Ini
bukan obat, tapi minuman berkhasiat obat karena mampu memperbaiki
tubuh dari dalam. Hanya saja masih ada persepsi negatif
Oleh
M. Tahir Saleh
ALKISAH,
Kaisar Inkyo di Jepang menderita sakit. Seorang tabib bernama Kombu
dari Korea menyembuhkan kaisar dari sembelit akut dengan memberi
ramuan teh. Padahal,
saat itu (414 SM) banyak tabib gagal menyembuhkan kaisar. Untuk
menghormati si tabib, ramuannya dinamai Kombu-Cha atau Teh
Kombu—dalam bahasa China dan Jepang, cha
artinya teh. Sejak itu, teh ini menyebar ke penjuru dunia.
Para
pedagang mengirim teh ini lewat rute Timur Tengah setelah pertama
kali masuk ke Rusia dan Eropa Timur. “[Teh] hadir sebagai
konsekuensi tak terelakkan dari Perang Dunia II, karena makanan
langka,” tulis situs Kombuchay.com,
produk teh kombucha dari Yordania. “Ada beberapa versi sejarah teh
ini. Ada yang bilang dari Manchuria, Jepang, dan Korea. Tapi,
saya lebih percaya versi terakhir [tabib],”
kata Arsenius Sutandio, pebisnis Indokombucha, produk teh kombucha
asal Bandung, pekan lalu.
Belakangan
ini teh kombucha menjadi tren masyarakat urban di Tanah Air meski
sudah ribuan tahun menjadi minuman kesehatan di dunia—di Swedia
terdapat Swedish Kombucha dan di Ohio ada Raw Kombucha. Teh ini
sebenarnya nama internasional untuk kultur (budidaya) berwujud
gelatin atau agar-agar yang terdiri dari koloni bakteri positif dan
ragi sebagai bahan dasar.
Kombucha bukan Jamur, tapi disebut SCOBY (symbiotic
culture of bacteria and yeast),
sekumpulan bakteri dan ragi membentuk struktur selulosa dan hidup
bersama secara simbiotik. Belum ada istilah yang pas sehingga
masyarakat terbiasa menyebutnya sebagai “jamur”.
Lantaran
kombucha hidup di air dan perlu gula sebagai makanan, sering kali
kombucha dimasukkan dalam air teh manis. Selama kultur berada di
dalam teh manis, gula dimakan ragi dan menghasilkan alkohol. Lalu
alkohol diproses oleh bakteri positif dan menghasilkan sembilan jenis
asam dan enzim. Hasilnya: teh manis ini berubah rasa menjadi
asam-manis, bersoda, dan dinamakan sebagai teh kombucha. Setelah saya
cicipi, rasanya memang asam, agak semriwing
di lidah seperti bersoda, tapi segar. Barangkali yang mengganggu itu
baunya.
Di
Indonesia, produk teh ini tersebar di kota-kota besar seperti
Jakarta,
Semarang, dan Bandung. Salah satu produsennya bernama Arsenius. Pria
40 tahun yang akrab disapa Arsen ini memproduksi bibit kombucha dan
tehnya melalui merek Indokombucha. Awalnya tak ada niat karena dia
kuliah manajemen informatika dan bekerja sebagai staff IT. Pada 2002,
seorang kawan mengenalkan kombucha, dan pada 2008 dia membuat blog
dan menulis artikel tentang kombucha.
Berbekal
info dari dunia maya, dia sadar ternyata bibit kombucha bisa dijual
lewat iklan-iklan gratis. Sayangnya artikel kombucha berbahasa
Indonesia sangat sedikit, jauh ketimbang di Amerika yang sudah
populer. Bahkan produk kombucha dijual di supermarker besar dan
menjadi minuman artis-artis Hollywood. Arsen kemudian berhenti
bekerja pada Desember 2011 dan 100% terjun berbisnis kombucha.
“Potensi kombucha di Indonesia sangat besar! Ini tambang emas yang
sama sekali belum digarap!” kata ayah satu anak berusia tujuh tahun
itu.
Manfaat
utama teh ini ialah detoksifikasi atau membuang racun dari dalam
tubuh, melancarkan pencernaan, mempercepat regenerasi sel, serta
meningkatkan daya tahan tubuh dan fungsi organ dalam. Setelah racun
dibuang, regenerasi sel berjalan baik, daya tahan tubuh naik, dan
fungsi organ dalam membaik. Begitu banyak penyakit yang bisa dilawan
oleh tubuh. “Teh ini bukan obat, tapi minuman yang berkhasiat obat
karena bisa memperbaiki tubuh dari dalam,” katanya. “Banyak
testimoni dari mereka yang sembuh, mulai dari jerawat, flu, sembelit,
rematik, asam urat, maag akut, hingga kista, tumor, diabetes, dan
kanker payudara.”
“Setelah
minum 14 hari, minggu lalu saya check
up
di Penang, hasilnya radang serviks saya sembuh,” kata Titien,
konsumen teh ini di Jakarta. “Ibu mertua saya maag akut, semua obat
diminum. Tak ada hasil, lemes
seperti orang ngidam,
muntah-muntah, selalu pakai jaket, kaos kaki, enggak
bisa kena angin. Setelah minum dua kali sehari, alhamdulillah,”
timpal Eem, konsumen Indokombucha di Semarang.
Namun,
dua catatan yang perlu dijelaskan ialah beredar informasi bahwa
kombucha berbahaya bagi mereka yang punya imunitas rendah. Faktanya,
kata Arsen, itu bukan efek samping, melainkan efek dari detox:
feses
berwarna hitam dan berminyak; keringat berbau; pusing, perut sakit,
badan lemas, jerawat, dan lainnya. “Tapi efek ini biasanya hanya
3-7 hari dan tak semua mengalami ini, tergantung banyaknya racun dan
daya tahan tubuh. Setelah efek detox
selesai, tubuh terasa ringan dan nyaman.” Ada pendekatan berbeda
antara metode medis barat dan TCM (traditional
chinese medicine).
“Ada black
campaign
dari pihak farmasi yang menyebut kombucha punya efek samping
berbahaya, mengakibatkan kematian,
dan belum ada uji klinis. Padahal di balik semua itu, mereka
mematenkan kombucha sebagai salah satu produk obat dan juga
kosmetik.”
Kendala
lain,
yakni keraguan teh ‘jamur’ kombucha yang merupakan hasil
fermentasi—proses pengolahan dengan mikroba—dan mengandung
alkohol. “Isu teh ini haram tidak benar. Makin lama proses
fermentasi, gula pertama kali habis dimakan ragi; lalu alkohol juga
habis dimakan bakteri. Yang tersisa adalah rasa asam,” kata Arsen.
Pihaknya sudah meneliti kandungan alkohol dari tiga usia fermentasi
yang berbeda di lab Universitas Pasundan, Bandung, yakni usia satu
minggu, satu bulan,
dan tiga bulan. Hasilnya, kandungan alkohol hanya 0,87%, 0,33% dan
0,11%, di bawah batas MUI 1%.
“Saya belum ke MUI karena keterbatasan dana. Infonya MUI masih
mempelajari proses fermentasi kombucha. Tapi,
kami punya sertifikat Dinas Kesehatan.”
“Saya
belum meneliti teh ini, tapi info dari rekan memang ada alkohol,
mirip dengan teh cider [minuman hasil fermentasi sari buah apel dan
mengandung alkohol 0,94%],” kata Prof. Evy Damayanthi, dari
Departemen Gizi Masyarakat IPB. Selama ini dia meneliti manfaat teh
hijau dan teh hitam yang berfungsi meningkatkan penurunan kadar
glukosa darah. “Bagi saya bukan soal kadar, tapi ada atau tidak
alkoholnya.”
Tak
bisa dimungkiri, banyak kaum muslim yang belum bisa membedakan antara
alkohol, etanol (komponen utama alkohol), dan minuman beralkohol.
Berdasarkan kutipan Fatwa MUI No.4/2003 tentang Pedoman Fatwa Produk
Halal, minuman yang termasuk kategori khamar—minuman
keras—adalah yang mengandung etanol (C2H5OH) minimal 1%. Hingga
kini, MUI belum menerima pengajuan dari produsen kombucha. “Saya
juga belum tahu apa sudah diajukan kehalalannya,” kata Aminuddin,
Anggota Komisi Fatma MUI. Meski kadar etanolnya di bawah 1%, bukan
berarti menghilangkan kewajiban sertifikasi ke LP-POM MUI. “Salah,
tidak seperti itu ketentuan MUI tentang masalah alkohol. Harus dibaca
secara utuh fatwa MUI. Menurut saya harus tetap [diajukan] ke MUI,”
tegasnya.
Ahmad
Sarwat, ulama sekaligus dosen Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, dalam
ulasan yang dikutip situs Indokombucha.com,
menilai bila mengacu pada fatwa MUI, memang ada maksimal kandungan
alkohol yang ditoleransi. “Pendekatan LP-POM memakai persentase
kandungan alkohol, sebenarnya itu bagian dari ijtihad
menetapkan apakah suatu minuman itu khamar
atau bukan. Sah-sah saja. Kalau kembali pada orisinalitas fikih,
ukuran sesungguhnya bukan kadar. [Tapi] sesuai dengan kaidah: ‘Setiap
yang memabukkan adalah khamar’,”
katanya. □
Terbit
di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 14 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar