Sabtu, 15 November 2014

DI BAWAH BAYANG-BAYANG PAK HARTO

Movie capture by the marketeers
Para narasumber dalam film Words of Generation membandingkan kehidupan era Presiden Soeharto dan periode pascareformasi, apakah lebih enak?

Oleh M. Tahir Saleh

Piye kabare, enak zamanku toh?” Begitu kata mendiang Presiden Soeharto dengan senyum khasnya. Sapaan imajiner dalam gambar yang kerap ditempel di belakang bak truk-truk besar ini bisa dibilang cermin kegelisahan masyarakat.

Publik gerah dengan tingginya harga sembako, susahnya mencari pekerjaan dan membuka usaha, korupsi menjamur, dan biaya pengobatan yang tak terjangkau. Ekspresi kebosanan ini seolah membuat mereka ingin kembali ke zaman Pak Harto yang memimpin negeri ini selama 32 tahun. Masyarakat juga kerap membandingkan perekonomian era Orde Baru dengan era setelah Reformasi 1998.

Gambaran ini pula yang tampak dalam film dokumenter besutan Xia Lee dan Amanda Mooney berjudul Words of Generation. Dalam film produksi perusahaan public relations Edelman ini, 10 orang saksi era Reformasi 1998—dengan latar belakang berbeda—bicara soal negara ini dalam perspektif mereka. Maka yang terjadi adalah kejujuran, penyajian fakta sesungguhnya. “Kami ingin memperlihatkan pandangan kepada masyarakat seperti apa sebenarnya kondisi Indonesia di mata mereka,” ujar CEO Edelman Indonesia Stephen Lock.

Words of Generation merupakan proyek Edelman di berbagai negara dari China, Malaysia, Singapura, Vietnam, hingga India. Pandangan penduduk di tiap negara dieksplorasi dengan latar isu berbeda. Di Indonesia, mengambil tema dimulainya reformasi setelah kejatuhan Soeharto.

Ada tujuh video dalam film ini: Work, Consume, Connect, Love, Play, Explore, dan Dream. Tapi tak semua judul diputar dalam gelaran nonton bareng pada 25 Maret di Plaza Senayan, Jakarta. Film yang bisa diakses online tersebut berusaha memotret kehidupan pribadi lewat wawancara berdasarkan tujuh tema tadi dengan perspektif masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Sepuluh narasumber dalam film itu adalah generasi yang lahir pada rentang 1975-1985. Memang tidak mewakili semua, tapi setidaknya generasi yang merasakan Reformasi 1998 ketika huru-hara anti-China dan kejatuhan rezim Soeharto terjadi. “Kehidupan di Indonesia ini, ya morat-marit. Kau tengoklah, semrawut, yang kaya tambah kaya. Lebih enak zaman Soeharto, tapi bedalah. Zaman Soeharto bercakap dikit diculik,” kata Ardinal (31), salah satu narasumber film.

Narasumber lainnya, Alfin Budi Pramono (36), mengatakan para mantan aktivis 1998 yang kini menjadi anggota dewan pun sama saja dengan apa yang mereka demontrasikan dulu kala masih mahasiswa. “Itu yang saya sayangkan,” kata Alfin. “Pemerintahan yang sekarang sudah dua periode, tapi justru rupiah terpuruk,” kata pegawai swasta ini. Hendy Hermawan (37), staf teknologi informasi, memandang kepemimpinan seperti Soeharto masih dirindukan. “Soeharto cara mikirnya jelas, santun, ngomongnya soleh dan tidak berapi-api. Tapi kroni-kroninya sering bawa nama dia, lalu dia dijatuhkan. Kroni-kroninya kini ingin berkuasa,” katanya. “Kita butuh pemimpin model Soeharto yang tidak klemer-klemer.”

Generasi ini juga mengusung pemimpin idaman, yakni Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Jusuf Kalla. “Impian mereka bila ditarik garis merahnya sama: mereka memprioritaskan anak-anak agar kelak bisa menikmati pendidikan dan kehidupan lebih layak daripada saat ini,” kata tim produksi Mario Patrick.

Boni Triana, sejarawan dari majalah Historia, menilai kerinduan era Pak Harto bukan ingin membalikkan keadaan. “Sejarah itu berulang, tapi kondisinya tak bisa sama. Ini cuma untuk merestorasi kekuasaan segelintir orang untuk memanfaatkan ingatan publik sehingga orang ingin kembali,” katanya. Ketika Orde Baru, publik akan bilang Orde Lama lebih enak. Sebaliknya ketika era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, publik menilai lebih baik zaman Orde Baru dan begitu seterusnya. “Zaman Soeharto bisa jadi korupsi sedikit, tapi kebebasan pers dikekang.

Shafiq Pontoh, konsultan perencanaan strategi dan pelopor Gerakan Indonesia Berkebun dan Ayah ASI, yang turut hadir dalam bedah film itu menganggap paradigma kehidupan era dahulu lebih enak tak semuanya benar. Itu ditegaskan pula dalam film karena barang-barang masih terbeli walau harganya konstan naik. Memang kalimat bernada penyesalan dan ratapan kerap muncul, tapi baginya lebih enak zaman sekarang. “Zaman Soeharto enggak enak banget, enggak ada Whatsapp, enggak ada Twitter.” Pesan film ini sampai, tapi sayangnya agak membosankan ditonton lama karena hanya berbentuk wawancara, tanpa visualisasi huru-hara. □

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 07 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu