![]() |
Suasana acara, by Kabargress |
Bagaimana otoritas pasar modal
menggenjot investor
Oleh M. Tahir Saleh dan Iwan
Supriyatna
“AYO buruan,”
teriak seorang wanita setengah baya kepada rekannya di dekat bangku tamu
Capital Market Expo 2014 di Ritz-Carlton Pacific Place, Jakarta, Rabu pekan
lalu. Perempuan yang diteriaki itu buru-buru mempercepat langkahnya. “Hayo cepat mau ada pembagian doorprize,” katanya sambil menarik
tangan temannya. Mereka lalu segera berlari menuju booth-booth pameran berkonsep warung Betawi itu tanpa memedulikan
tawaran wawancara. “Duh sama yang
lain aja deh,” ujarnya sembari
melengos pergi.
Beda
lagi dengan Jenny Lisandi. Karyawan swasta ini tak memburu doorprize, ia datang ke Capital Market Expo di Pacific Place—mal di
kawasan Sudirman Central Business District—karena ingin berinvestasi di pasar
modal. Ia membutuhkan informasi lebih jauh soal saham meski sejujurnya ia
sungkan menyambangi mal bergengsi. “Untuk mencapai ke sini, saya harus nebeng tetangga. Tiap tahun, tetangga
saya itu ikut acara ini. Kalau saya, perlu ekstra untuk masuk ke sini,” kata
Jenny.
Gaya
para pengunjung acara pameran dan edukasi pasar modal ini memang macam-macam.
Selain Jenny dan dua ibu-ibu tadi, para pengunjung cukup beragam; pekerja
kantoran, wirausaha, pelajar, hingga ibu rumah tangga. Mereka memadati sejumlah
booth pameran yang diisi oleh emiten,
perusahaan sekuritas, manajemen investasi, dana pensiun, asuransi, dan
perusahaan teknologi online trading.
Capital
Market Expo merupakan hajatan sosialisasi dan edukasi pasar modal yang
diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bursa Efek Indonesia (BEI),
PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia, dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia.
Aktivitas ini bagian dari Investor Summit and Capital Market Expo (ISCME). Di
Jakarta, kegiatannya berlangsung pada 17-18 September, sedangkan di Surabaya
pada 20-21 Agustus di Grand City Mall & Convex.
Direktur
Utama BEI Ito Warsito mengatakan acara ini hanya sarana edukasi antar-investor
ritel dengan direksi emiten. “Jadi kami tidak menargetkan berapa calon investor
yang akan masuk,” katanya. “Investor ritel kan
susah bertemu direksi, maka dari itu acara ini menjadi momentum yang pas.”
Dalam Capital Market Expo, sebanyak 28 emiten mempresentasikan kinerja. Karena
tempat terbatas, BEI pun hanya menargetkan 2.500 pengunjung per hari atau 5.000
pengunjung selama perhelatan berlangsung.
Anggarannya
tentu tak kecil, mengingat empat institusi itu butuh dana untuk menyewa Grand
City Mall dan Pacific Place, ditambah biaya lainnya. Meski mendapat pemasukan
sewa lahan dari peserta, pihak BEI enggan membeberkan bujet, begitu pula Pacto
Convex Ltd., pihak ketiga yang ditunjuk menangani pameran sejak 2008. Namun,
berdasarkan surat undangan kepada emiten, terungkap harga sewa lahan booth untuk acara di Jakarta (3 meter x
2 meter) antara Rp11 juta-12,5 juta per hari, sedangkan di Surabaya dipatok Rp4
juta-6 juta, belum termasuk pajak pertambahan nilai 10%, biaya listrik,
telepon, dan internet. “Harga sewa booth
dari tahun ke tahun tak berubah. Kami tidak mencari untung karena ini edukasi.
Manfaatnya cukup besar. Stakeholder
ingin jumlah investor sama dengan jumlah penabung dari hasil edukasi ini,” kata
Manajer Humas Pacto Ika Nazarudin kepada Bloomberg
Businessweek Indonesia.
Namun,
tak bisa dimungkiri Capital Market Expo menjadi ajang menarik calon investor
baru terutama pemodal ritel yang jumlahnya masih rendah. Data OJK mencatat,
total investor ritel di pasar modal saat ini hanya sekitar 400.000 atau 0,3%
dari jumlah masyarakat kelas menengah. Realitas itu memaksa semua pemangku
kepentingan baik OJK, BEI, maupun anggota bursa gencar bersosialisasi.
