Oleh Taher Heringguhir
Berkali-kali kita lihat di televisi beragam acara menampilkan kebobrokan, klenik, takhayul, khurafat, dan kebodohan yang luar biasa. Dan kacaunya lagi segala deviasi ini dihubungkan dengan kebodohan umat Islam. Kita sepakat bahwasanya kebobrokan ini punya daya implisit merobohkan tatanan intelektual umat Islam yang memang selalu dan tak pernah berakhir dirongrong. Sebut saja film-film anak seperti “Entong” dan “Eneng” terlihat sangat baik dikonsumsi anak-anak muslim, nyatanya film tersebut menampilkan hal-hal magis, di luar akal manusia. Sepertinya umat Islam dikonotasikan dengan segala yang konservatif, kampungan, khayalan dan ini menjadi senjata ampuh bagi mereka yang menuding Islam sebagai agama kaum marginal untuk memperkuat argumen itu. Kenapa tidak mencoba teknologi sebagai perangkat atau tema dalam film-film anak. Walaupun mengandung nilai moral bahwa anak yang baik pastinya akan mendapat kebaikan dan pertolongan karena disayang Tuhan tapi ekses yang terjadi adalah daya juang anak (survive) jadi menurun, karena segala persoalan yang dialami anak akan mudah diselesaikan dengan benda-benda ajaib. Lain entong lain sinetron anak-anak “Candy”. Sepintas dari judul pasti kita terpedaya. Bukan lika-liku kisah anak, melainkan kisah cinta layaknya orang dewasa dan parahnya lagi ini disajikan stasiun TV pada jam-jam premier. Puncaknya adalah pada bulan Ramadhan ini, sinetron-sinetron Ramadhan yang mengelabui kita dengan busana muslim tapi nyatanya edukasi seksual yang terpampang.
Mungkin kita kembali pada zaman di mana pra-Islam datang ke dunia Arab. Maka tak heran salah seorang ulama India terrkenal Sayyid Abu A’la Maududi memperkenalkan sebuah term “jahiliyah modern”. Makna jahiliyah sebenarnya punya makna kebodohan dalam konteks moral. Kini istilah jahiliyah dalam pemakaina modern digunakan untuk menyebut urusan-urusan di dunia muslim kontemporer yang dinilai sebagai keadaan tidak islami. Maududi juga mengatakan bahwa modernisme adalah “barbarisme baru” yang menggabungkan tata nilai, gaya hidup, teori politk, dan sistem pemerintahan yang menurutnya secara mendasar tidak selaras dengan Islam. Kita mengetahui modenisme telah menyediakan segala kemudahan, dari mulai akses internet, mode, telekomunikasi, dan teknologi lainnya. Serta merta Islam pun tak menghalangi kemajuan teknologi malah sebaliknya _sesuai dengan kitab suci al-Qur’an_ sangat mendukung. Kita juga mengetahui akan diangkatnya derajat orang-orang yang berilmu. Sekali lagi kita tahu semua kelebihan modernisme yang di dalamnya termasuk teknologi. Akan tetapi oknum-oknum operator meodernisme salah kaprah dalam memaknai ini.
Jadilah kita kembali bermoral jahiliyah seperti sebelum Islam datang sebagai “savior” peradaban. Modernisme sekarang ialah keadaan di mana manusia mendominasi atas manusia lainnya (homo homini lupus), hukung rimba berlaku sekarang, seperti halnya kaki lebih kokoh dari lengan. Reduplah kepatuhan akan Sang Pencipta, justru kepatuhan kepada manusia yang diagungkan. Tak dinyana feodalisme dan kolonialisme yang dulu telah diberangus kembali hadir mengisi perjalanan hidup bangsa. Mau masuk kerja harus bayar kepada penyalur ditambah lagi sistem kontrak yang digunakan hampir sebagian besar perusahaan asing di negeri ini. Umat Islam jadi budak di negeri yang berpenduduk mayoritas muslim di dunia. Kini saatnya lahir Qutb-Qutb baru, para Qardhawi baru, sejuta al-Khawarizm baru, calon Maududi baru. Karena kita pencipta sejarah kaum kita. Sejarah penuh rencana, kematangan, progresifitas, dan jihad.
Wallahu a’lam //26/10/07