Sejumlah
siasat ditempuh pria untuk menutupi penghasilan dari istrinya,
benih-benih percekcokan rumah tangga mulai ditanam
Oleh
M. Tahir Saleh
TAK
banyak pria yang sangat terbuka soal penghasilan tiap bulan kepada
istrinya. Alasannya macam-macam, entah karena sang nyonya agak pelit
atau memang suami ingin hura-hura tanpa dikekang berlebihan. Salah
satunya Dedi (38). Pria yang sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan
swasta ini memang membeberkan total gaji bulanan kepada sang istri,
tapi dia sedikit menutupi pendapatan lain-lain yang diterima dari
sejumlah proyek di luar kantor.
Namanya
juga usaha, kadang-kadang istrinya curiga bila dia membeli gadget
baru padahal uang di tangan istri sudah menipis. “Yah, kalau gaji
buka-bukaan, tapi kalau honor dari proyek enggak dibuka. Masak saya
harus merengek ke bini kalau mau beli sesuatu?” kata Dedi yang
ditemui di Stasiun Sudirman, Jakarta, pekan silam. Pria, katanya,
mesti punya duit cadangan untuk menyiasati keperluan mendadak, agar
dapur tetap ngebul. “Buat jaga-jaga saja, dana taktis.”
Berbeda
dengan Dedi, Rahmad (35)—karyawan swasta di bilangan Blok M,
Jakarta Selatan—malah terang-terangan membuka total gaji tiap bulan
yang dia terima. Sepeser pun tak ditutupi. “Kartu ATM juga dipegang
istriku,” katanya sembari menunjukkan isi dompetnya. “Terbuka itu
penting. Tapi yah saya jadi susah beli apa-apa, hehehe.”
Keterusterangan itu bukan keharaman bagi rumah tangga Rahmad yang
kini sudah dikarunia seorang putra berumur 21 bulan ini. Saking
transparan, dia malah tak mau tahu lebih detail gaji istrinya yang
bekerja di sebuah firma hukum di Jakarta. “Sama sajalah, istri ‘kan
pengelola keuangan.”
Seorang
kawan menuturkan, bahtera rumah tangganya yang dibina tiga tahun lalu
terancam hancur. Penyulutnya, sang suami enggan blak-blakan soal
keuangan, termasuk bonus dari kantor. Bunga (28), sebut saja begitu,
baru tahu kalau tiga tahun terakhir bonus mengalir ke kantong
suaminya. “Aku dikasih tahu teman kantornya.”
Uang
memang sensitif. Ihwal ini pula yang ditengarai menjadi alasan banyak
perceraian menimpa figur publik, salah satunya kemelut rumah tangga
pesepak bola Markus Horison dan artis Kiki Amalia yang berujung
perceraian pada Juni tahun lalu. Keuangan juga menjadi hal sensitif
yang acap kali menjadi kekhawatiran kaum pria di belahan dunia
seperti kajian situs keluarga YourTango.com. Selain itu, ada enam hal
lain yang juga ditakutkan para pria: prestasi, kehilangan pekerjaan,
menjadi tua, kesehatan, seks, dan menjadi ayah yang baik. “Ya,
wanita memang bekerja dan ikut berkontribusi, tapi mayoritas pria
bilang masalah keuangan ialah tanggung jawab mereka,” tulis
YourTango.
Sebetulnya
dalam UU No.1/1974 tentang Perkawinan gamblang menyebutkan, suami
wajib melindungi istri dan memberikan semua keperluan hidup sesuai
dengan kemampuan dan istri wajib mengatur urusan rumah tangga
sebaik-baiknya. Tetapi, ya itu tadi, keterbukaan masih ‘mahal’ di
Indonesia.
![]() |
Lisa Soemarto, by Kencomm Id |
Lisa
Soemarto, perencana keuangan dari AFC Financial, beberapa kali
menemui konsultasi persoalan cuan ini dalam keluarga. Tapi Lisa
memandang ketertutupan suami itu dari sudut pandang positif. “Mungkin
kalau suami punya income lumayan besar, dia enggak mau duitnya ludes
sama istrinya. Jadi ada beberapa income yang tidak dipaparkan,”
kata Lisa di Jakarta, Senin (10/2). “Kini banyak pria punya usaha
sampingan, itu kurang dibuka.”
Menurut
Lisa, alasan lain suami tidak terus terang soal honor sampingan
biasanya lantaran ingin menyimpan dana cadangan bagi keluarga bila
ada keperluan mendesak. Hanya saja, keputusan menutupi gaji tentu
punya ekses negatif terhadap keluarga. Pertama, jika honor sampingan
itu ditutupi, suami bisa leluasa memakai uang tanpa kendali. Kedua,
ketidaktransparan itu berpotensi mengganggu keharmonisan rumah
tangga. Lisa—yang bersama Aidil Akbar mendirikan AFC
Financial—sudah delapan tahun menggeluti profesi financial planner.
Sebagai ibu dua anak yang sudah dewasa, Lisa fokus menangani klien
wanita yang berperan sebagai ‘menteri keuangan’ keluarga.
Untuk
menghindari benih percekcokan, pasangan hidup sebaiknya saling
terbuka, meminjam judul lagu Dewi Yull dan Broery Marantika, ‘Jangan
Ada Dusta di Antara Kita’. Poin ini yang coba ditekankan oleh Ahmad
Gozali, pendiri lembaga konsultan independen Zelts Consulting dan
penulis buku Habiskan Saja Gajimu (2013). Menurutnya, ada dua
kategori sifat tertutup: melebih-lebihkan gaji atau mengurangi
pendapatan riil. Siasat melebihkan rezeki biasanya muncul karena ego
suami atau istri yang ingin tampil sebagai sumber pendapatan
terbesar; sedangkan siasat mengurangi besaran gaji dipicu karena sang
nyonya boros.
Tapi,
sifat tertutup yang kedua ini punya dampak negatif karena belanja
pria sering tak terkendali. “Sebaiknya tetap terbuka, kalau
menutupi gaji nanti ada potensi masalah yang jauh lebih besar,”
kata Gozali. Persoalan besar yang dimaksud ialah masalah
ketidakpercayaan. Konflik ini bisa masuk lebih dalam pada hubungan
pernikahan. Memang ada lelaki yang berupaya menutupi gajinya lantaran
ingin saving dana buat orangtua kandungnya. Tapi, semestinya
keterbukaan bisa menggerakkan hati istri untuk membantu suami
mengirim uang kepada orangtua. “Cara seperti ini bakal jadi
masalah, curiga. Bukankah lebih baik ajak istri (ikut) bantu? Si
istri pun akan senang,” katanya. “Kalau suami merahasiakan,
akhirnya dia yang pusing sendiri.”
Masalah
finansial baginya timbul lantaran hubungan pernikahan yang tidak
baik, komunikasi tak lagi asertif. Baik Lisa maupun Gozali pun
berharap, keterusterangan wajib dijunjung dalam pernikahan dan
manajemen keuangan pria. Dengan begitu, istri juga termotivasi
mengelola keuangan suami dengan lebih bijak. Sebelum menikah
kesepakatan ini sebaiknya sudah dibicarakan oleh pasangan sebelum
melangkah ke jenjang berikutnya. Kerahasiaan terkadang memicu
kebanyakan perempuan memilih menapaki karier sendiri, atau masuk ke
bisnis jualan online agar punya uang dari hasil keringatnya.
Bagi
Lisa, idealnya dana memang disimpan dalam satu wadah. Meskipun itu
rekening istri, dalam pengelolaannya harus digabung. “Kecuali kalau
suami sudah memiliki income yang cukup untuk meng-cover seluruh
pengeluaran dan income dari istri tidak diperhitungkan dalam keuangan
keluarga,” kata Lisa. □
Terbit
di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 17 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar