Pak Mul |
Oleh Tahir Saleh
"Kalau inget yang dulu-dulu, bisa stroke saya,"
kata Mulyono, kakek 80 tahun yang masih menjajakan kopi keliling dengan sepeda
di suatu siang, Kamis 11 Januari, di depan Kementerian Dalam Negeri, Jalan
Merdeka Utara, sepelemparan batu dari Istana Negara, Jakarta.
Deretan-deretan nostalgia hidup seketika bermain di dalam
benaknya, kenangan saat harmonis bersama keluarga, juga memori terpahit dalam
hidupnya: istri diketahuinya serong dengan saudara tirinya sendiri.
Peristiwa pahit itu yang kemudian memaksanya mengambil
keputusan berani dan nekat hijrah ke Ibu Kota, tanpa uang cukup, tanpa saudara,
dan tanpa harapan. Dan meski ia tidak menangis saat bercerita, matanya mulai
berkaca dengan perasaan terasing seperti ini. Hidup seorang diri dijalani saja
dengan apa adanya kendati sebetulnya dia memiliki lima orang anak dan dua cucu.
"Masih kuat mengayuh sepeda Pak?"
"Iya masih, tiap hari saya di sini [Merdeka Utara],
mulai jam 4 biar enggak dirazia Tantrib."
"Lah kalau pagi dan siang ngider ke mana Pak?"
"Di pasar baru saja."
Saban hari, dengan berdagang kopi keliling---orang-orang
mengenal pekerjaan ini sebagai penjual Starling atau Starbuck Keliling---dia
memperoleh uang paling banyak Rp50.000 jika dagangan ramai, sebaliknya kalau
sepi hanya sekitar Rp20.000. Duit segitu tentu saja tak bakal cukup memenuhi
kebutuhan hidup, apalagi biaya kontrakannya di Mangga Besar bisa mencapai
Rpp800.000 per bulan.
Untuk hemat, dia terpaksa makan hanya sekali sehari, hanya
di siang hari di Warteg langganan dekat dengan Stasiun Juanda. Jika malam hari
perut terasa lapar, dia menyeduh kopi dan menyeruputnya seakan-akan itu makanan
terenak malam itu.
"Kopi Indocafe bikin kenyang, kalau Luwak [White
Coffee] kurang," katanya.
Pantas saja dia sangat kurus, tulangnya sudah tampak
menyembul, membentuk garis-garis di kemeja batik yang dikenakan sore itu. Bapak
tua yang malang.
"Anak-anak Bapak ke mana Pak?"
"Ada di Jakarta dua orang, satu punya kios di deket
Senen, satu lagi di Jakarta Timur."
Pak Mul dengan sepedanya |
Entah apa salah Pak Mul sehingga anak-anaknya tak pernah
memperhatikannya. Setua ini beliau masih memeras keringat, mengayuh sepeda
untuk menjual kopi. Di usia 80 tahun, barangkali mestinya dia sedang
bermain-main bersama cucu, di rumah, bersama keluarga. Tapi faktanya, dia di
sini, dengan tersenyum menyapa, duduk membuatkan kopi panas di gelas air
mineral untuk saya sore ini.
Pilihan hidup seperti ini dilakoninya semata-mata untuk
bertahan hidup dengan cara yang halal, tanpa mau menggantungkan nasib dan
meminta-minta pada dua anaknya yang bisa dbilang hidup berkecukupan di Ibu Kota
ini.
Kebaikan hidup masih ia peroleh dari orang-orang di
sekitarnya, yang bukan saudaranya sendiri. Masih ada orang baik ketika sepeda
satu-satunya raib saat tertidur dan beberapa ibu-bu PNS di Kementerian Dalam
Negeri memberinya uang untuk membeli sepeda bekas. Atau pemilik sebuah gedung
di dekat Kios Es Krim Ragusa, deket Hotel Sriwijaya, yang memperbolehkan tempat
security gedung itu sebagai hotel bagi Pak Mul, setiap malam, karena dia sudah
tak sanggup membayar kontrakan.
Baginya, hidup dijalani saja, apa adanya, dan tetap
bersyukur.
Words: 462
Dipublikasikan di Kompasiana, 14 Januari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar