Rabu, 07 Februari 2018

www.propertyandthecity.com
Oleh Tahir Saleh

Pada mulanya, Cikarang---daerah yang berjarak sekitar 45 Km dari Jakarta---adalah kawasan di ujung Bekasi yang tandus, kering, dan berbukit-bukit. Lokasinya yang jauh membuat tak banyak perusahaan properti melirik lahan di sana untuk dikembangkan.

Adalah Grup Lippo yang menjadi salah satu pengembang yang melihat potensi di wilayah di Kabupaten Bekasi itu. Setelah Lippo Karawaci masuk melalui PT Lippo Cikarang Tbk (anak usaha Lippo Karawaci), barulah pengembang lain mulai ikut mengembangkan Cikarang menjadi kota perdagangan industri, seperti Kota Deltamas (grup Sinarmasland, residensial pertama tahun 2002), PT Cowell Development Tbk dan PT PP Properti Tbk (anak usaha PT PP Tbk).

Sebetulnya sudah ada Kawasan Industri Jababeka milik PT Kawasan Industri Jababeka Tbk sejak tahun 1989, tapi geliat residensial baru tampak semarak setelah hadir Lippo Cikarang dan kini Cikarang menjadi kawasan bisnis, kota mandiri yang juga memacu perkembangan di wilayah sekitarnya.

Setelah Lippo membangun perumahan elite di sana dan merilis proyek residential baru yakni Orange County pada 2015 (megaproyek terintegrasi seluas 322 hektare), Grup Lippo memulai megaproyek Meikarta yang di Desa Cibatu, Kecamatan Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi. Rencananya Meikarta akan dialokasikan untuk pembangunan perumahan, taman, tower dan sarana lain seperti universitas, dan lain-lain dengan lahan yang disiapkan 130-140 hektare dan bakal berkembang sampai 500 hektare.

Kendati saat ini proyek Meikarta tengah menjadi perbincangan publik soal izin, tapi proyek senilai Rp278 triliun ini menurut James Riady, CEO Lippo Group, dalam situs resmi Meikarta, berpotensi mengalahkan DKI Jakarta, karena memang disiapkan menjadi pusat perekonomian terbesar di Nusantara.

Titik balik

Namun jauh sebelum Meikarta dicanangkan, titik balik bisnis Lippo di Cikarang sebetulnya terjadi pada tahun 1990, ketika Presiden Soeharto berkuasa di bawah era Orde Baru. Seperti diceritakan Mochtar Riady, pendiri LippoGroup, dalam buku otobiografinya terbitan Kompas tahun 2016 berjudul "Manusia Ide, Mochtar Riady", pada tahun 1990 itu terjadi masa penyesuaian ekonomi, tingkat suku bunga tinggi, ekonomi lesu, inflasi tinggi, dan banyak perusahaan mulai kesulitan modal. Kondisi yang tidak kondusif ini memicu tingkat kredit macet perbankan tinggi.

Dalam kondisi demikian, LippoBank, yang dikendalikan James Riady, putra Mochtar Riady, terpaksa mengambilalih tiga bidang tanah yang sangat luas sebagai barang sitaan kredit macet. Lahan tersebut berlokasi di luar Jakarta, dua bidang tanah yang tandus dan kering berada di timur Jakarta (Cikarang) berjarak sekitar 45 Km, dan satu bidang lagi di barat Jakarta (Karawaci), berjarak 25 km dari Jakarta dengan kontur yang sama: kering, gersang, tanpa tumbuh-tumbuhan.

"Tiga bidang lahan seluas 70 Km persegi itu mau diapakan? Masih menjadi tanda tanya besar bagi saya," begitu kata Mochtar Riady dalam buku setebal 336 halaman yang diedit oleh Tandjung KT itu.

Untuk mencari solusi bagaimana memanfatakan tiga lahan seluas itu, salah satu orang terkaya di Indonesia itu pergi ke beberapa kota maju di Asia seperti Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Taipe, hingga Shenzen. Nah di Shenzen-lah dirasa kondisinya mirip dengan tanah hasil sitaan kredit macet itu, untuk dikembangkan menjadi kawasan perdanganan dan perumahan elite.

Seperti kita ketahui tanah pertama di Karawaci kini berkembang menjadi kota mandiri yang begitu apik, nyaman, aman, dengan berbagai fasilitas modern. Setelah itu Lippo Karawaci mengembangkan lahan kedua di Cikarang lewat anak usahanya, Lippo Cikarang.

Di sana, pemilik awal sebetulnya ingin membangun kawasan industri seluas 5.000 hektare, tapi karena terjadi resesi 1991, rencana itu pun kandas, lahan akhirnya diteruskan Lippo Group untuk membangun kawasan industri.  Tahap pertama, mereka mengalokasikan 1.200 hektare dan dibagi menjadi 4 area. Area pertama, bekerja sama dengan Sumitomo Group dari Jepang (Kawasan EJIP), kedua bekerja sama dengan Hyundai (BIIE) dari Korea, lahan ketiga menggandeng pengusaha Taiwan, dan keempat dikelola oleh Lippo sendiri dan dijual kepada pengusaha industri lokal.

"Cikarang..., lahannya kumuh dan tandus yang hanya digunakan sebagai tempat pembakaran bahan genteng rumah," kata Mochtar. Kini, katanya, Cikarang menjadi kawasan indusrial park yang tertata rapi, kawasan terpadu antara area industri, perumahan elite, pusat perbelanjaan, sarana pendidikan dan olahraga, dan kesehatan.  Bahkan Grup Lippo juga menghibahkan sejumlah lahan ke pemda supaya memindahkan kantor pelayanan di Cikarang guna meningatkan kualitas kawasan. Tahun 2016, harga tanah di cikarang sudah mencapai US$500  per meter persegi.

Lahan ketiga, tepatnya berlokasi di 14 Km sebelah Cikarang, yakni di Karawang dengan 500 hektare. Lahan itu lebih parah lagi karena tak hanya tandus, kering, berbukit, tapi juga terpencil. Kita tahun lahan yang tandus, berbukit, dan terpencil itu kini 'disulap' menjadi San Diego Hills Memorial Park tahun 2007. Taman itu terinspirasi dari tempat pemakanan Taman Rose dan Forest Lawn Memorial Park and Mortuaries di California, AS. San Diego ini menjadi taman makam pertama di dunia dengan fasilitas terlengkap (musola, lapangan golf, jogging track, restoran Italia, gerung serbaguna, danau seluas 8 hektare )dan tentu aja area pemahaman untuk 5 agama (Islam, Katolik, Kristen, Budhha, dan Konghucu).

Inspirasi San Diego ini idatang saat keluarga Mochtar berziarah di pemakaman leluhur di Malang, Jawa Timur. Tanah pekuburan seluas 10 hektare tersebut penuh rumput liar, dan binatang kecil, tak terurus dan menyeramkan. Itu sebabnya pemakaman keuarga ingin dipindahkan ke Jakarta, tapi tak menemukan lahan pas. "Saya terfikir untuk memanfaatkan 500 hektare lahan di Karawang itu sebagai taman makan yang angun dan indah," cerita Mochtar.

Saat ini, jika kita ke Cikarang, daerah tersebut bukan lagi Cikarang sebelum tahun 1990 yang kurang dilirik, tapi denyut nadi perekonomian di sana kini sudah demikian hidup. Tak disangka, dari tiga lahan hasil sitaan kredit macet itulah menjadi titik balik bisnis properti Grup Lippo di Cikarang yang terus dikembangkan hingga hari ini.

Krisis ekonomi tahun 1991 justru membawa keuntungan bagi Grup Lippo, "di mana ada krisis, di situ ada peluang," tegas Mochtar.

Akhir tahun 2016, mengacu laporan keuangan Lippo Cikarang 2016, pendapatan perseroan tembus Rp1,54 triliun dengan laba bersih Rp540 miliar. Akhir 2016, laporan keuangan juga mencatat perseroan berhasil membangun lebih dari 14.000 hunian, dengan 50.720 populasi dan 484.300 orang yang bekerja tiap hari di 993 perusahaan manufaktur di kawasan industri Lippo Cikarang. Dengan adanya jalur LRT tahun 2018, Cikarang tentu bakal lebih menarik lagi.


Words: 961
Dipublikasikan di Kompasiana, 20 Agustus 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu