Jumat, 14 November 2014

JANGAN ADA DUSTA DI ANTARA KITA

Sejumlah siasat ditempuh pria untuk menutupi penghasilan dari istrinya, benih-benih percekcokan rumah tangga mulai ditanam

Oleh M. Tahir Saleh

TAK banyak pria yang sangat terbuka soal penghasilan tiap bulan kepada istrinya. Alasannya macam-macam, entah karena sang nyonya agak pelit atau memang suami ingin hura-hura tanpa dikekang berlebihan. Salah satunya Dedi (38). Pria yang sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan swasta ini memang membeberkan total gaji bulanan kepada sang istri, tapi dia sedikit menutupi pendapatan lain-lain yang diterima dari sejumlah proyek di luar kantor.

Namanya juga usaha, kadang-kadang istrinya curiga bila dia membeli gadget baru padahal uang di tangan istri sudah menipis. “Yah, kalau gaji buka-bukaan, tapi kalau honor dari proyek enggak dibuka. Masak saya harus merengek ke bini kalau mau beli sesuatu?” kata Dedi yang ditemui di Stasiun Sudirman, Jakarta, pekan silam. Pria, katanya, mesti punya duit cadangan untuk menyiasati keperluan mendadak, agar dapur tetap ngebul. “Buat jaga-jaga saja, dana taktis.”

Berbeda dengan Dedi, Rahmad (35)—karyawan swasta di bilangan Blok M, Jakarta Selatan—malah terang-terangan membuka total gaji tiap bulan yang dia terima. Sepeser pun tak ditutupi. “Kartu ATM juga dipegang istriku,” katanya sembari menunjukkan isi dompetnya. “Terbuka itu penting. Tapi yah saya jadi susah beli apa-apa, hehehe.” Keterusterangan itu bukan keharaman bagi rumah tangga Rahmad yang kini sudah dikarunia seorang putra berumur 21 bulan ini. Saking transparan, dia malah tak mau tahu lebih detail gaji istrinya yang bekerja di sebuah firma hukum di Jakarta. “Sama sajalah, istri ‘kan pengelola keuangan.”

Seorang kawan menuturkan, bahtera rumah tangganya yang dibina tiga tahun lalu terancam hancur. Penyulutnya, sang suami enggan blak-blakan soal keuangan, termasuk bonus dari kantor. Bunga (28), sebut saja begitu, baru tahu kalau tiga tahun terakhir bonus mengalir ke kantong suaminya. “Aku dikasih tahu teman kantornya.”

Uang memang sensitif. Ihwal ini pula yang ditengarai menjadi alasan banyak perceraian menimpa figur publik, salah satunya kemelut rumah tangga pesepak bola Markus Horison dan artis Kiki Amalia yang berujung perceraian pada Juni tahun lalu. Keuangan juga menjadi hal sensitif yang acap kali menjadi kekhawatiran kaum pria di belahan dunia seperti kajian situs keluarga YourTango.com. Selain itu, ada enam hal lain yang juga ditakutkan para pria: prestasi, kehilangan pekerjaan, menjadi tua, kesehatan, seks, dan menjadi ayah yang baik. “Ya, wanita memang bekerja dan ikut berkontribusi, tapi mayoritas pria bilang masalah keuangan ialah tanggung jawab mereka,” tulis YourTango.

Sebetulnya dalam UU No.1/1974 tentang Perkawinan gamblang menyebutkan, suami wajib melindungi istri dan memberikan semua keperluan hidup sesuai dengan kemampuan dan istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Tetapi, ya itu tadi, keterbukaan masih ‘mahal’ di Indonesia.

Lisa Soemarto, by Kencomm Id
Lisa Soemarto, perencana keuangan dari AFC Financial, beberapa kali menemui konsultasi persoalan cuan ini dalam keluarga. Tapi Lisa memandang ketertutupan suami itu dari sudut pandang positif. “Mungkin kalau suami punya income lumayan besar, dia enggak mau duitnya ludes sama istrinya. Jadi ada beberapa income yang tidak dipaparkan,” kata Lisa di Jakarta, Senin (10/2). “Kini banyak pria punya usaha sampingan, itu kurang dibuka.”

Menurut Lisa, alasan lain suami tidak terus terang soal honor sampingan biasanya lantaran ingin menyimpan dana cadangan bagi keluarga bila ada keperluan mendesak. Hanya saja, keputusan menutupi gaji tentu punya ekses negatif terhadap keluarga. Pertama, jika honor sampingan itu ditutupi, suami bisa leluasa memakai uang tanpa kendali. Kedua, ketidaktransparan itu berpotensi mengganggu keharmonisan rumah tangga. Lisa—yang bersama Aidil Akbar mendirikan AFC Financial—sudah delapan tahun menggeluti profesi financial planner. Sebagai ibu dua anak yang sudah dewasa, Lisa fokus menangani klien wanita yang berperan sebagai ‘menteri keuangan’ keluarga.

Untuk menghindari benih percekcokan, pasangan hidup sebaiknya saling terbuka, meminjam judul lagu Dewi Yull dan Broery Marantika, ‘Jangan Ada Dusta di Antara Kita’. Poin ini yang coba ditekankan oleh Ahmad Gozali, pendiri lembaga konsultan independen Zelts Consulting dan penulis buku Habiskan Saja Gajimu (2013). Menurutnya, ada dua kategori sifat tertutup: melebih-lebihkan gaji atau mengurangi pendapatan riil. Siasat melebihkan rezeki biasanya muncul karena ego suami atau istri yang ingin tampil sebagai sumber pendapatan terbesar; sedangkan siasat mengurangi besaran gaji dipicu karena sang nyonya boros.

Tapi, sifat tertutup yang kedua ini punya dampak negatif karena belanja pria sering tak terkendali. “Sebaiknya tetap terbuka, kalau menutupi gaji nanti ada potensi masalah yang jauh lebih besar,” kata Gozali. Persoalan besar yang dimaksud ialah masalah ketidakpercayaan. Konflik ini bisa masuk lebih dalam pada hubungan pernikahan. Memang ada lelaki yang berupaya menutupi gajinya lantaran ingin saving dana buat orangtua kandungnya. Tapi, semestinya keterbukaan bisa menggerakkan hati istri untuk membantu suami mengirim uang kepada orangtua. “Cara seperti ini bakal jadi masalah, curiga. Bukankah lebih baik ajak istri (ikut) bantu? Si istri pun akan senang,” katanya. “Kalau suami merahasiakan, akhirnya dia yang pusing sendiri.”

Masalah finansial baginya timbul lantaran hubungan pernikahan yang tidak baik, komunikasi tak lagi asertif. Baik Lisa maupun Gozali pun berharap, keterusterangan wajib dijunjung dalam pernikahan dan manajemen keuangan pria. Dengan begitu, istri juga termotivasi mengelola keuangan suami dengan lebih bijak. Sebelum menikah kesepakatan ini sebaiknya sudah dibicarakan oleh pasangan sebelum melangkah ke jenjang berikutnya. Kerahasiaan terkadang memicu kebanyakan perempuan memilih menapaki karier sendiri, atau masuk ke bisnis jualan online agar punya uang dari hasil keringatnya.

Bagi Lisa, idealnya dana memang disimpan dalam satu wadah. Meskipun itu rekening istri, dalam pengelolaannya harus digabung. “Kecuali kalau suami sudah memiliki income yang cukup untuk meng-cover seluruh pengeluaran dan income dari istri tidak diperhitungkan dalam keuangan keluarga,” kata Lisa. □

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 17 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu