Senin, 17 November 2014

HILANGNYA KEPERCAYAAN INVESTOR BUMI

Tambang perseroan, by Vibiznews
“Kami menilai Bumi adalah perusahaan yang paling rentan di antara empat produsen batu bara di Indonesia”

Oleh M. Tahir Saleh

DRAMA lagi-lagi ‘dipentaskan’ oleh direksi PT Bumi Resources Tbk. saat mengadakan paparan publik insidental guna menjelaskan rights issue. Dalam forum yang dihelat pada 6 Oktober pekan lalu, Ari Saptari Hoedaja, orang nomor satu di perusahaan batu bara Grup Bakrie sekaligus salah satu eksekutif yang paling loyal kepada keluarga Bakrie, menumpahkan kekecewaannya kepada para pemegang saham Bumi. Pasalnya, penerbitan saham baru dengan hak memesan efek terlebih dahulu (rights issue) sebanyak 32,19 miliar saham sepi peminat.

Ari, by Antara
Layaknya adegan sinetron, ia mencurahkan perasaannya di depan para pemegang saham, analis, dan awak media karena sebagian penerbitan hak dalam rights issue tersebut kurang diserap, padahal Bumi membutuhkan uang. 

Akibatnya, rights issue dengan target dana Rp8 triliun hanya menghasilkan Rp3,6 triliun. Penerbitan saham baru dengan harga Rp250 per saham itu mengalami kekurangan permintaan (undersubscription) dan para kreditor tidak bersedia menerima pembayaran pinjaman dalam bentuk saham.

Dari 32,19 miliar saham baru yang semula akan diterbitkan, hanya 15,85 miliar yang diserap: masing-masing 6,9 miliar saham diambil oleh Long Haul Holding Ltd. dan Castleford Holding Ltd. lewat mekanisme konversi utang ke saham. PT Danatama Makmur, broker saham langganan keluarga Bakrie, sebagai pembeli siaga melaksanakan haknya untuk menyerap 2,04 miliar saham, sedangkan investor publik hanya menyerap 11,53 juta saham. “Waktu saya sulit di mana mereka [para pemegang saham]. Berarti pemegang saham tak percaya pada kami,” kata Ari.

Seorang investor ritel lalu menanggapi dingin pernyataan Ari. Dia malah menyatakan kesalahan ada pada manajemen Bumi, salah satunya karena mengerek naik harga pelaksanaan rights issue di atas harga pasar. “Sekarang harganya merosot terus. Kalau saat itu kami serap, kami rugi,” katanya. “Kalau kepercayaan investor pada perusahaan tinggi, mungkin banyak yang mau serap. Kami investor, wajar cari untung.” Investor lain malah meminta Ari menjelaskan alasan pembatalan rights issue. “Jelas dibatalkan, karena mereka minta cash. Mau tidak mau ya dibatalkan. Bagaimana toh,” kata Ari.

Bukan kali ini saja alumnus Institut Teknologi Bandung ini seperti mempertontonkan adegan drama. Pada 2 Oktober dua tahun lalu, dalam forum paparan publik serupa—soal investigasi penyelewengan dana Bumi—Ari juga mencurahkan isi hatinya bagaimana ia memimpin perusahaan batu bara terbesar di Indonesia tersebut. Saat itu, ia menegaskan betapa besar cita-citanya menjadikan Bumi sebagai perusahaan tambang dunia.

Mengenai rights issue, sebetulnya jika terserap semua, sebesar US$275 juta akan dipakai untuk membayar utang kepada lima kreditor, yakni Axis Bank Ltd., Credit Suisse, Deutsche Bank, UBS AG, dan China Development Bank. Dana juga bakal digunakan untuk merealisasikan program konsesi hidrokarbon milik Gallo Oil (Jersey) Ltd. dan studi kelayakan konsesi tambang dan emas yang dimiliki oleh PT Gorontalo Minerals. Setelah saham baru dikembalikan ke portepel, manajemen Bumi kini bernegosiasi dengan para kreditor untuk mengupayakan pelunasan pinjaman-pinjaman tersebut.

Berdasarkan data laporan keuangan tahun lalu, Bumi termasuk tiga emiten dari Grup Bakrie yang mencatatkan nilai ekuitas minus alias defisiensi modal. Dua emiten lainnya adalah PT Bakrie Telecom Tbk. (-Rp1 triliun) dan PT Bakrie and Brothers Tbk. (-Rp2 triliun). Artinya, bila semua aset perusahaan dinego dan uangnya dipakai membayar semua utang, tetap tidak akan cukup. Tahun lalu ekuitas Bumi -US$302,96 juta dengan total kewajiban US$7,31 miliar atau setara dengan Rp80 triliun—total utang US$4,16 miliar.

“[Ini bukti] hilangnya kepercayaan investor terhadap kinerja Bumi,” kata Kepala Riset PT Anugerah Securindo Indah Bertoni Rio. “Kalau dilihat dari kapitalisasi pasar, hampir sama dengan utangnya.” Harga saham emiten berkode BUMI ini diperdagangkan pada Rp160 per 8 Oktober dengan kapitalisasi Rp5,9 triliun, padahal harga pada Oktober 2009 masih sekitar Rp3.200—sahamnya sempat disuspensi pada 25 September dan dibuka lagi pada 7 Oktober.

“Kalau rasio 1:6, harga penutupan Rp190, harga teoritis Rp241 per saham. Jika ditebus Rp250, investor akan rugi. Sebaiknya tidak ditebus, tapi jumlah kepemilikan berkurang sekitar 91%. Lebih baik membeli saham itu setelah rights issue,” kata Rio menganalisis. Dia memperkirakan kinerja emiten pertambangan masih suram seiring rendahnya harga batu bara internasional. Kenaikan performa Bumi pada semester kedua diharapkan bisa memompa harga saham meski dalam jangka pendek.

Brian J. Grieser, Vice President-Senior Analis Moody’s Investors Service Singapore, mengestimasi rendahnya harga batu bara dunia akan menekan kualitas kredit produsen tambang Indonesia. Kelebihan pasokan global batu bara thermal akan menjaga harga tetap tertekan dalam 12-18 bulan ke depan. Kondisi ini bakal melemahkan arus kas dan margin produsen batu bara di Indonesia. “Kami berharap harga rata-rata batu bara termal Newcastle US$75-80 per ton tahun ini dan tidak mengantisipasi rebound yang berarti tahun depan,” tulisnya dalam riset per Agustus. Tahun lalu, Moody’s mencatat harga rata-rata batu bara Newcastle US$84 per ton.

Namun, bagi Brian “Bumi adalah perusahaan yang paling rentan di antara empat produsen batu bara Indonesia.” Tiga produsen batu bara yang dimaksud adalah Adaro Indonesia, Indika Energy, dan Berau Coal Energy. Utang/EBITDA Bumi diprediksi melebihi 10 kali tahun ini, sedangkan Adaro paling tangguh dengan leverage di kisaran 2,5-3.0 kali. Bumi dinilai tak punya kapasitas internal untuk membayar utang jatuh tempo. “Mereka hanya memiliki dua pilihan, menjual saham di dua tambang batu bara utama, KPC [PT Kaltim Prima Coal] dan Arutmin [PT Arutmin Indonesia], atau meminta kreditor mengubah, atau istilahnya memperpanjang jatuh tempo.”

Kendati didera analisis pesimistis, Direktur dan Sekretaris Perusahaan Bumi Dileep Srivastava tetap mengumbar keyakinan mengingat semester pertama tahun ini perseroan mencetak laba US$168 juta dari rugi US$248,6 juta meski pendapatan turun 15%. “Target produksi kami 90 juta ton, semester pertama sudah 45 juta ton. Tahun depan bisa 100 juta ton, tak ada masalah dengan produksi,” katanya seusai paparan publik hari itu.

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 13 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu