BPK, sumber: Tribunnews |
Oleh Tahir Saleh
“Sekarang Rusia menolak Trias Politika sudah
22 tahun yang lalu, Sun Yat Sen juga menolak Trias Politika 30 tahun yang lalu.
Jadi ada aliran yang menyatakan bahwa Trias Politika itu kolot,” kata Bung
Karno, suatu ketika dalam sebuah rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK), 11 Juli 1945.
Pernyataan Bung Karno dalam rapat menentukan
hukum dasar negara ini menegaskan bahwa Trias Politika yang digagas pemikir
John Locke (lalu disempurnakan Montesquieu) tak cukup kuat dalam mendukung
penyelenggaraan negara. Pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif dinilai tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan bersama bagi
seluruh rakyat Indonesia atau dalam istilah Bung Karno, sociale rechtvaardigheid.
Faktanya demikian. Sejarah Indonesia mencatat,
ada pilar lain yang juga menopang dan mengawasi penyelenggaraan negara yang
bersih, transparan, dan adil yakni the
power of press (media massa) dan the
power of people (kekuatan publik). Pers dan aksi unjuk rasa masyarakat
terbukti ampuh menentukan kebijakan negara ketika keputusan di tiga pilar
tersebut tak mampu menjawab kebutuhan nyata di masyarakat.
Dan, ada satu kekuatan struktural lain yang berperan
besar dalam menjaga penyelenggaraan negara lebih bersih, transparan, dan
akuntabel yakni the power of audit,
atau kekuatan auditif. Kekuatan auditif ini penting mengingat salah satu bentuk
penyelewengan pengelolaan negara ialah korupsi, menyalahgunakan keuangan negara
demi kepentingan pribadi.
Korupsi tak bisa dielakkan menjadi momok
menakutkan bagi negara manapun. Imbasnya dahsyat, perilaku koruptif merusak
tatanan negara, menjauhkan rakyat dari kesejahteraan. Korupsi bukan lagi
dilakukan orang perorangan, tapi sudah berjamaah, dari pejabat tinggi hingga wakil
rakyat. Bukan peristiwa baru jika di televisi, radio, media online, pemberitaan soal Operasi Tangkap
Tangan (OTT) menjadi menu saban hari.
Tingkat korupsi Indonesia saat ini memang masih
tinggi kendati angkanya turun. Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perseption Index 2017 yang dirilis Transparency
International menempatkan Indonesia di peringkat ketiga se-ASEAN. Level itu mampu
menyalip Filipina dan Thailand, meski masih kalah dari Singapura di urutan
pertama.
Tingginya angka korupsi jugalah yang menjadi penjegal
kenapa peringkat Indonesia dalam Indeks Kemudahan Berbisnis 2018 atau Ease of Doing Business (EOD) yang dirilis
Bank Dunia pada November tahun lalu kurang melesat. Peringkat EOD Indonesia
naik ke level 72 dari 190 negara yang disurvei, dari sebelumnya 106 pada 2015,
lalu 91 pada 2016. Dalam Global
Competitiveness Index 2017-2018 juga menyebutkan bahwa birokrasi dan inefisiensi
menjadi tolok ukur perbaikan peringkat Indonesia yang naik dari posisi 41 ke
posisi 36.
Pada kondisi demikian, hadirnya kekuatan
auditif menjadi begitu penting dalam menjaga negara tetap berjalan dalam
koridor demi sociale rechtvaardigheid
sebagaimana ditegaskan Bung Karno dalam buku Badan Pemeriksa Keuangan, Dalam Proses Perubahan UUD Tahun 1945
terbitan 2012 itu.
Kekuatan auditif ini dimanifestasikan lewat eksistensi
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang hadir sejak 1 Januari 1947. Kehadiran BPK guna
mengawal harta negara. Hanya
saja, perjuangan BPK bukan tanpa rintangan. Di zaman penjajahan Belanda, BPK,
ketika itu bernama Algemene Rekenhamer,
hanya menjadi alat pemerintah. Begitu pula di zaman pra-kemerdekaan, fungsi BPK
masih sekadar tukang catat keuangan negara.
Ketika pemerintahan beralih ke Orde Lama di
bawah Presiden Soekarno, kendali pemerintah tetap ada. Presiden Soekarno kala
itu bertindak sebagai Pemeriksa Agung, sementara Ketua BPK hanya sebagai menteri
yang berada di bawah komando Presiden. Peranan BPK di masa Orde Baru pun direduksi.
Saat itu menjadi hal yang mustahil bagi BPK untuk memeriksa aset-aset utama sumber
dana pemerintah seperti Pertamina, BNI, dan bank-bank BUMN. Buku saku Mengenal Lebih Dekat BPK mengungkapkan
bahwa laporan-laporan yang disajikan BPK tidak mencerminkan kondisi keuangan
negara yang sebenarnya, bahkan laporan tersebut juga haram dipublikasikan karena
menjadi dokumen rahasia negara.
Hilangnya fungsi audit ini menyebabkan BPK ‘pincang’.
Korupsi pun akhirnya merajalela di zaman Orde Lama dan Orde Baru karena ketiadaan
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Padahal, syarat
penting tata kelola negara yang baik ialah transparansi dan akuntabilitas
keuangan negara.
Bagaimana mungkin menciptakan sociale rechtvaardigheid jika sang
pengawas dan pemeriksa keuangan dikebiri? Bagaimana rakyat bisa sejahtera kalau
anggaran negara bocor di sana sini, uang pajak disunat oleh oknum, dan kebijkakan
ekonomi pemerintah kurang tepat sasaran lantaran asimetris informasi berkaitan
dengan kondisi keuangan negara? Di sinilah peran BPK, memastikan bahwa pemerintah
melaksanakan kebijakan yang tepat sasaran demi mendorong pertumbuhan ekonomi,
dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Di tengah kondisi demikian, perbaikan dan
amandemen terus dilakukan sehingga sejak era Reformasi, setelah Orde Baru
runtuh tahun 1998, segala upaya memperkuat BPK semakin membuat lembaga ini kian
independen dan mandiri. Pada akhirnya posisi BPK benar-benar berdiri sejajar
dengan presiden lewat UU No.15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU No.15/2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan.
Dua beleid tersebut tegas menetapkan kebebasan
dan kemandirian di bidang pemeriksaan. Artinya, BPK bebas dan mandiri menentukkan
objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu
dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan.
Semuanya bebas dan mandiri.
Sejak disokong regulasi yang kuat, kinerja
BPK positif dari tahun ke tahun. Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara dalamsiaran pers mengatakan hingga semester 1 2017, BPK berhasil menyelamatkan
keuangan negara mencapai Rp13,70 triliun. Jumlah itu berasal dari penyerahan
aset dan penyetoran ke kas negara, koreksi subsidi, dan koreksi cost recovery (pengembalian biaya
operasi di sektor migas). Selain itu, pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD), juga terjadi peningkatan capaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
hampir sekitar 70% pada 2016.
Tak hanya itu, BPK juga memberikan 463.715
rekomendasi yang membuat pemerintah, BUMN/BUMD dan badan lainnya bekerja lebih
tertib, hemat, efisien, dan efektif. Dari seluruh rekomendasi itu, 320.136
rekomendasi atau 69% sudah ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi. Selama 4
tahun terakhir, atau sejak tahun 2013 sampai dengan 30 Juni 2017, BPK menerbitkan
laporan hasil pemeriksaan penghitungan kerugian negara sebanyak 120 kasus
senilai Rp10,37 triliun dan US$2,71 miliar atau ekuivalen dengan Rp46,56
triliun.
Tentu saja, peran BPK jauh lebih luas dari
mencegah kebocoran korupsi. BPK juga sejatinya berperan dalam menopang kinerja
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak keberhasilan penindakan KPK bukan hasil
kerja lembaga anti-rasuah itu semata, melainkan banyak temuan besar BPK yang
menjadi bahan bagi KPK menjalankan tugasnya, sebuah sinergi positif demi
keadilan.
Berjalan baiknya kekuatan auditif melalui
kinerja positif BPK ini diharapkan mampu menciptakan tata kelola keuangan
negara yang sehat. Apalagi ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun membaik
meskipun belum mencapai level pertumbuhan yang sesuai dengan target APBN.
Kabar baiknya, di mata internasional, ekonomi
Indonesia masih dianggap salah satu yang bersinar. Tiga lembaga rating global
bahkan sudah menyematkan peringkat layak investasi (investment grade) yakni S&P, Moody's, dan Fitch Ratings.
Awal tahun 2018 ini, lembaga rating Japan Credit Rating Agency bahkan
meningkatkan peringkat utang Indonesia dari BBB- dengan outlook positif menjadi BBB dengan outlook stabil. Sebelumnya, tahun lalu, dalam survei kepercayaan
masyarakat Gallup World Poll atau Government at a Glance 2017, Indonesia
berada di posisi nomor satu untuk tingkat kepercayaan publik.
Semua sentimen positif tadi selayaknya tidak
hanya menjadi sebuah angka di atas kertas, melainkan mestinya menjadi amunisi
bagi para pemangku kebijakan pengelolaan negara untuk saling bersinergi,
termasuk BPK dalam menciptakan pengelolaan keuangan negara yang bersih dan
akuntabel.