![]() |
bang-olufsen.com |
Merek
kondang dari Denmark ini
menjadi
simbol audio-visual bagi kalangan superpremium
Oleh
M. Tahir Saleh
DARI semua merek elektronik, ada satu yang menarik perhatian Soetikno
Soedarjo ketika kuliah di luar negeri,
yakni Bang & Olufsen. Bersama mitranya di Mugi Rekso Abadi (MRA)
Group, Soetikno lalu mengajukan waralaba atas brand
yang fokus pada televisi dan pengeras suara itu. Tak disangka,
penawaran mereka
diterima
dan Bang & Olufsen Indonesia kemudian
hadir
pada Juli 2001 di bawah bendera PT Sarana Elektrindo Utama, anak
usaha divisi ritel dan luxury
MRA.
“Sejak
sekolah di Amerika, ayah dan teman-temannya suka sekali dengan Bang &
Olufsen [B&O]. Mereka approach
untuk ambil franchisee
dan dapat,” kata Putri Soedarjo, putri pertama Soetikno saat
ditemui di Jakarta, pekan lalu. Kini, Putri menjabat sebagai Kepala
Divisi Retail & Lifestyle Sarana Elektrindo.
Keputusan
menjadi terwaralaba ini bisa dibilang cukup berani lantaran saat itu
krisis global belum pulih dan masih terasa di Indonesia. Apalagi
produk B&O yang membidik
segmen
superpremium—konsumen di atas premium dengan harga supermahal—belum
tentu laris di sini. “Pertimbangannya lumayan berani menurut saya
karena kala itu [2001]
pasar belum
segitu
ready
daripada sekarang,” ujar Putri. Namun, insting bisnis Soetikno
sebagai CEO MRA Group dan rekan-rekannya jitu karena konsumen
superpremium nyatanya tak terpengaruh krisis. Kalau Ferrari,
Rolls-Royce, atau Lamborghini menjadi ikon superpremium di sektor
otomotif, B&O menawarkan kenikmatan di segmen audio-visual. Brand
ini kuat dalam
gaya,
desain, kelas, dan harganya
sangat tinggi, tapi sebanding dengan kualitas yang ditawarkan.
Sebetulnya
menjual brand
kelas atas bukan hal baru bagi MRA.
Sebelumnya
mereka telah
menghadirkan
Bvlgari, merek global asal Italia yang lahir pada 1884 dan fokus pada
perhiasan, jam, aksesori luks, hingga hotel dan resor.
“Pada 1997 MRA juga menjadi wakil Harley-Davidson di sini. Saat ini
Harley is
doing very well,
tapi saya tahu banget
rasanya ketika krisis nge-push
Harley. Jadi, saat ambil B&O kayaknya
sudah enggak
takut lagi ambil high
brand,”
kata perempuan 29 tahun ini.
Bagi
Putri yang sebelumnya bekerja sebagai analis di Northstar Pacific,
butuh strategi pemasaran mumpuni guna menangani merek luks macam B&O.
Pasalnya konsumennya kelas atas: direktur utama, eksekutif, hingga
pemilik perusahaan. Tipe seperti itu tidak lagi mempermasalahkan
harga,
tapi kualitas dan nilai prestise—meski
barang-barang andalan B&O hanya dipajang di rumah seperti
televisi, home
theatre,
dan speaker.
Produk-produknya
dijual di Indonesia dengan mata uang dolar Singapura di dua toko
resmi di Plaza Indonesia dan Pacific Place,
Jakarta.
Harganya berkisar antara S$15.000-40.000 atau setara Rp140-375 juta
(dengan
asumsi kurs Bank Indonesia S$1=Rp9.374).
Mereka juga menyasar segmen anak muda dengan merilis produk entry
level
yang disebut B&O Play seperti earphone,
iPod dock,
dan speaker
portabel dengan kisaran harga S$400-3.000. “Speaker
terlaris A8 dipatok sekitar Rp20 juta, A9 Rp35 juta, dan earphone
mini sekitar Rp2,5 juta paling murah,” kata Eunike A. Sentosa,
Manajer Pemasaran dan Komunikasi Sarana Elektrindo.
Secara
harga, pesaing yang hampir seimbang dengannya
adalah oewe,
perusahaan asal Jerman;
sedangkan dalam hal kualitas, B&O mengklaim teknologi mereka
belum bisa disamai. Dari perspektif konsumen, kompetitornya B&O
adalah Samsung dan Bose,
merek asal
Amerika. “Produk kami lumayan long-lasting
dalam hal siklus, bahkan A8 sejak
tiga tahun
lalu sampai sekarang masih best
selling,”
kata Putri.
Tingginya
harga memang dipengaruhi kualitas produk, material, dan kuatnya
brand.
Selain itu, B&O merupakan perusahaan Eropa yang relatif
kecil—sekitar 2.000 karyawan—dan biaya tenaga kerja di Denmark
juga tinggi. Beoworld, situs komunitas B&O, menjelaskan bahan
yang mereka
gunakan
pun lebih mahal, desain
produknya
dibuat agar punya rentang usia panjang—10 tahun. Contohnya
BeoVision
Avant 55 inci,
TV UltraHD pertama yang diklaim bisa ‘bergerak’.
Tak hanya menyelaraskan sudut pandang, tapi dudukan TV ini
pun
bisa membuat posisinya agak maju untuk menyesuaikan jarak menonton
ideal. Itu yang membuat sejumlah pengguna puas. “Para tamu kami
sangat menikmati TV baru, kualitas suara mengagumkan, jernih, keluar
langsung dari layar. Mereka yang membawa pemutar MP3 bisa
mendengarkan musik lewat speaker
televisi B&O,” kata Fred Huerst, Manajer Umum Grand Hyatt,
Berlin, dikutip dari situs resmi perseroan.
“Desainnya
bagus, cuma sangat mahal. Hanya saja ada produk yang beberapa kali
tidak reliable
sebagai barang premier,”
kata David Erza-Evans,
salah satu konsumen,
kepada Bloomberg
Businessweek Indonesia.
David yang
bekerja sebagai produser
televisi memiliki
peranti
B&O
untuk
sistem telepon rumah yang dibelinya di London seharga US$1.000.
“Problem merek elektronik kelas atas ialah mereka tidak punya dana
besar untuk litbang,” katanya menjelaskan.
Selama
ini konsep pemasarannya
mengusung pendekatan
personal karena servis tak bisa disamakan antara satu pembeli dan
lainnya. “Ada juga konsumen yang ingin beda, misalnya home
theatre,
maunya speaker
lain di luar paket. Ya,
kami
ikutin
seleranya.
Tapi,
yang penting bagi staf penjualan ialah pengetahuan produk,” kata
Gregorius Gelson, Manajer Operasi Sarana Elektrindo sambil
mempersilakan menjajal speaker
dan home
theatre
B&O yang sangat memanjakan mata dan telinga dengan tampilan dan
dentuman suara mengagumkan.
Penjualan
tak hanya melalui toko
resmi,
pemasar B&O juga menyambangi rumah calon pembeli guna mengetahui
desain rumah dan menerka produk yang sesuai. Ada pula pembeli yang
mendelegasikan arsitek atau desainer interior sendiri untuk
berkonsultasi. Promosi via iklan di majalah kelas atas juga ditempuh,
namun
tidak lewat online
shop
sebagaimana merek superpremium lain. “Kayaknya kalau customer
beli
speaker
harganya
S$20.000, enggak
lewat internet deh,”
kata Putri.
Hingga
saat ini kontribusi B&O terhadap MRA belum signifikan,
meski tetap menguntungkan. Dibanding divisi otomotif MRA (Ferrari,
Maserati, Abarth, dan Harley), B&O memang masih kalah. Tahun ini
perseroan mencoba fokus kembali ke produk inti,
yaitu televisi dan speaker.
Hanya saja, ekspansi B&O Play tetap dilakukan dengan kerja sama
konsinyasi atau titip barang di sejumlah gerai
lainnya.
Sejumlah
kota menjadi incaran ekspansi, seperti Bali dan Surabaya, tapi tak
dimungkiri membuka toko baru butuh dana besar. Sebagai terwaralaba,
biaya promosi dianggarkan sekitar 5-7% dari penjualan. Di tengah
potensi kelas atas yang terus bertambah, perseroan kini menghadapi
tantangan soal kompetisi harga karena produk B&O di Asia
Tenggara—seperti Singapura—tak dikenakan pajak. “Kelas menengah
di Indonesia naik terus. Riset McKinsey
membuktikan bahwa orang kita (Indonesia), dibandingkan negara Asia
lainnya, paling percaya sama Band. In brand we trust,”
ujar Putri. □
Terbit
di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 21 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar