Novel perdana Hendra Martono |
Oleh Tahir Saleh
Hendra Martono memulai debutnya sebagai penulis fiksi Indonesia
dengan novelnya berjudul Incredible Love. Daya tarik buku ini begitu kuat meski
sampulnya amat sederhana.
Dikatakan kuat lantaran latar belakang Hendra Martono atau
biasa disapa Pak Hokwan, adalah seorang analis, trader, investor, dan direktur
perusahaan sekuritas di Bursa Efek Indonesia.
Semenarik apa novelnya?
Novel setebal 250 halaman itu berkisah tentang seorang anak
berkebutuhan khusus atau berkemampuan berbeda, bernama Abinaya yang mengidap
hiperleksia, kelainan seorang anak yang mampu membaca secara cepat di usia dini
dan amat terobsesi dengan kode, huruf, dan angka, tapi sulit berkomunikasi
dengan baik. Dengan bimbingan dan cinta kasih sang ibu, Abinaya berhasil
menjelma menjadi seorang broker atau pialang saham paling andal di pasar modal.
Dari sudut tema cerita, sebagai perbandingan, ada beberapa
novel yang mengulas soal autis, hiperleksia, disleksia, skizofrenia, atau
semacamnya. Tapi tak banyak buku fiksi di Indonesia atau bahkan dunia yang
mengupas seluk beluk dunia pasar modal dengan balutan cerita cinta yang
menarik. Yang ada di pasaran, hanya buku-buku non-fiksi jenis biografi atau
memoar tentang pasar modal yang kemudian difilmkan.
Beberapa di antara buku non-fiksi itu sebut saja Too Big to
Fail karya jurnalis Amerika Andrew Ross Sorkin yang difilmkan pada 2011,
bercerita tentang krisis finansial 2008, termasuk bangkrutnya Lehman Brothers.
Buku lainnya yakni Rogue Trader, autobiografi karya Nick
Leeson yang difilmkan pada 1999. Ini buku yang ia tulis saat mendekam di
penjara karena kasus fraud, lalu difilmkan pada 1999. Kemudian ada buku Enron:
The Smartest Guys in the Roomyang ditulis dua reporter majalah Fortune, Bethany
McLean dan Peter Elkind, tentang skandal di balik bangkrutnya Enron, perusahaan
energi AS, pada akhir 2001.
Ada juga novel American Psycho karangan penulis Amerika,
Bret Easton Ellis, 1991, tapi ini bukan drama cinta di pasar modal, melainkan
cerita seorang psikopat pembunuh yang juga seorang pebisnis di Wall Street (New
York Stock Exchange).
Dan, barangkali yang memorable yakni buku memoar Jordan Ross
Belfort berjudul The Wolf of Wall Street (2007) dan memoar Chris Gardner berjudul The Pursuit of Happyness(2006),
keduanya juga difilmkan dan sangat menarik.
Di Indonesia, sepengetahuan saya, belum ada novel murni soal
pasar modal. Hanya ada satu dua novel yang menyinggung dunia keuangan dan pasar
modal seperti Pulang(2015) karya Tere Liye di mana porsinya cukup besar.
Lainnya barangkali Critical Eleven (2015) karya Ika Natasha, meski tidak
spesifik pasar modal.
Novel Incredible Love terbitan Januari 2017 sejauh ini
adalah yang pertama memadukan dua unsur tadi, cerita anak berkemampuan berbeda
dan pasar modal. Alasan ini yang memicu saya melahap buku ini lembar demi
lembar dengan segera.
Alur cerita novel ini mengalir dengan baik dan enak dibaca
mulai bab pertama hingga akhir. Tak banyak membuat kita akan berfikir atau
sesekali kembali ke halaman-halaman awal sekadar memastikan atau mengonfirmasi
teka-teki cerita sebagaimana kalau kita baca novel-novel berat macam Pramoedya
atau Eka Kurniawan.
Jalan cerita yang sederhana itu yang membuat waktu membaca
novel ini tidak terlalu lama. Tentu ide cerita itu menjadi poin utama kelebihan
novel dengan gaya penulisan orang ketiga ini.
Hendra cukup piawai memainkan deskripsi suasana dan sosok,
memilih diksi yang amat puitis termasuk mengutip sajak Sapardi Djoko Damono.
Meski kadang puitis, tapi Hendra cenderung memakai gaya bahasa keseharian, jadi
tak perlu membuka kamus Bahasa Indonesia untuk mencari tahu beberapa kosa kata
yang belum kita tahu.
Yang menarik, Hendra terampil memasukkan unsur nakal dan
humor dalam dialog-dialog tokoh utama sehingga pembaca kadang geli,
senyum-senyum sendiri.
Namun sebuah karya mana pun tentu ada celah yang bisa dikritisi,
begitu juga dengan novel ini. Sayang, novel ini tampaknya dipersiapkan kurang
matang dalam editing dan terlalu cepat baik dari sisi penceritaan maupun teknis
penulisan.
Banyak salah ketik (typo), salah orang saat dialog,
keterangan waktu belum jelas, dan pembaca seolah-olah bisa menebak ending
cerita sejak di bab awal karena penulis terlalu cepat 'menjahit' keterkaitan
antara tokoh utama, tokoh pembantu, dan antagonis sehingga kurang memberikan
sensasi twist.
Hendra juga kurang mendramatisasi peristiwa, padahal ada
beberapa plot yang bisa dikembangkan untuk menguras lebih dalam emosi pembaca,
salah satunya di bab awal ketika ayah Abinaya meninggal.
Angle cerita pun berkembang menjadi beberapa kesimpulan:
pertama, kisah Abinaya, seorang pemuda hiperleksia yang sukses di pasar modal
dan dibalut dengan kisah cinta dengan Niken, sahabat kecilnya. Kedua, kisah
seorang pialang saham bernama Greg, rekan Abinaya, yang berhasil menjadi
seorang pialang paling ulung di Bursa Efek Indonesia dengan bantuan Abinaya.
Satu kekurangan lain khususnya soal pasar modal. Bagi
pembaca yang kesehariannya berkutat di pasar modal tentu tak akan banyak
mengernyitkan dahi membaca istilah-istilah di novel ini. Tapi bagi pembaca yang
belum banyak mengenal dunia pasar modal pasti bingung. Apa itu go public, tugas
sekuritas, broker, banteng wulung, tickersaham, auto reject atas (ARA),
mekanisme perdagangan saham, dan istilah lainnya.
Meski begitu di luar kekurangan, novel ini menjadi karya
yang patut diapresiasi oleh insan sastra di Indonesia, apalagi cerita ini
terbilang baru dan mendorong masyarakat untuk berinvestasi sejak dini, nabung
saham.
Ceritanya pun terinspirasi dari kehidupan masa kecil Hendra
Martono yang termasuk anak autis. Jadi, selain mendorong investasi saham, novel
ini memberi edukasi positif betapa anak yang memiliki kemampuan berbeda itu
harus dibimbing, diarahkan dengan baik sehingga mereka menemukan jati diri.
Faktanya, banyak orang-orang terkenal saat kecil termasuk autis, tapi berkat
arahan yang tepat dari orang tua akhirnya mereka bisa sukses.
Salut untuk Pak Hokwan yang masih bisa menelurkan karya
sastra bagus ini di tengah kesibukan sebagai direktur PT Henan Putihrai, salah
satu perusahaan sekuritas anggota bursa. Luar biasa Pak.
Dan kabar baiknya, novel ini akan segera difilemkan. Proses
syuting sudah dimulai sejak November 2017 yang digarap oleh Lingkar Film.
Lokasi syuting di Jakarta dan New York dengan bintang utama di antaranya Roy
Marten dan Ira Wibowo. Semoga film-nya sukses ya Pak. Amin
Words: 927
Dipublikasikan di Kompasiana, 18 Januari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar