Jumat, 14 November 2014

TEH WARISAN SANG TABIB

Ini bukan obat, tapi minuman berkhasiat obat karena mampu memperbaiki tubuh dari dalam. Hanya saja masih ada persepsi negatif

Oleh M. Tahir Saleh

ALKISAH, Kaisar Inkyo di Jepang menderita sakit. Seorang tabib bernama Kombu dari Korea menyembuhkan kaisar dari sembelit akut dengan memberi ramuan teh. Padahal, saat itu (414 SM) banyak tabib gagal menyembuhkan kaisar. Untuk menghormati si tabib, ramuannya dinamai Kombu-Cha atau Teh Kombu—dalam bahasa China dan Jepang, cha artinya teh. Sejak itu, teh ini menyebar ke penjuru dunia.

Para pedagang mengirim teh ini lewat rute Timur Tengah setelah pertama kali masuk ke Rusia dan Eropa Timur. “[Teh] hadir sebagai konsekuensi tak terelakkan dari Perang Dunia II, karena makanan langka,” tulis situs Kombuchay.com, produk teh kombucha dari Yordania. “Ada beberapa versi sejarah teh ini. Ada yang bilang dari Manchuria, Jepang, dan Korea. Tapi, saya lebih percaya versi terakhir [tabib],” kata Arsenius Sutandio, pebisnis Indokombucha, produk teh kombucha asal Bandung, pekan lalu.

Belakangan ini teh kombucha menjadi tren masyarakat urban di Tanah Air meski sudah ribuan tahun menjadi minuman kesehatan di dunia—di Swedia terdapat Swedish Kombucha dan di Ohio ada Raw Kombucha. Teh ini sebenarnya nama internasional untuk kultur (budidaya) berwujud gelatin atau agar-agar yang terdiri dari koloni bakteri positif dan ragi sebagai bahan dasar. Kombucha bukan Jamur, tapi disebut SCOBY (symbiotic culture of bacteria and yeast), sekumpulan bakteri dan ragi membentuk struktur selulosa dan hidup bersama secara simbiotik. Belum ada istilah yang pas sehingga masyarakat terbiasa menyebutnya sebagai “jamur”.

Lantaran kombucha hidup di air dan perlu gula sebagai makanan, sering kali kombucha dimasukkan dalam air teh manis. Selama kultur berada di dalam teh manis, gula dimakan ragi dan menghasilkan alkohol. Lalu alkohol diproses oleh bakteri positif dan menghasilkan sembilan jenis asam dan enzim. Hasilnya: teh manis ini berubah rasa menjadi asam-manis, bersoda, dan dinamakan sebagai teh kombucha. Setelah saya cicipi, rasanya memang asam, agak semriwing di lidah seperti bersoda, tapi segar. Barangkali yang mengganggu itu baunya.

Di Indonesia, produk teh ini tersebar di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Bandung. Salah satu produsennya bernama Arsenius. Pria 40 tahun yang akrab disapa Arsen ini memproduksi bibit kombucha dan tehnya melalui merek Indokombucha. Awalnya tak ada niat karena dia kuliah manajemen informatika dan bekerja sebagai staff IT. Pada 2002, seorang kawan mengenalkan kombucha, dan pada 2008 dia membuat blog dan menulis artikel tentang kombucha.

Berbekal info dari dunia maya, dia sadar ternyata bibit kombucha bisa dijual lewat iklan-iklan gratis. Sayangnya artikel kombucha berbahasa Indonesia sangat sedikit, jauh ketimbang di Amerika yang sudah populer. Bahkan produk kombucha dijual di supermarker besar dan menjadi minuman artis-artis Hollywood. Arsen kemudian berhenti bekerja pada Desember 2011 dan 100% terjun berbisnis kombucha. “Potensi kombucha di Indonesia sangat besar! Ini tambang emas yang sama sekali belum digarap!” kata ayah satu anak berusia tujuh tahun itu.

Manfaat utama teh ini ialah detoksifikasi atau membuang racun dari dalam tubuh, melancarkan pencernaan, mempercepat regenerasi sel, serta meningkatkan daya tahan tubuh dan fungsi organ dalam. Setelah racun dibuang, regenerasi sel berjalan baik, daya tahan tubuh naik, dan fungsi organ dalam membaik. Begitu banyak penyakit yang bisa dilawan oleh tubuh. “Teh ini bukan obat, tapi minuman yang berkhasiat obat karena bisa memperbaiki tubuh dari dalam,” katanya. “Banyak testimoni dari mereka yang sembuh, mulai dari jerawat, flu, sembelit, rematik, asam urat, maag akut, hingga kista, tumor, diabetes, dan kanker payudara.”

Setelah minum 14 hari, minggu lalu saya check up di Penang, hasilnya radang serviks saya sembuh,” kata Titien, konsumen teh ini di Jakarta. “Ibu mertua saya maag akut, semua obat diminum. Tak ada hasil, lemes seperti orang ngidam, muntah-muntah, selalu pakai jaket, kaos kaki, enggak bisa kena angin. Setelah minum dua kali sehari, alhamdulillah,” timpal Eem, konsumen Indokombucha di Semarang.

Namun, dua catatan yang perlu dijelaskan ialah beredar informasi bahwa kombucha berbahaya bagi mereka yang punya imunitas rendah. Faktanya, kata Arsen, itu bukan efek samping, melainkan efek dari detox: feses berwarna hitam dan berminyak; keringat berbau; pusing, perut sakit, badan lemas, jerawat, dan lainnya. “Tapi efek ini biasanya hanya 3-7 hari dan tak semua mengalami ini, tergantung banyaknya racun dan daya tahan tubuh. Setelah efek detox selesai, tubuh terasa ringan dan nyaman.” Ada pendekatan berbeda antara metode medis barat dan TCM (traditional chinese medicine). “Ada black campaign dari pihak farmasi yang menyebut kombucha punya efek samping berbahaya, mengakibatkan kematian, dan belum ada uji klinis. Padahal di balik semua itu, mereka mematenkan kombucha sebagai salah satu produk obat dan juga kosmetik.”

Kendala lain, yakni keraguan teh ‘jamur’ kombucha yang merupakan hasil fermentasi—proses pengolahan dengan mikroba—dan mengandung alkohol. “Isu teh ini haram tidak benar. Makin lama proses fermentasi, gula pertama kali habis dimakan ragi; lalu alkohol juga habis dimakan bakteri. Yang tersisa adalah rasa asam,” kata Arsen. Pihaknya sudah meneliti kandungan alkohol dari tiga usia fermentasi yang berbeda di lab Universitas Pasundan, Bandung, yakni usia satu minggu, satu bulan, dan tiga bulan. Hasilnya, kandungan alkohol hanya 0,87%, 0,33% dan 0,11%, di bawah batas MUI 1%. “Saya belum ke MUI karena keterbatasan dana. Infonya MUI masih mempelajari proses fermentasi kombucha. Tapi, kami punya sertifikat Dinas Kesehatan.”

Saya belum meneliti teh ini, tapi info dari rekan memang ada alkohol, mirip dengan teh cider [minuman hasil fermentasi sari buah apel dan mengandung alkohol 0,94%],” kata Prof. Evy Damayanthi, dari Departemen Gizi Masyarakat IPB. Selama ini dia meneliti manfaat teh hijau dan teh hitam yang berfungsi meningkatkan penurunan kadar glukosa darah. “Bagi saya bukan soal kadar, tapi ada atau tidak alkoholnya.”

Tak bisa dimungkiri, banyak kaum muslim yang belum bisa membedakan antara alkohol, etanol (komponen utama alkohol), dan minuman beralkohol. Berdasarkan kutipan Fatwa MUI No.4/2003 tentang Pedoman Fatwa Produk Halal, minuman yang termasuk kategori khamar—minuman keras—adalah yang mengandung etanol (C2H5OH) minimal 1%. Hingga kini, MUI belum menerima pengajuan dari produsen kombucha. “Saya juga belum tahu apa sudah diajukan kehalalannya,” kata Aminuddin, Anggota Komisi Fatma MUI. Meski kadar etanolnya di bawah 1%, bukan berarti menghilangkan kewajiban sertifikasi ke LP-POM MUI. “Salah, tidak seperti itu ketentuan MUI tentang masalah alkohol. Harus dibaca secara utuh fatwa MUI. Menurut saya harus tetap [diajukan] ke MUI,” tegasnya.

Ahmad Sarwat, ulama sekaligus dosen Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, dalam ulasan yang dikutip situs Indokombucha.com, menilai bila mengacu pada fatwa MUI, memang ada maksimal kandungan alkohol yang ditoleransi. “Pendekatan LP-POM memakai persentase kandungan alkohol, sebenarnya itu bagian dari ijtihad menetapkan apakah suatu minuman itu khamar atau bukan. Sah-sah saja. Kalau kembali pada orisinalitas fikih, ukuran sesungguhnya bukan kadar. [Tapi] sesuai dengan kaidah: ‘Setiap yang memabukkan adalah khamar’,” katanya. □

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 14 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu