, 1992. Sumber: Twitter Arbain |
Arbain adalah fotografer senior yang punya kemampuan sama
baiknya antara memotret dan menulis, dia fotografer dan wartawan. Kemampuannya
terbukti ketika tahun 1992, saat bencana tsunami mengguncang Flores, kampung
halaman saya di Nusa Tenggara Timur, Om Arbain memotret di Ende dan menulis
reportasenya di Kompas. Saat itu saya masih kecil dan menjadi korban selamat
dari tsunami Flores itu.
Lantaran Arbain lulusan teknik sipil ITB, maka features-nya
tentu menjadi lebih mendalam karena lewat ilmu dari bangku kuliah teknik sipil,
dia sangat memahami struktur bangunan, bagaimana sebuah bangunan rusak terkena
gempa bumi. Kemampuan mumpuni dari foto dan tulisan juga ditunjukkan ketika ia
melakukan reportase peristiwa 911, serangan yang merubuhkan menara kembar WTC
di New York City, pada 11 September 2001.
Tahun ini, usianya sudah 56 tahun. Tapi biar sudah 'senior',
usia justru tak membuatnya menghindari aktivitas yang sangat berhubungan dengan
kaum millenial, medsos. Biasanya banyak kaum baby boomers belum intens
menggunakan medsos. Tapi Arbain punya akun medsos, mulai dari Twitter,
Facebook, hingga Instagram dengan followers puluhan ribu---memang masih kalah
dari Ayu Tingting, artis dengan followers Instagram terbanyak di Indonesia
mencapai 21,2 juta.
Gara-gara perbedaan usia yang sangat jauh dengan para
fotografer muda ini, suatu kali Om tidak dikenali saat datang ke sebuah acara
fashion show. Om ternyata datang telat, dan merasa tidak enak sehingga memilih
tempat memotret di pojokan. Hal wajar bila para forografer muda belum
banyak familiar dengan wajah aslinya.
Untung ada seorang fotografer senior melihat Om berdiri di pojokan karena tak
mendapat space untuk memotret. Tiba-tiba si kawan itu berteriak, "Eh, orang itu sudah motret jauh sebelum
kalian lahir,....... kasih jalan woi," teriak si fotografer senior. Semua
minggir, akhirnya memberi tempat bagi Om.
Kunci penting dalam memotret
Sebetulnya materi yang dibawakan Arbain tidak njelimet, justru
menarik meskipun waktunya terlalu singkat. Mestinya ditambah jam dan langsung
praktek...heheh. Materinya slide powerpoint-nya hanya beberapa lembar dengan
tulisan kapital. Presentasinya lebih banyak menampilkan contoh-contoh di folder
leptop. Jadi kita bisa tahu, mana foto yang bagus, foto yang indah, foto yang
menarik, foto yang berbicara, dan beberapa foto dengan komposisi yang salah.
Melihat contoh foto ini menjadi penting karena ternyata
antara foto bagus, foto indah, dan foto menarik itu berbeda. Bagi para
fotografer profesional, ini sudah pengetahuan umum, tapi bagi saya yang baru
menyukai fotografi, ini jadi informasi baru. Saya jadi malu sendiri melihat
foto-foto yang asal saya posting di Instagram pribadi.
Materi Arbain |
Foto bagus adalah foto yang sesuai dengan target
pembuatannya, misalnya seorang fotografer diminta membuat foto dengan target
atau permintaan tertentu. Foto yang indah adalah foto yang menyenangkan untuk
dilihat. Adapun foto yang menarik adalah foto yang lebih memancing untuk
dilihat ketimbang foto lain meskipun belum tentu foto tersebut lebih indah.
Nah, foto yang berbicara adalah foto yang bisa langsung dimengerti oleh yang
melihat, bahkan tanpa caption.
Dari hampir 3 jam workshop, ada catatan yang ingin saya bagi
di sini terutama bagi kawan-kawan yang masih baru di bidang fotografi, termasuk
saya. Materi ini pun tentu sudah dipelajari para peserta workshop Om Arbain
sebelumnya.
Menurut Arbain, ada empat unsur penting dan diperlukan untuk
membuat sebuah foto yang bagus, indah, menarik, dan berbicara. Empat unsur foto
tersebut yakni teknis, posisi, komposisi, dan momen.
Pertama, teknis ini lebih pada kemampuan dasar seperti
pemahaman ISO atau tingkat sensitifitas sensor terhadap cahaya, aperture atau
bukaan, dan shutter speed atau kecepatan rana.
"Soal teknis, tidak perlu kita bahas di sini, Anda bisa
belajar sendiri, membaca bagaimana teknis, dari mulai ISO dan lainnya, tapi
yang penting lagi adalah 3 unsur berikutnya," katanya.
Jadi, apapun jenis kamera yang kita pakai, hanya membantu
secara teknis, sementara tiga unsur lainnya lebih dominan dan terus dilatih
dengan pengalaman, melihat hasil foto orang dari media, internet, dan latihan. Banyak kamera canggih saat ini sudah
menyediakan dengan baik fitur sehingga persoalan teknis menjadi lebih mudah.
"Saya fotografer profesional, tapi saya auto kok, biar kamera yang saya
suruh kerja," katanya.
Kedua, posisi. Di fotografi jurnalistik, foto sudah jadi
sebelum difoto. Maksudnya adalah, angle (sudut pengambilan) gambar sudah diatur
atau dikonsep akan seperti apa foto itu nantinya. Di Kompas, semua fotografer
diharuskan membuat sketsa terlebih dahulu sebelum terjun. Ketika almarhum mantan
Presiden Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 dan almarhum ustaz Jefri Al
Buchori pada 23 April 2013, fotografer yang bertugas membuat sketsa terlebih
dahulu. Jadilah foto ratusan ribu pelayat mengangkat keranda dua orang yang
sangat dihormati itu.
Posisi di sini juga berarti mencari angle yang pas. Untuk
mendapat foto seperti angle yang disketsakan, pembidik kamera perlu mencari
posisi yang tepat. Salah posisi, target foto yang diincar tak bakal bisa
terealisasi, atau hasilnya kurang maksimal.
Dulu, waktu memotret Sidang Umum MPR zaman Presiden
Soeharto, ada satu posisi favorit Arbain di ruang sidang. Jadi sejak subuh, Om
sudah mangkal di posisi itu. Bahkan dia sampai menyimpan beberapa botol kosong
buat menadah (maaf) air pipisnya. Sedikit saja meleng ke kamar mandi, sudah ada
fotografer lain yang siap mencaplok tempat kita.
"Jadi malem hari, istri saya suka beli tuh beberapa
botol selai yang besar ujungnya, lalu dikosongin selainya. Besok paginya saya
bawa. Abis sidang biasanya si OB gedung bawa banyak botol, isinya warna kuning
[air pipis] fotografer."
Konsentrasi angle ini menjadi perhatian Arbain saat
pelantikan Presiden Jokowi 20 Oktober 2014. Kompas setidaknya menurunkan hingga
18 fotografer. Ada yang posisinya di balkon ruang sidang DPR-MPR, di luar, di
dalem, di jalanan (untuk memotret aktivitas masyarakat yang menyaksikan, di
shelter busway, di jembatan penyebrangan dan posisi lainnya). Ini hanya untuk
mendapatkan foto headline yang berbeda dengan media lain. Hasilnya, foto Jokowi
mengangkat kedua tangannya ke atas.
Ketiga, komposisi. Tak ada kewajiban fotografer menempatkan
objek di posisi tertentu untuk mendapatkan komposisi yang pas. Dari depan bisa,
samping, dari atas, dan lainnya tergantung mata dan taste si fotografer.
Salah satu kunci untuk memahami komposisi yakni membuat
konsep sebelum memotret. Dengan begitu, akan lebih mudah kita memilih posisi
yang pas supaya mendapatkan target foto yang kita inginkan. "Komposisi tak
bisa otomatis, dan sangat menentukan bagus tidaknya sebuah foto. Membuat
komposisi yang baik cuma ada tiga cara, berlatih, berlatih dan berlatih."
Susi Susanti, foto: Kartono Riyadi |
Keempat, momen. Untuk materi ini, Arbain memberi contoh foto
Susi Susanti yang sedang menangis saat meraih medali emas tahun 1992. Foto itu
adalah satu karya monumental dari fotografer Kompas,almarhum Kartono Riyadi,
berjudul "Air Mata Emas". Foto itu diambil saat Susi berlinang air
mata di arena Olimpiade Barcelona 1992. Tapi akhirnya foto yang dipakai Kompas
adalah foto Kartono dengan angle Susi mengangkat bunga di tangannya sambil
tersenyum. Pertimbangannya Indonesia meraih emas baik dari Susi maupun Alan
Budikusuma dari cabang bulutangkis tunggal putra dan putri, sehingga raut wajah
bahagia yang mestinya ditampakkan ke media.
Momen yang tak bisa diulang itulah yang membuat foto Susi
sangat bernilai tinggi. Sampai sekarang kalau melihat foto itu, rasanya
terharu, sangat. Ketepatan momen itu, seperti diistilahkan oleh fotografer
Henri Cartier-Bresson dengan the decisive moment, itu menjadi pembeda antara
foto yang baik, berbicara, indah, mengesankan, dan foto yang gagal.
Dengan arahan dari Om Arbain, jujur saya jadi semmakin
semangat memotret.
Trims ya Om ilmunya.....
Words: 1.352, dipublish di Kompasiana, 28 Juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar