Jumat, 14 November 2014

LAKSANA HOTEL DI UDARA


cessna.com
Tingginya harga sewa jet pribadi dan helikopter membuat layanan transportasi udara ini baru bisa dinikmati kalangan kelas atas

Oleh M. Tahir Saleh

EMPAT tahun lalu, Denon Prawiraatmadja bersama mitranya mengakuisisi saham Kura Kura Aviation milik orang asing. Sejak 2002, perusahaan itu melayani carter pesawat bagi turis ke Pulau Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah. Setelah dibeli, dia mengubah nama maskapai tak berjadwal ini menjadi Whitesky Aviation pada 2010.

Background saya arsitek, saya juga punya bisnis IT, tapi saya coba aviasi. Enggak ada alasan khusus, cuma ini menantang, apalagi peluangnya besar ketimbang bisnis airline berjadwal,” kata Denon yang kini menjabat Direktur Utama PT Whitesky Aviation ketika ditemui di kawasan Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin pekan lalu.

Saat ini Whitesky punya tiga layanan: evakuasi medis atau medical evacuation (medivac), foto udara, dan VIP. Perseroan juga masuk lini logistik khusus di Papua. Jumlah armadanya delapan, terdiri dari 3 unit Cessna 402B, 2 unit helikopter Bell 429, dan 3 unit Bell 407. Tiga Cessna dan satu helikopter milik sendiri, sisanya titipan karena model bisnis air charter biasanya pemilik pesawat juga bermitra dengan operator. Investasi tentu banyak, apalagi mengacu data situs Aircraftcompare, satu unit Bell 429 dipatok antara US$4,9-5,4 juta (sekitar Rp54 miliar), sedangkan Bell 407 US$2,6 juta.

Potensi jasa carter cukup tinggi seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang mendorong peningkatan kelas menengah. Penyelenggaraan berbagai konferensi, seminar, serta pameran nasional dan internasional pun menjadi katalis positif. Umum diketahui bahwa figur publik seperti pesepakbola David Beckham bersama istrinya Victoria Beckham, Christiano Ronaldo, dan pembalap Valentino Rossi, juga menyewa pesawat jet pribadi ketika datang ke Indonesia. Beckham dan istrinya pernah menyewa Embraer Legacy 600 dengan rute Singapura, Yogyakarta, hingga Bali. Penyanyi Christina Aguilera juga menyewa jet untuk keliling Asia. Momen pemilu pun jadi ajang menjaring klien meski menyewa pesawat bagi pengusaha, pejabat, politisi memang menjadi satu kebutuhan, bukan sekadar prestise. Sudah bukan rahasia umum bila nama-nama seperti Prabowo Subianto, Jusuf Kalla, Oesman Sapta, dan Aburizal Bakrie juga dikenal memiliki jet pribadi.Sebetulnya layanan ini—VIP, tourism, medivac, logistik—termasuk kategori general aviation atau segmen penerbangan di luar militer dan nonmaskapai berjadwal komersial.

desainic.com
Menurut General Aviation Manufacturers Association (GAMA), tahun lalu tersebar 360.000 armada general aviation di dunia—termasuk helikopter—dan 209.000 unit berbasis di Amerika. GAMA mengungkapkan tipikal owner jet pribadi rata-rata berpenghasilan US$9,3 juta per tahun, aset bersih US$89,3 juta, mayoritas berusia 57 tahun, dan 70% pria.
Selain Whitesky, menurut data Indonesia National Air Carrier Association (INACA), terdapat 20 perusahaan penyedia carter pesawat jet di Tanah Air, di antaranya PT Ekspres Transportasi Antarbenua (Premiair), PT Airfast Indonesia (Airfast), PT Indonesia Air Transport Tbk, dan PT Enggang Air Service (OSO Jet). Saking menggiurkannya bisnis ini, perusahaan taksi Blue Bird Group juga dikabarkan tengah menjajaki konsep bisnis air taxi atau taksi udara berbasis helikopter.

Dalam situs resminya, OSO Jet didukung 1 unit Embraer Legacy 600, 1 unit Cessna Citation VII, 5 unit Cessna Grand Caravan, dan 1 helikopter Agusta AW 109SP. Caravan yang harganya berkisar US$1,75 juta—data Aircraftcompare—memang cocok untuk melayani penerbangan ke wilayah terpencil. “Harga sewa Caravan per jam US$1.750, Legacy US$8.500, dan Cessna dengan kapasitas tujuh penumpang sewanya US$5.500 per jam,” kata Syafei Hadi, Senior Marketing Executive OSO Jet, pekan lalu. Soal harga sewa sangat tergantung jenis pesawat, tapi lazimnya tak berbeda jauh antar-operator. Sebab itu, peningkatan layanan menjadi kunci mengingat sifat layanannya lebih pribadi sehingga kualitas mesti nomor wahid. Maskapai berjadwal seperti Lion Air juga kepincut masuk ke segmen ini sejak Juni 2012 melalui Bizjet. Jasa mereka melayani penerbangan ke Kalimantan, Sulawesi, hingga Singapura dengan pesawat Hawker berkapasitas tujuh kursi.

Ketatnya kompetisi tak membuat nyali Denon surut. Dia yakin peluang bisnis masih besar untuk digali, terlebih segmen ini masih ketinggalan dibandingkan dengan maskapai berjadwal. Salah satu kendala pertumbuhan ialah daya beli masyarakat. Whitesky, katanya, sebetulnya tidak mengkhususkan klien kaya, tapi disebut layanan VIP karena butuh kocek tebal untuk menyewa pesawat jet atau heli. Sebagai perbandingan, harga sewa Bell 407 di Amerika US$1.200 per jam atau sekitar Rp13 juta. Jadi dengan kapasitas enam orang, mereka bisa patungan masing-masing sekitar Rp2 juta, ini terjangkau bagi yang butuh transportasi udara darurat. Namun di Tanah Air, sewanya menembus US$3.000 per jam, tak masuk akal buat kantong orang biasa. Tapi soal kenyamanan tak diragukan, apalagi setelah menengok interior helikopter Bell 429 milik Whitesky yang didesain hanya untuk empat orang—konfigurasi yang sengaja dibuat senyaman hotel.

Ada tiga penyebab sewanya selangit. Pertama, kurs rupiah terhadap dolar Amerika masih terlalu tinggi: sekitar Rp11.000. “Harapannya, siapa pun presiden terpilih, jangan memikirkan penguatan rupiah dalam jangka pendek, tapi jangka panjang,” ujar Denon. Kedua, bahan bakar. Pemerintah mendorong penggunaan avtur lokal lewat penyedia tunggal Pertamina, tapi praktiknya biaya-biaya lain muncul dalam komponen fuel. “Malah ada biaya kerja sama provider [PT Angkasa Pura], yakni biaya konsesi atau throughput. Padahal kami tak gunakan itu, tapi memakai kendaraan agar avtur masuk ke pesawat, ini kan biaya tinggi,” tegasnya. Ketiga, kurangnya perhatian pemerintah.

Bila Indonesia belum mampu menjelma sebagai produsen ulung pesawat seperti Boeing dan Airbus, mestinya negara mendorong maskapai lokal agar mampu bertaraf dunia. Mimpi itu mestinya bukan milik pengusaha semata, melainkan juga pemerintah. “Kalau pemerintah punya mimpi yang sama maka dia akan mendukung dengan regulasi, bea masuk, dan insentif,” katanya. “Pajak suku cadang di Singapura 0%, Malaysia 0%, Filipina 0%. Di sini, mau dikenakan pajak sparepart. Sudah beli pesawat dari luar, ada biaya pengiriman, sampai sini dipajakin lagi.” Sebab itu, Denon berharap pemerintah bukan hanya soal bea, tapi juga berkomitmen mendukung aviasi dalam negeri. Apalagi ASEAN Open Sky di depan mata. Belum lagi belakangan ini beberapa maskapai berjadwal juga tak mampu bertahan. Contohnya Batavia Air, Tiger Mandala, Pacific Royale, dan Sky Aviation.

Denon yang juga Ketua Penerbangan Tidak Berjadwal INACA menyambut baik rencana masuknya sejumlah perusahaan dalam lini bisnis carter pesawat. Akan tetapi, dia menekankan perusahaan terkait harus sadar betul mengenai perawatan dan suku cadang pesawat. Tak ada kompromi soal sparepart pesawat karena berbeda dengan transportasi darat. “Kalau bawa mobil lalu akinya habis, saya pinggirin, beres. Tapi pesawat enggak bisa: aki habis, listrik mati, yah jatuh. Mindset harus berubah.” Hal lain yang juga mesti diperhatikan ialah SMS alias safety management system. Salah satunya ketentuan mengenai batas maksimal jam terbang pilot. “Pilot pesawat tidak bisa disuruh kejar target.” Bagi Denon, kompetisi yang terbentuk di pasar bakal menyehatkan industri carter pesawat. □

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 21 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu