Jumat, 14 November 2014

KALIGRAFI DUA BUDAYA

Kaligrafi China, by Mandarin-one
Sejak 3.000 tahun lalu, sejarah tulisan China kuat memengaruhi perkembangan banyak gaya seni kaligrafi

Oleh M. Tahir Saleh
 
BERASAL dari suku Hui, Sulaiman beragama Islam sejak lahir. Pria 40 tahun ini besar di Henan, salah satu provinsi di China. Dia kemudian pindah ke Xi’an, lalu ke Guangzhou untuk membuka restoran. Di ibu kota provinsi Guangdong ini, dia mengelola dua rumah makan bersama sang istri. “Menunya makanan halal muslim Tionghoa,” katanya terbata-bata dalam bahasa Indonesia.

Setelah restorannya berkembang, Sulaiman mencoba berekspansi ke Indonesia sekaligus ingin memperkenalkan budaya China kepada muslim Tanah Air. Mula-mula, dia mengontak pengurus asosiasi Islam Tionghoa di Malaysia karena nihil kenalan di Jakarta. Pengurus organisasi muslim di sana lalu menghubungi Ketua Umum Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) DKI Jakarta, Syarif Tanudjaja. Muliawan, Ketua I Bidang Bahasa Mandarin organisasi itu pun ditunjuk sebagai pendamping. “Sesuai peraturan, bila ada warga asing berbisnis, wajib mendapat pendamping,” kata Muliawan, pria asli Tionghoa yang lahir di Jember, Jawa Timur.
 
Mereka berdua lalu observasi ke sana-ke sini sampai ketemulah Jalan Batu Ceper Raya No. 73 Jakarta Pusat yang menjadi lokasi Sulaiman Resto saat ini. “Restoran sebetulnya sudah 2,5 tahun. Semula di Jalan Wahid Hasyim, tapi kecil, banyak sekali yang antre. Kami pindah ke sini baru April lalu,” kata Muliawan menerjemahkan penjelasan Sulaiman ketika berbincang di restoran itu, pekan lalu. “Total semua investasi kami Rp1,5 miliar untuk sewa tiga tahun, renovasi bangunan, dan lainnya,” kata Sulaiman.

Hanya saja, mereka merasa kok masih ada yang kurang. Tercetuslah ide mendirikan galeri seni yang bisa mengakomodasi dua hal: Islam dan Tionghoa. Banyak hal belum diketahui soal muslim di Negeri Tirai Bambu, seperti jumlah muslim dan bagaimana perlakuan serta dukungan pemerintah. Total pemeluk Islam, kata Muliawan, mencapai 30 juta dan mayoritas dari suku Hui dan Uighur. Menurut daftar, ada 56 suku resmi di Republik Rakyat China. Dari 56 suku itu, yang terbanyak (92%) berasal dari suku Han, sisanya (8%) dikeroyok oleh suku minoritas yang terkonsentrasi di pedalaman.

Didin dan Abu Bakar, by Dream co.id
Guna memperkenalkan ihwal seluk-beluk Islam di China, didirikanlah Galeri Kaligrafi Islam-Tionghoa yang resmi dibuka pada 14 Agustus. Dalam pendirian itu, Sulaiman menggandeng Lembaga Budaya Nusaraya, Muslim Tour China, PITI Jakarta, Yayasan Masjid Lautze, Lembaga Kaligrafi Al-Quran (Lemka), dan Aditya Mangoen Production. 

Bagi Sulaiman, memperkenalkan budaya asal kepada muslim Indonesia tak cukup dengan kuliner, tapi perlu diperluas dengan seni kaligrafi. Sebab itulah lokasi galeri berada di dalam restoran.
 
Galeri pertama di Indonesia ini memamerkan karya seniman China, Abu Bakar Chang, dan seniman lokal Didin Sirojuddin—yang juga Ketua Lemka. “Koleksi kaligrafi dipamerkan tiap hari dan diperbaharui tiap enam bulan,” kata Roy Wong, pemilik Muslim Tour China. “Ini kan baru pembukaan, baru ada lebih dari 50 karya. Nanti dalam proses ada tambahan,” kata pria asal Henan yang lancar berbahasa Indonesia ini. Sebelumnya Roy memeluk Konfusius dan menempuh pendidikan Teknik Industri di Universitas Presiden, Cikarang—program pertukaran mahasiswa yang digelar oleh Panin Group. “Saya berteman dengan Sulaiman sudah dua tahun, atas dasar kepercayaan yang sama. Dia fokus di restoran, saya di tur,” kata Roy yang mempersunting wanita asal Demak ini.

Kaligrafi merupakan seni menulis indah, terbagi atas kaligrafi huruf latin atau Roman, Arab, dan Oriental (China, Jepang, Korea, dan lainnya). Ada makna filosofi tertentu, tak sekadar keindahan tulisan. Kaligrafi pun banyak mengandung petuah bijak atau pesan moral dan dipakai pula untuk menulis berbagai ungkapan—bela sungkawa, ucapan pernikahan, atau ulang tahun. Konon, orang Tionghoa dahulu menggunakan gambar sebagai alat berkomunikasi.

Suasana restoran, by Nationalgeographic
Di galeri itu, puluhan kaligrafi terlihat mengambil ayat-ayat kitab suci Al-Quran. Model shiny dipadukan dengan gaya penulisan China sehingga menghasilkan tipikal tulisan yang khas. “Ciri khas kaligrafi Islam-Tionghoa ada pada penggunaan warna hitam dan putih. Bila dilihat mendetail, goresan hitam-putih juga tampak. Kombinasi ini mencerminkan konsep yin dan yang,” kata Roy menjelaskan. Unsur tebal tipis goresan, komposisi, teknik kaligrafer saat menggoreskan tinta pun menjadi pertimbangan menilai karya kaligrafi.

Salah satu karya Abu Bakar Chang tampak unik karena ditulis dalam bentuk sebuah vas bunga. Dalam konferensi pers, Abu Bakar—yang belajar kaligrafi sejak 13 tahun—mengatakan proses pembuatannya dibantu oleh teman yang melukis vas bunga. Doa-doa dalam Al-Quran yang ia tulis sesuai dengan bentuk vas. Hasilnya indah sekali. “Doa-doa ini saya tulis ringkas, tapi masih bisa dimengerti. Bunga ini rajanya bunga di China,” kata seniman kelahiran 1978 asal suku Hui ini. Ia menjual karya seni itu sekitar Rp20 juta. “Itu lebih mahal dari kaligrafi biasa antara Rp5-15 juta,” ujar Roy menambahkan. Abu kerap mengikuti gelaran internasional dan berencana membukukan ratusan karyanya. Kini pria berjanggut ini menjabat Wakil Ketua Perkumpulan Ahli Waris Peninggalan Budaya Non-benda Fisik di Yin Chuan.

Setelah berdiri, Sulaiman berharap galeri tersebut bisa membantu orang Indonesia memahami kebudayaan muslim China melalui kaligrafi dan juga kuliner khasnya. Dia melihat banyak orang lokal yang belum mengenali China. Justru itulah, kehadiran galeri ini diharapkan bisa meningkatkan persahabatan muslim di China dan Indonesia. “Pengunjung bisa menikmati kaligrafi sambil mencicipi hidangan khas China,” ujarnya. □


Sejarah dan Filosofi Kaligrafi China
  • Tulisan China memengaruhi pengembangan banyak gaya tulisan kaligrafi sejak 3.000 tahun silam, ditandai dengan orisinalitas dan kekayaan tulisan China.
  • Pada zaman kuno, karakter China terukir di atas tulang-tulang sapi, cangkang kura-kura, dan perunggu. Kemudian mereka menulis buku dengan bilah bambu. Tintanya menggunakan bulu bambu dan jelaga hitam. Penulisan kaligrafi juga dilakukan di atas kertas beras ataupun sutra.
  • Kaligrafi didominasi warna hitam dan putih. Pada zaman dinasti, hanya kaisar yang berhak menulis dengan warna lain, misalnya untuk mengkaji dokumen dari menterinya memakai warna merah. Filosofi hidup tradisional China adalah kerendahan hati, moderat, dan tidak menonjol. Nah, hitam-putih dapat mewakili filosofi itu.
  • Hitam dan putih juga memiliki filosifi yin-yang. Hitam mewakili malam, putih merepresentasikan siang; hitam-putih mengekspresikan hukum alam semesta.

Sumber: Penjelasan Lembaga Kebudayaan Nusaraya
Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 01 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu