Sabtu, 15 November 2014

DURI-DURI E-COMMERCE

ilustrasi by Episerver.com
Riset Google mengungkapkan besarnya potensi belanja online di Tanah Air, sayang masih terhambat

Oleh M. Tahir Saleh

TIGA tahun lalu, Kepolisian China menangkap 36 tersangka penipuan belanja online senilai US$6,6 juta ketika para penjahat itu berpura-pura menjadi pemasok sah situs alibaba.com dan sejumlah situs online lain. Nilai tipu muslihat itu setara dengan Rp73 miliar, bukan nilai remeh untuk ukuran transaksi elektronik.

Penangkapan kasus-kasus serupa terjadi pula di Indonesia. Akhir tahun lalu penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri membekuk para pelaku penipuan online, warga negara China. Modus paling umum adalah memasang iklan di sebuah situs, memublikasikan barang palsu, lalu meminta calon pembeli yang kepincut produk itu untuk mentransfer dana.

Aktivitas jual-beli di situs memang masih punya celah risiko keamanan. Riset terbaru perusahaan antivirus Kaspersky Lab bertajuk Financial Cyber Threats in 2013 yang dirilis awal April ini menegaskan kekhawatiran itu. Sepanjang tahun lalu, aksi phishing—mencuri informasi seperti user ID, kata kunci, PIN, informasi rekening bank, kartu kredit, dan lainnya—terhadap toko belanja online naik dari 5,66% menjadi 6,51%.

Toko online masuk dalam kategori Keuangan Online bersama dengan bank dan sistem pembayaran. Phishing tertinggi ialah kategori Media Sosial (35,39%), lalu Keuangan Online (31,45%), dan E-mail (23,30%). Amazon.com menjadi situs paling populer menjadi sasaran phishing. Situs ini mendapat serangan hingga 61%, disusul Apple termasuk iTunes Store (12,89%), dan eBay (12%). “Phishing menjadi sangat populer lantaran mudah dilancarkan dan amat efektif. Sulit bagi pengguna internet, yang jago sekalipun, untuk membedakan situs palsu dan situs asli karena situs palsu didesain dengan begitu baik,” kata Sergey Lozhkin, periset senior bidang keamanan Kaspersky Lab, dikutip di situs resminya.

Soal keamanan ini pulalah yang tersingkap dalam riset TNS berkolaborasi dengan Google Indonesia yang dipublikasikan awal April. Survei berjudul “Business Insight with Google: Pelanggan Online Indonesia” ini memaparkan faktor keamanan menjadi hambatan utama bagi pembeli online. Selain keamanan data pribadi, konsumen juga khawatir terhadap kualitas barang yang dijual. “Dua dari lima responden bilang, ‘Saya tak yakin dengan kualitas produk yang akan saya terima’,” kata Country Head Google Indonesia Rudy Ramawi dalam presentasinya di Jakarta. “Mereka juga bilang, ‘Saya ingin memegang atau mencoba produk sebelum saya membeli’.”

Ada empat grup responden yang disurvei: pembelanja online recent (pernah berbelanda online dalam satu bulan terakhir), pembelanja online non-recent (pernah belanja online lebih dari 6 bulan lalu), pembelanja non-online (tidak pernah berbelanja online), dan penjual (pernah menjual secara online). Jumlah responden yang mencapai 1.300 orang tersebar di 12 kota antara lain Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Makassar, dan Pontianak selama Desember 2013-Februari 2014.

Hasilnya, kualitas produk dan keamanan data atau detail keuangan merupakan pertimbangan utama dalam berbelanja online. Dua isu ini menjadi ‘duri’ dalam bisnis online, selain beberapa persoalan lain. Padahal jika dua hambatan ini diatasi, misalnya dengan inovasi atau kemudahan pembayaran, potensi bisnis belanja online yang cukup tinggi ini bukan cuma isapan jempol.

Dari survei itu terungkap, satu dari dua orang Indonesia yang sudah online tapi belum pernah berbelanja online akan berbelanja online dalam 12 bulan ke depan. Informasi lain pun tersibak, misalnya pakaian menjadi produk pertama yang dibeli secara online. Sebagian besar mencoba online karena menghemat waktu. “‘Menghemat waktu’ disebut empat kali lebih sering daripada 'harga' sebagai faktor paling penting dalam berbelanja online,” kata Rudy.

Sebelum transaksi, para pembelanja online melakukan riset terlebih dulu via mesin pencari (41%), media sosial (37%), situs berita atau majalah, dan newsletter. Para penjual pun lebih tertarik berdagang lewat online lantaran potensi industri ini besar, bukan mencari kesempatan menjual dengan harga tinggi. “Empat dari lima penjual mengatakan bahwa alasan mereka berjualan online adalah karena ada banyak pembelanja online,” ujar Rudy. “Hanya satu dari lima penjual beralasan ingin mendapatkan harga tertinggi.”

Sebetulnya isu keamanan menjadi isu klasik dalam e-commerce, tapi hingga kini belum ada penyelesaian. Dalam pernyataan resmi, Asosiasi E-Commerce Indonesia atau idEA pun mengakui isu keamanan transaksi online masih menjadi masalah. Pemerintah sudah meminta penggunaan alamat website -.co.id guna menjamin keamanan sebagaimana tertuang dalam PP No.82/2012. Namun, faktanya penipuan (fraud) masih terjadi pada pengguna internet.

Sejumlah pengelola situs sudah menempuh langkah antisipasi dan perbaikan dalam meningkatkan layanan. Zalora Indonesia, salah satu situs belanja online yang fokus pada produk fesyen, menerapkan kendali kualitas (quality control/QC) hingga tiga lapis; meminta pemasok mengirim barang dengan standar baik. Saat barang sampai pun dijaga dengan QC baik. Lalu, ketika barang dikirim pun dengan QC yang baik. “Parameternya kami cek semua detail, kami QC semua kategori, bahan kita lihat, kerapian, detail,” kata Hadi Kuncoro, Vice President Operasional Zalora Indonesia. Mereka bahkan berkomitmen mengembalikan barang jika konsumen menerimanya sudah jelek dari awal.

Soal hambatan industri ini, Hadi menitikberatkan ihwal lain di samping keamanan dan kualitas barang. Baginya pola pikir (mindset) dan dukungan industri terkait (sistem informasi dan regulasi) menjadi hambatan. “Gimana mengubah mindset orang. Belum banyak SDM paham e-commerce. Pada tingkatan supporting terkendala misalnya pembayaran, teknologi informasi, bandwidth masih belum standar, belum cukup bagus,” katanya. Kendala lainnya, sistem logistisk yang belum bisa menggarap pengiriman hingga lebih dari 17.000 pulau di Indonesia.

Namun, perseroan tetap optimistis terhadap potensi bisnis e-commerce. Tahun ini, Zalora yakin omzet tumbuh lebih dari dua kali lipat dibanding tahun lalu—yang naik fantastis hingga 400% meski tak menyebutkan detailnya.

Setidaknya survei Google soal perilaku konsumen bisa menjadi patokan bagaimana seharusnya para pebisnis sektor ini mengarahkan sasarannya. Bukan hanya itu, berbagai kendala itu mestinya mendorong pelaku industri berupaya membuat konsumen makin percaya dan nyaman dengan belanja online.

Riset Sift Science 2013, mengungkapkan dari 25 negara dengan tingkat penipuan internet terbanyak, ada empat negara Asia Tenggara yang masuk: Malaysia (urutan ke-7), Filipina (10), Indonesia (14), dan Singapura (16).

SURVEI GOOGLE 2014:
  • Pembelanja online recent berkata... ‘Internet menawarkan barang-barang yang lebih murah daripada ritel atau pasar'.
  • Satu dari tiga pembelanja non-online berkata: “Saya lebih suka belanja di pasar atau toko karena ini sudah menjadi bagian dari keseharian saya”.
  • Pakaian dibeli dua kali lebih sering daripada ponsel atau produk elektronik. Tapi, rata-rata nilai pembelian untuk pakaian hanya seperempatnya.

Sumber: TNS Online Shopper Study – Indonesia

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 14 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu