Senin, 24 Maret 2008

‘KAU ADALAH YANG KAU TULIS



Oleh: taher heringguhir

“Bukan pyramid dari tembaga bukan pula batu nisan dari perungu mereka bangun untuk dirinya cuma tulisan dan ajaran mereka wasiatkan”

---puisi Mesir kuno-----

Menulis adalah pekerjaan yang bukan saja milik wartawan, kolumnis, cerpenis, novelis dan segala profesi yang berkaitan dengan pena. Tetapi menulis adalah milik semua orang, semua yang mampu mengenal aksara. Entah itu kaum akademisi maupun kaum awam sekalipun, tergantung kualitas isi dan pesan yang disampaikan dari tulisannya. Dari tulisan kita dapat mengabadikan ide, pikiran, unek-unek dan apa pun yang ingin kita tuangkan dalam percikan tinta. Dari tulisan orang dapat menilai diri kita, bagaimana pendapat, kepribadian, dan wawasan keilmuan kita. Tulisan kita adalah prasasti hidup. Sebuah tanda bahwasanya masih ada spirit heroisme yang mendambakan keabadian hidup agar kita selalu dikenang sepanjang masa. Sebuah penolakan akan adanya maut dengan dengan cara laten psikologis.

Menulis adalah bagaimana menuangkan gagasan yang telah lama tertampung dalam ingatan. Otak selalu menyerap berbagai informasi dari segala bidang. Kepala kita penuh dengan opini, kritikan, ide-ide yang bergejolak, minta dibebaskan untuk keluar. Meminjam istilah Azimah Rahayu, otak kita ibarat bendungan yang menampung air. Maka untuk menghindari mampet, kita harus mengalirkannya. Tentunya dengan menulis kita berusaha mengalirkan ide-ide yang kita bawa untuk mencerahkan, memberitahu orang lain atau minimal mengingatkan diri kita sendiri.

Menulis adalah ibadah bila semata-mata mengharapkan ridho Allah SWT. Dengan menulis tidak mengharapkan fee/imbalan akan tetapi sebuah perjuangan lewat tinta dalam mengemban amanah dakwah. Apakah para alim ulama sekaligus penulis seperti Imam Syafi’i ketika menulis kitab Al-Umm-nya, atau Imam Malik ketika menulis Al-Muwatha’-nya itu lantaran memikirkan honor yang mereka terima? Mereka menulis karena komitmen dakwah karena Allah SWT. Di mana pun mereka berada, dengan media yang seadanya, secercah ilmu selalu ditorehkan dengan kekhlasan hati dan kemurnian niat.

Menulis adalah melepas kepenatan, membebaskan jiwa dari alienasi hidup. Banyak karya lahir dari seseorang yang merasa terzalimi jiwanya secara fisik, entah ditawan, dipenjara, diasingkan dan mendapat perlakuan yang menindas hak asasi manusia. Pramoedya Ananta Toer melahirkan masterpiece-nya tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah , dan Rumah Kaca adalah ketika dalam keterasingannya di pulau buru. Sayyid Qutbh melahirkan tafsir Fii Zhilaalil Qur’an di dalam penjara, Ibnu Taymiyah menelorkan Majmu’ Fatawa-nya juga di balik penjara, HAMKA, Muhammad Natsir juga melahirkan ide-ide di balik jeruji besi. Ini menandakan bahwasanya ide tak akan dapat dibelenggu sebagaimana fisik dapat dibatasi gerak-geriknya.

Teruslah menulis, dunia tanpa titik, maka menulislah sampai berakhirnya mata pena. Begitu pikiran bekerja, tangan bergerak, fray Weldon berpesan.

17/07/07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu