Jumat, 14 November 2014

MEMANJAKAN MATA DAN TELINGA

bang-olufsen.com
Merek kondang dari Denmark ini menjadi simbol audio-visual bagi kalangan superpremium

Oleh M. Tahir Saleh

DARI semua merek elektronik, ada satu yang menarik perhatian Soetikno Soedarjo ketika kuliah di luar negeri, yakni Bang & Olufsen. Bersama mitranya di Mugi Rekso Abadi (MRA) Group, Soetikno lalu mengajukan waralaba atas brand yang fokus pada televisi dan pengeras suara itu. Tak disangka, penawaran mereka diterima dan Bang & Olufsen Indonesia kemudian hadir pada Juli 2001 di bawah bendera PT Sarana Elektrindo Utama, anak usaha divisi ritel dan luxury MRA.

Sejak sekolah di Amerika, ayah dan teman-temannya suka sekali dengan Bang & Olufsen [B&O]. Mereka approach untuk ambil franchisee dan dapat,” kata Putri Soedarjo, putri pertama Soetikno saat ditemui di Jakarta, pekan lalu. Kini, Putri menjabat sebagai Kepala Divisi Retail & Lifestyle Sarana Elektrindo.

Keputusan menjadi terwaralaba ini bisa dibilang cukup berani lantaran saat itu krisis global belum pulih dan masih terasa di Indonesia. Apalagi produk B&O yang membidik segmen superpremium—konsumen di atas premium dengan harga supermahal—belum tentu laris di sini. “Pertimbangannya lumayan berani menurut saya karena kala itu [2001] pasar belum segitu ready daripada sekarang,” ujar Putri. Namun, insting bisnis Soetikno sebagai CEO MRA Group dan rekan-rekannya jitu karena konsumen superpremium nyatanya tak terpengaruh krisis. Kalau Ferrari, Rolls-Royce, atau Lamborghini menjadi ikon superpremium di sektor otomotif, B&O menawarkan kenikmatan di segmen audio-visual. Brand ini kuat dalam gaya, desain, kelas, dan harganya sangat tinggi, tapi sebanding dengan kualitas yang ditawarkan.

Sebetulnya menjual brand kelas atas bukan hal baru bagi MRA. Sebelumnya mereka telah menghadirkan Bvlgari, merek global asal Italia yang lahir pada 1884 dan fokus pada perhiasan, jam, aksesori luks, hingga hotel dan resor. “Pada 1997 MRA juga menjadi wakil Harley-Davidson di sini. Saat ini Harley is doing very well, tapi saya tahu banget rasanya ketika krisis nge-push Harley. Jadi, saat ambil B&O kayaknya sudah enggak takut lagi ambil high brand,” kata perempuan 29 tahun ini.

Bagi Putri yang sebelumnya bekerja sebagai analis di Northstar Pacific, butuh strategi pemasaran mumpuni guna menangani merek luks macam B&O. Pasalnya konsumennya kelas atas: direktur utama, eksekutif, hingga pemilik perusahaan. Tipe seperti itu tidak lagi mempermasalahkan harga, tapi kualitas dan nilai prestisemeski barang-barang andalan B&O hanya dipajang di rumah seperti televisi, home theatre, dan speaker.

Produk-produknya dijual di Indonesia dengan mata uang dolar Singapura di dua toko resmi di Plaza Indonesia dan Pacific Place, Jakarta. Harganya berkisar antara S$15.000-40.000 atau setara Rp140-375 juta (dengan asumsi kurs Bank Indonesia S$1=Rp9.374). Mereka juga menyasar segmen anak muda dengan merilis produk entry level yang disebut B&O Play seperti earphone, iPod dock, dan speaker portabel dengan kisaran harga S$400-3.000. “Speaker terlaris A8 dipatok sekitar Rp20 juta, A9 Rp35 juta, dan earphone mini sekitar Rp2,5 juta paling murah,” kata Eunike A. Sentosa, Manajer Pemasaran dan Komunikasi Sarana Elektrindo.

Secara harga, pesaing yang hampir seimbang dengannya adalah oewe, perusahaan asal Jerman; sedangkan dalam hal kualitas, B&O mengklaim teknologi mereka belum bisa disamai. Dari perspektif konsumen, kompetitornya B&O adalah Samsung dan Bose, merek asal Amerika. “Produk kami lumayan long-lasting dalam hal siklus, bahkan A8 sejak tiga tahun lalu sampai sekarang masih best selling,” kata Putri.

Tingginya harga memang dipengaruhi kualitas produk, material, dan kuatnya brand. Selain itu, B&O merupakan perusahaan Eropa yang relatif kecil—sekitar 2.000 karyawan—dan biaya tenaga kerja di Denmark juga tinggi. Beoworld, situs komunitas B&O, menjelaskan bahan yang mereka gunakan pun lebih mahal, desain produknya dibuat agar punya rentang usia panjang—10 tahun. Contohnya BeoVision Avant 55 inci, TV UltraHD pertama yang diklaim bisa bergerak. Tak hanya menyelaraskan sudut pandang, tapi dudukan TV ini pun bisa membuat posisinya agak maju untuk menyesuaikan jarak menonton ideal. Itu yang membuat sejumlah pengguna puas. “Para tamu kami sangat menikmati TV baru, kualitas suara mengagumkan, jernih, keluar langsung dari layar. Mereka yang membawa pemutar MP3 bisa mendengarkan musik lewat speaker televisi B&O,” kata Fred Huerst, Manajer Umum Grand Hyatt, Berlin, dikutip dari situs resmi perseroan.

Desainnya bagus, cuma sangat mahal. Hanya saja ada produk yang beberapa kali tidak reliable sebagai barang premier,” kata David Erza-Evans, salah satu konsumen, kepada Bloomberg Businessweek Indonesia. David yang bekerja sebagai produser televisi memiliki peranti B&O untuk sistem telepon rumah yang dibelinya di London seharga US$1.000. “Problem merek elektronik kelas atas ialah mereka tidak punya dana besar untuk litbang,” katanya menjelaskan.

Selama ini konsep pemasarannya mengusung pendekatan personal karena servis tak bisa disamakan antara satu pembeli dan lainnya. “Ada juga konsumen yang ingin beda, misalnya home theatre, maunya speaker lain di luar paket. Ya, kami ikutin seleranya. Tapi, yang penting bagi staf penjualan ialah pengetahuan produk,” kata Gregorius Gelson, Manajer Operasi Sarana Elektrindo sambil mempersilakan menjajal speaker dan home theatre B&O yang sangat memanjakan mata dan telinga dengan tampilan dan dentuman suara mengagumkan.

Penjualan tak hanya melalui toko resmi, pemasar B&O juga menyambangi rumah calon pembeli guna mengetahui desain rumah dan menerka produk yang sesuai. Ada pula pembeli yang mendelegasikan arsitek atau desainer interior sendiri untuk berkonsultasi. Promosi via iklan di majalah kelas atas juga ditempuh, namun tidak lewat online shop sebagaimana merek superpremium lain. “Kayaknya kalau customer beli speaker harganya S$20.000, enggak lewat internet deh,” kata Putri.

Hingga saat ini kontribusi B&O terhadap MRA belum signifikan, meski tetap menguntungkan. Dibanding divisi otomotif MRA (Ferrari, Maserati, Abarth, dan Harley), B&O memang masih kalah. Tahun ini perseroan mencoba fokus kembali ke produk inti, yaitu televisi dan speaker. Hanya saja, ekspansi B&O Play tetap dilakukan dengan kerja sama konsinyasi atau titip barang di sejumlah gerai lainnya.

Sejumlah kota menjadi incaran ekspansi, seperti Bali dan Surabaya, tapi tak dimungkiri membuka toko baru butuh dana besar. Sebagai terwaralaba, biaya promosi dianggarkan sekitar 5-7% dari penjualan. Di tengah potensi kelas atas yang terus bertambah, perseroan kini menghadapi tantangan soal kompetisi harga karena produk B&O di Asia Tenggara—seperti Singapura—tak dikenakan pajak. “Kelas menengah di Indonesia naik terus. Riset McKinsey membuktikan bahwa orang kita (Indonesia), dibandingkan negara Asia lainnya, paling percaya sama Band. In brand we trust,” ujar Putri.

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 21 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu