Sebuah obrolan seks di tukang cukur
Tahir Saleh
OBROLAN tempo hari bukan masalah ekonomi yang berat-berat, bukan soal utang luar negeri, atau suku bunga BI Rate yang 6,5%. Bincang-bincang kala itu soal biasa, normal karena soal seks, ihwal yang tak ada habis-habisnya.
Soal seks adalah bicara tentang keseharian masyarakat dari orang-orang penting hingga orang-orang yang tak penting. Seks, diperbincangkan oleh remaja, dewasa, bahkan manula. Mulai dari tukang ojek, tukang cukur, pegawai, pelajar, sampai pejabat.
Itu pula yang saya temui ketika suatu pagi mendatangi tempat cukur rambut atau barber shop dekat rumah di Bekasi Utara. Baru berapa detik injak depan rumahnya, sudah disamber percakapan lintas generasi, tema seks.
''Wah kalau mau 'maen' mah jangan dipinggir jalan,'' kata tukang cukur kepada pelanggannya, si bapak berambut putih klimis yang khusyuk mendengarkan.
Otak saya langsung bekerja padahal saya baru sampai dan duduk menunggu giliran tetapi sudah disambut dengan obrolan panas itu. Saya, tak bisa mengelak, terus menyimak diskusi singkat tanpa pretensi itu yah sekadar mencairkan suasana.
Pelanggan tukang cukur memang ketika itu tak terlalu ramai, hanya satu yang sedang dicukur, seorang bapak setengah baya yang juga menunggu giliran di samping saya, dan saya sendiri. Ruangan tukan cukur ini tak terlalu luas, sekitar 2x3 meter. Saat masuk ke dalam, ada tempat duduk berjejer panjang, di dinding terpasang foto-foto model rambut dari model Bruce Willis, Tria Changcuters, Firman Utina, sampai modal Ridho Rhoma.
Soal pembicaraan itu, entah siapa yang mulai. Tau-tau saja kata-kata itu keluar. Si tukang cukur, namanya kang Budi, bercerita daerah Cibitung, Jawa Barat, menjadi lokasi penjaja seks yang terkenal di Bekasi. Terkenal dengan nama lokalisasi Malvinas, ini bukan nama perang antara Argentina dan Britania Raya atas hak kepemilikan Kepulauan Falkland pada PD II.
Sayangnya, katanya, wanita di lokasi ini masuk kelas rendah karena kebanyakan mereka memenuhi hasrat seks para sopir, kuli panggul, dan pekerjaan kasar lainnya. Berbeda dengan lokalisasi lain yang lebih elit di mana jadi pilihan hidung belang kelas kakap, om senang dengan kantong tebal.
“Kalau mau 'maen' bagus,” lanjut kang Budi, seharusnya ke Bandung karena banyak tersedia pelajar-pelajar atau mahasiswi. Tentu mereka lebih intelek, bersih, dan menggairahkan seperti mangga mengkel.
Apa pula itu, agak salah persepsi ini. Yang namanya seks, mau si wanita atau pria dari kelas bawah atau mahasiswa/i sama saja. Toh seks itu berarti kemampuan pemberian Ilahi (given). Masyarakat modern lahir dari proses anak beranak orang-orang terdahulu dengan pengetahuan given tersebut.
Bedanya mungkin pada sisi gaya bercinta saja yang sering digambarkan dalam buku-buku kuno, transkip klasik. Di India terkenal apa yang disebut kamasutra. Jadi seks sudah terpatri dalam diri manusia.
Si tukang cukur melanjutkan bila ingin jenis wanita seperti di Cibitung, datanglah kewilayah Dago. Di sana banyak wanita semacam itu.
''Wah kalau gitu mah jauh-jauh mending ke Mangga Besar,'' kata pelanggan yang masih tenang dicukur rambutnya.
Mangga Besar merupakan salah satu lokasi seks laten karena dibungkus dengan banyaknya karoke-karoke remang. Saya pernah ke sana dan memang banyak sekali bar. Bahkan dulu, salah satu teman kampus, bekerja di bar terkenal di sana. Saat itu kalau tak salah inget, setiap hari terkadang ada streaptese atau penari telanjang.
''Kalau di jalan mah kadang AIDS ga ada, kalau di rumah-rumah gitu malah rawan,'' timpal pelanggan itu.
Wah ini juga persepsi yang salah di masyarakat. Penyakit menular seksual baik sipilis atau raja singa maupun AIDS sangat berpotensi ditularkan oleh penjaja seks. Untuk AIDS sendiri yang paling tinggi memang jarum suntik, tetapi seks menjadi jalan utama lainnya penyebaran penyakit kelumpuhan kekebalan tubuh ini.
''Mending 'main' sama istri sajalah, aman, ga ada yang bisa gantiin istri biar gaya mainnya luar biasa,'' tegas tukang cukur.
''Wah itu mah abis kita bicara ini, tapi emang istri paling utama sih meski kadang bosen karena sering hahaha,'' kata pelanggan sambil tertawa lepas. Dia tak merasa ada bujangan yang duduk di belakang tempat dia bersandar yang sedang menyimak takjim.
Baguslah, akhirnya mereka sadar juga bahwa sebaik-baiknya rumput tetangga lebih baik rumput sendiri. Lagipula analoginya sendok makan yang dipakai ramai-ramai oleh orang yang tak kita kenal bagaimana rasanya? Menjijikan.
Soal wanita tuna susila, pekerja seks komersial, atau pelacur, saya jadi ingat ketika pulang kantor. Berhubung setiap hari lewat depan LP Cipinang Jakarta Timur, iseng-iseng saya tanya harga cewe-cewe yang mangkal sepanjang rel kereta Stasiun Jatinegara itu.
Sambil mematikan motor dan berpura-pura mencari korek, tiba-tiba dari remangnya lampu malam itu saya didekati dua perempuan. Satu pakai baju merah marun, satu lagi hanya dililit tangtop hitam. “Bang punya rokok?” Tanya mereka serempak.
“Wah rokok apaan nih?” goda saya.
“Yah abang,,yah rokok lah bang, emang abang mau ngapain?” tanya satu dari mereka lagi. Yang perempuan berbaju tanktop sibuk membenahi perabotannya.
“Emang berapa mba tarif atas tarif bawah?” kata saya lagi.
“Yee abang, emang taksi, pake tarif atas bawah?” “Abang mau pake kamar Rp100.000, kamarnya dari stasiun Jatinegara belok kiri.”
“Hah?Seratus mba?itu atas bawah? Balas saya.
“Yah kalo mau sama bawahnya, Rp150 deh,” katanya lagi.
“?????
Untung, iman masih kuat meski amin juga ketar ketir. Dengan uang segitu, tentu seks bukan menjadi barang yang mahal. Seks bahkan kini tak menjadi tabu. Aparat-aparat juga tak menerbitkan PSK-PSK itu, karena mereka yang mangkal di sana beralibi dengan menjadi penjual teh botol. Sebagai lelaki, mestinya membentengi diri. Seperti saran Bang Rhoma Irama, mending cari istri Solehah.
“Mas, uda mas, ayo duduk di sini” sapa si tukang cukur, tiba giliran saya rupanya.
***
Gambar: actub.orgbeta