Photo By Sindonews |
JUMAT lalu,
23 November, saya bertemu dengan Pak Syafei, nama lengkapnya Syafei Hadi, Senior
Marketing Executive OSO Jet yang dulu namanya Enggang Air. Awalnya saya janjian
ngobrol dengan Pak Harry Priyono, commercial manager-nya tapi yang bersangkutan
meminta Pak Syafei yang bicara saja prospek bisnis mereka.
Obrolan
kami sebetulnya berkutat soal kerja sama perusahaan dengan salah satu provinsi
di ujung timur Indonesia, Papua, tapi saking enaknya ngalor ngidul soal bagaimana
pengalamannya di industri penerbangan.
Pak
Syafei berperawakan agak kurus, usianya mungkin lebih dari 50 tahun. Siang itu
dia memakai batik dan bercelana hitam. Di wajahnya, kerutan—kerutan kecil sudah
nampak, bagi saya dia mestinya sudah pensiun tapi dia masih semangat bercerita.
Dulu,
1970-an, dia bekerja di Malaysia Singapore Airlines atau MAS. Maskapai ini
gabungan milik Malaysia dan Singapura. Tepatnya pada 1972, MAS masuk ke
Indonesia dan dia langsung bekerja di maskapai itu.
Lalu setahun kemudian sekitar 1973, maskapai itu terpisah menjadi dua maskapai penerbangan
karena Singapura saat itu mulai maju pesat, katanya didukung pendanaan wah dari
Amerika.
MAS terbagi
dua menjadi Malaysia Airlines (MAL) sendiri dan Singapore Airlines (SQ). Pak
Syafei bergabung dengan MAL hingga berhenti pada 2005, itu kalau engga salah
dengar. Dia sempat bekerja di tempat lain lalu akhirnya berlabuh di Enggang
Air, perusahaan carter milik pengusaha dan politisi Osman Sapta Odang (OSO Group).
Di MAL,
jabatannya cukup tinggi di Indonesia saat itu. Dia adalah satu—satunya Airport
Manager orang asli Indonesia di maskapai penerbangan asing yang beroperasi di
Tanah Air. “Hebat juga Pak Syafei”, kata saya.
Saat
bertugas di MAL, Pak Syafei yang asli Dayak ini pernah ditugaskan ke banyak
negara termasuk ke Timur Tengah guna meneliti potensi pasar pembukaan rute MAL di
negara—negara tersebut.
Dari
pengalamannya selama lebih dari 30 tahun, bisnis pesawat terbang khususnya regular
itu baginya bukan bisnis gampangan, penuh dana besar, penuh risiko bisa-bisa
berujung pada kebangkrutan. Contohnya itu dialami oleh Adam Air.
Mungkin
masih ingat, Adam Air ini salah maskapai penerbangan yang menerapkan
penerbangan biaya murah atau Low Cost Carrier atau LCC. Didirikan pada 2002
oleh pengusaha dan politisi Golkar, Agung Laksono dan Sandra Ang. Adhitya
Suherman menjabat presiden director dan Gunawan Suherman sebagai CEO.
“Saya
salah satu penasehat waktu Adam Air didirikan, itu kawan saya, cuma saya
berkali—kali bilang jangan terlalu banyak buka rute dulu, jangan serakah, fokus
pada rute yang ada dulu” katanya.
Sayangnya
saya lupa tanyakan yang mana sahabat dari Pak Syafei di Adam Air itu. Tapi yang
jelas, Pak Syafei mendapatkan kata—kata yang mengagetkan bagi saya.
“Ada tiga
hal yang cepat habisin duit, pertama’ main’ perempuan, kedua main judi, dan
ketiga bisnis pesawat, ini saya dapat dari kawan saya saat Adam Air bangkrut,”
katanya.
“Kenapa begitu
Pak? Tanya saya.
“Loh,
coba dilihat, bisnis pesawat, itu yang regular, dia buka rute yang sepi
perginya ada, tapi pulangnya engga ada penumpang. Itu nutupinnya dari mana coba
duit operasionalnya? Yah dari rute—rute yang penuh,” katanya.
Saat ini dunia
penerbangan kita memang menjamur bisnis pesawat LCC tadi. Garuda Indonesia punya
perusahaan dengan tarif lebih murah yakni Citilink, lalu Batavia Air, AirAsia, Sriwijaya
Air, dan pemimpin pasar penumpang domestik saat ini, Lion Air.
Kebutuhan
akan pesawat terbang kini bukan lagi bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke
atas, tapi menengah ke bawah pun mulai menggunakan pesawat, harganya kadang
lebih murah dari kapal laut atau kereta.
Dari
pengalamannya itu, baginya kebanyakan kita di Indoensia menempatkan safety atau
keselamatan di urutan nomor dua setelah keuntungan sebesar—besarnya. Itulah
kenapa dia terkadang melihat pesawat saat sudah sampai di bandara tujuan dan
akan kembali lagi, tim pembersih pesawat itu masih ada ketika penumpang akan
naik ke pesawat itu. Padahal waktu membersihkan pesawat itu setidaknya 1 jam.
Contoh
lainnya, di MAL, katanya, terjadi insiden kaca pecah sedikit saja kena benturan
awan, pesawat itu engga akan berangkat sebelum kaca yang rusaknya kecil itu
diperbaiki. Ini berbeda dengan maskapai di Indonesia.
Sekarang,
katanya, maskapai penerbangan Timur Tengah yakni Emirares dan Etihad sangat—sangat
memperhatikan keselamatan, bahkan pemeriksaan juga dilakukan di atas pesawat
saking memenuhi prosedur standar mereka.
Dari
obrolan dengan Pak Syafei saya jadi tahu mengapa bisnis penerbangan itu tidak
mudah. Seorang eksekutif maskapai penerbangan regular pernah bilang kalau
keuntungan mereka itu saat peak season, misalnya Lebaran, Natal, Liburan, dan
Tahun Baru, sisanya tipis, bisa jadi merana.
Dalam
bisnis penerbangan memang sulit bicara margin atau selisih keuntungan yang diperoleh.
Saya
masih ingat saat Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar bilang bahwa bisnis
airlines itu memang capital intensive
dan human intensive sekaligus,
marginnya kecil sekali cuma 4%-5% persen, hanya penerbangan murah yang margin
profitnya bisa mencapai 10%.
“Wah
kalau begitu lebih enak bisnis carter dong Pak? kata saya
“Iyah
enakan bisnis carter,” kata Pak Syafei.
Obrolan kami
pun beralih ke soal Syiah dan Sunni, bagaimana peran Amerika dalam menambah
runcingnya konflik kedua sekte Islam tersebut, atau soal penetrasi masyarakat
China, hingga Jokowi—Ahok.