Salah
satu investor yang mengenal investasi lewat acara tersebut, Farid Agus Pribadi,
mengakui manfaat rutinitas Capital Market Expo. Namun dia menilai upaya stakeholder belum maksimal, gelaran itu
seperti kurang greget. “Pak Muliaman Hadad [Ketua OJK] bilang mereka mengincar
kelas menengah, tapi saya lihat acara ini kok
setiap tahun di mal elite. Kalau ingin sosialisasi jangan pilih mal elite
begini. Masyarakat biasa mana mau ke sini?” ujar pengusaha di Surabaya ini. Ia
memang sengaja datang ke Jakarta hanya untuk pameran tersebut. “Belum ada
terobosan juga dalam hal peraturan untuk investor ritel.”
Agus
boleh jadi benar ketika menekankan soal regulasi. Di luar negeri, upaya
mendorong investor ritel telah lama mengemuka. Singapura sudah melakukannya 21
tahun yang lalu ketika SingTel menjadi perusahaan publik di Singapore Stock
Exchange (SGX) pada Oktober 1993. Ada tiga seri saham A, B, dan C. Saham B
menjadi alokasi khusus bagi masyarakat. Harganya didiskon supaya publik
berbondong-bondong memperbesar kepemilikan atas saham perusahaan. Malaysia pun
mendorong investor ritel saat penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) Tenaga Nasional Berhad, perusahaan
listrik terbesar di Malaysia.
SGX
juga mengajukan aturan IPO baru termasuk kewajiban menyediakan saham seri (tranche) bagi investor ritel minimal 5%
dari total saham perdana. Ini terungkap dalam dokumen yang dirilis firma hukum
internasional, Freshfields Bruckhaus Deringer, November dua tahun lalu. Langkah
SGX ini kontras dengan aturan IPO bursa lain yang cenderung ditawarkan kepada
investor institusi—kecuali Hong Kong yang wajib mengalokasikan saham ritel 10%.
Bursa
Singapura juga mengajukan mekanisme clawback
atau pembeli siaga investor ritel. Jadi emiten wajib mengalokasikan minimal 10%
saham ke ritel asal permintaan IPO dari ritel kelebihan permintaan 15 kali.
Porsi saham ritel wajib 20% bila saham perdana kelebihan permintaan hingga 50
kali dari investor ritel. Tapi bila minat tak sampai 5%, saham itu bisa
dialokasikan ke investor institusi. “Di Amerika dan Eropa, IPO cenderung ke
institusi, kecuali perusahaan terkenal macam Facebook di Amerika dan Direct
Line di Inggris,” tulis Teresa Co, Stephen Revell, dan David Cotton dalam
dokumen tersebut. Bursa Malaysia Bhd, seperti dilansir The Edge Financial Daily, juga bakal menaikkan porsi ritel lewat
regulasi karena selama ini investment
banking atau para penjamin emisi bebas mengalokasikan saham IPO ke
institusi dan private—seperti di
Indonesia.
Ito
pernah menegaskan bursa efek belum mewajibkan porsi saham ritel karena masih
terkendala. Besaran alokasi, katanya, bergantung pada emiten dan penjamin
pelaksana emisi. Selama ini, bursa efek hanya mengimbau agar porsi saham IPO
bagi ritel tidak terlalu kecil sehingga investor ketengan bisa merasakan saham perdana. Rendahnya porsi ritel
dinilai karena penjamin emisi enggan mengambil risiko atas saham yang tidak
diserap oleh publik. Ujung-ujungnya perusahaan sekuritas yang akhirnya
menyerap. Selain itu, perusahaan efek khawatir pada hari perdana listing pemodal ritel ramai-ramai
melepas sahamnya di pasar. Ini dapat menekan harga saham.
Kendati
BEI tak berdiam diri dan tengah merealisasikan aturan free float (jumlah kepemilikan saham publik) minimal 7,5%,
sosialisasi lewat gelaran itu tampaknya belum berdampak signifikan. Perlu ada
regulasi penopang yang bisa paralel dengan langkah edukasi. Strategi
konvensional mestinya tak melulu menjadi yang terdepan meski sosialisasi dan
edukasi tetap merupakan kunci bagi pengenalan pasar modal. Jangan sampai
Investor Summit hanya menjadi ajang mencari doorprize
atau goody bags.
Terbit
di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 28 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar