Sabtu, 15 November 2014

70 TAHUN PUTU WIJAYA

Perenungan Seorang Budayawan

Mas Putu, bagi saya, bukan sastrawan, aktor, dan sutradara. Beliau adalah budayawan.” –Butet Kartaredjasa, aktor

Oleh M. Tahir Saleh

TUBUH seniman besar ini tak lagi tegap. Dia berjalan perlahan ke panggung sambil dipapah putra lanangnya, Taksu Wijaya. Masih dengan topi baret putih dan kemeja batik, Putu Wijaya menampilkan salah satu monolognya berjudul Merdeka bagi hadirin yang datang pada peluncuran buku Bertolak dari yang Ada, Kumpulan Esai untuk Putu Wijaya 70 Tahun di Serambi Salihara, Jumat pekan lalu.

Putu dan Taksu, by Sarasvati
Saat bermonolog sembari duduk, suaranya masih lantang—tidak ditelan fisiknya yang lemah. Retorika, diksi, dan intonasinya begitu kuat seperti masa muda dulu, walau harus diakui agak terbata-bata dalam beberapa kalimat. Hadirin pun tersihir oleh penampilan sastrawan, aktor, pelukis, dramawan, dan sineas ini.

Merdeka ditulis pada 1981 di Jakarta, bercerita tentang seseorang bernama Merdeka yang ingin mewarisi segala apa yang dimiliki almarhum ayahnya. Bahkan Merdeka ingin mewarisi alat vital sang ayah yang terkenal berprinsip antikemubaziran. Merdeka adalah satu dari sekian banyak gubahan seniman asal Bali bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya ini. Monolog lain bertajuk Babi (1979), Iri (1978), Kalau Boleh Memilih Lagi (1978), Memek (2001), Pian (1979), dan Kemerdekaan (1995). Judul-judulnya pendek, isinya kadang di luar nalar, penuh kritik sosial, keterkejutan, cukup berani—terutama dalam pemilihan kata yang mampu disuguhkan dengan baik tanpa vulgar.

Bagi Putu, memasuki usia 70 tahun pada 11 April lalu merupakan titik balik untuk mengevaluasi apa yang telah dia karyakan selama ini. “Usia 70 tahun, saya harus membuat evaluasi,” katanya malam itu. Seluruh karyanya—dari teater, puisi, monolog, cerpen, hingga lukisan—berangkat dari dua prinsip: bertolak dari yang ada dan teror mental.

Malam itu Putu merayakan ulang tahun bersama para undangan dari berbagai kalangan. Perayaan ini bak penanda kelahiran kedua Putu setelah sebelumnya terserang sakit. Bukan hanya seniman Butet Kertaredjasa, Sapardi Djoko Damono, Ikranegara, Goenawan Mohamad, Seno Gumira Adjidarma, dan Iwan Abdurrahman yang datang; hadir pula Menteri BUMN Dahlan Iskan dan mantan Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh. Putu mengundang pakar, seniman, pengamat, dan para sahabat untuk menulis esai. Sayang, buku yang disponsori oleh Djarum Foundation, Pentas Grafika, Salihara, dan Galeri Indonesia Kaya ini hanya dicetak dalam jumlah terbatas. Tidak dijual, hanya disumbangkan ke perpustakaan pusat-pusat kebudayaan. Selain peluncuran buku, acara ini juga diisi dengan pementasan tiga naskah karya Putu: Bila Malam Bertambah Malam, Hah, dan Jpret—oleh Teater Mandiri.

Dalam berkarya, hampir semua sejawatnya mengakui bahwa seniman pendiri Teater Mandiri ini pribadi yang fokus. Goenawan Mohamad, pendiri majalah Tempo, memandang Putu sebagai pribadi yang sangat cuek, cenderung tak peduli sekitar, tapi mampu fokus dan mencurahkan perhatian pada kerja kreatif. “Dia tak pernah berhenti mencipta, termasuk saat antre menunggu panggilan dokter,” kata Goenawan. Putu mengakuinya. Suatu ketika, saat masih menjadi wartawan Tempo, Putu bahkan tetap menulis meski ayahnya baru saja berpulang. “Ketika sedang menulis laporan tentang diskotek, kakak saya menelepon: ayah saya meninggal. Saya tunda air mata, saya andaikan tak ada yang terjadi. Setelah laporan selesai, saya baru pulang memasuki duka.”

Di mata Dahlan Iskan, Putu adalah senior yang pendiam, tapi produktif. Berkat Putu-lah, Dahlan tertarik nonton teater. “Sebagai wartawan pemula saya kagum, kok ada seniman Indonesia yang mendapat kesempatan mempelajari teater di New York. Pasti hebat dia!” kata Dahlan. Maka ketika berkesempatan ke New York, sasarannya menonton teater di Broadway. Saat Putu sakit, bekas Dirut PLN ini berusaha ikut mencari dokter terbaik agar sang seniman kembali pulih.

Aktor Butet Kertaredjasa pun bersyukur sastrawan-aktor-sutradara Putu Wijaya bukan sejenis calo minyak bumi yang berpenghasilan Rp300 miliar per hari. “Berapa tuh sebulannya? Setahunnya? Lha kalau sampai seorang Putu penghasilannya macam itu, sangat berbahaya saat mewujudkan kredo keseniannya.” Bila itu terjadi, properti teater bakal berganti menjadi tas jinjing Hermes, sepatu bermerek, dan aktor-aktornya mendadak bertubuh tambun karena timbunan lemak. Untung saja tidak, sebab bagi Butet yang dilakoni Putu adalah sebuah ikhtiar menyiapkan manusia yang bisa membaca dan berani mengoreksi diri, apakah sekadar manusia atau sudah menjadi manusia dalam arti sebenarnya. “Pada keberhasilan ini, Mas Putu, bagi saya, bukan sastrawan, aktor, dan sutradara. Beliau adalah budayawan.”

Iwan, by Republika
Lain lagi dengan Iwan Abdulrachman. Mantan personil grup Bimbo ini memandang Putu sebagai seniman dengan tingkatan atau maqom tinggi. Putu rela ke Bandung berboncengan naik Vespa tua dari Jakarta, menginap di emper Gedung Asia Afrika hanya untuk mewawancarai Iwan bersama grupnya yang tergabung dalam Pencinta Lagu Universitas Padjajaran. Putu jualah yang jauh-jauh datang ke tengah hutan di kaki Gunung Burangrang untuk menyambangi Iwan. “Jangankan hadir bertatap muka, baru ingat sosoknya saja, beliau sudah sangat memberi arti kepada saya.”

Malam itu, dua lagu dimainkan oleh Iwan untuk Putu. Dua tembang indah dengan petikan gitar, menandai sebuah perenungan usia 70 tahun. Semoga ini tak sekadar menjadi selamatan ulang tahun, tetapi menjadi titik kontemplasi juga bagi generasi muda karena gagasan dan pikiran Putu Wijaya berperan penting dalam proses berbudaya bangsa. “Jangan bersedih Mas Putu, hidupmu tak sia sia,” begitu Iwan menutup lagunya. □

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 21 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu