Rabu, 07 Februari 2018

Pak Mul, Terasing di Usia Senja

Pak Mul
Oleh Tahir Saleh

"Kalau inget yang dulu-dulu, bisa stroke saya," kata Mulyono, kakek 80 tahun yang masih menjajakan kopi keliling dengan sepeda di suatu siang, Kamis 11 Januari, di depan Kementerian Dalam Negeri, Jalan Merdeka Utara, sepelemparan batu dari Istana Negara, Jakarta.

Deretan-deretan nostalgia hidup seketika bermain di dalam benaknya, kenangan saat harmonis bersama keluarga, juga memori terpahit dalam hidupnya: istri diketahuinya serong dengan saudara tirinya sendiri.

Peristiwa pahit itu yang kemudian memaksanya mengambil keputusan berani dan nekat hijrah ke Ibu Kota, tanpa uang cukup, tanpa saudara, dan tanpa harapan. Dan meski ia tidak menangis saat bercerita, matanya mulai berkaca dengan perasaan terasing seperti ini. Hidup seorang diri dijalani saja dengan apa adanya kendati sebetulnya dia memiliki lima orang anak dan dua cucu.

"Masih kuat mengayuh sepeda Pak?"

"Iya masih, tiap hari saya di sini [Merdeka Utara], mulai jam 4 biar enggak dirazia Tantrib."

"Lah kalau pagi dan siang ngider ke mana Pak?"

"Di pasar baru saja."

Saban hari, dengan berdagang kopi keliling---orang-orang mengenal pekerjaan ini sebagai penjual Starling atau Starbuck Keliling---dia memperoleh uang paling banyak Rp50.000 jika dagangan ramai, sebaliknya kalau sepi hanya sekitar Rp20.000. Duit segitu tentu saja tak bakal cukup memenuhi kebutuhan hidup, apalagi biaya kontrakannya di Mangga Besar bisa mencapai Rpp800.000 per bulan.

Untuk hemat, dia terpaksa makan hanya sekali sehari, hanya di siang hari di Warteg langganan dekat dengan Stasiun Juanda. Jika malam hari perut terasa lapar, dia menyeduh kopi dan menyeruputnya seakan-akan itu makanan terenak malam itu.

"Kopi Indocafe bikin kenyang, kalau Luwak [White Coffee] kurang," katanya.

Pantas saja dia sangat kurus, tulangnya sudah tampak menyembul, membentuk garis-garis di kemeja batik yang dikenakan sore itu. Bapak tua yang malang.

"Anak-anak Bapak ke mana Pak?"

"Ada di Jakarta dua orang, satu punya kios di deket Senen, satu lagi di Jakarta Timur."

Pak Mul dengan sepedanya
Entah apa salah Pak Mul sehingga anak-anaknya tak pernah memperhatikannya. Setua ini beliau masih memeras keringat, mengayuh sepeda untuk menjual kopi. Di usia 80 tahun, barangkali mestinya dia sedang bermain-main bersama cucu, di rumah, bersama keluarga. Tapi faktanya, dia di sini, dengan tersenyum menyapa, duduk membuatkan kopi panas di gelas air mineral untuk saya sore ini.
Pilihan hidup seperti ini dilakoninya semata-mata untuk bertahan hidup dengan cara yang halal, tanpa mau menggantungkan nasib dan meminta-minta pada dua anaknya yang bisa dbilang hidup berkecukupan di Ibu Kota ini.

Kebaikan hidup masih ia peroleh dari orang-orang di sekitarnya, yang bukan saudaranya sendiri. Masih ada orang baik ketika sepeda satu-satunya raib saat tertidur dan beberapa ibu-bu PNS di Kementerian Dalam Negeri memberinya uang untuk membeli sepeda bekas. Atau pemilik sebuah gedung di dekat Kios Es Krim Ragusa, deket Hotel Sriwijaya, yang memperbolehkan tempat security gedung itu sebagai hotel bagi Pak Mul, setiap malam, karena dia sudah tak sanggup membayar kontrakan.

Baginya, hidup dijalani saja, apa adanya, dan tetap bersyukur.


Words: 462
Dipublikasikan di Kompasiana, 14 Januari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu