![]() |
Kaligrafi China, by Mandarin-one |
Oleh
M. Tahir Saleh
BERASAL dari suku Hui, Sulaiman beragama Islam sejak lahir. Pria 40 tahun ini
besar di Henan, salah satu provinsi di China. Dia kemudian pindah ke
Xi’an, lalu ke Guangzhou untuk membuka restoran. Di ibu kota
provinsi Guangdong ini, dia mengelola dua rumah makan bersama sang
istri. “Menunya makanan halal muslim Tionghoa,” katanya
terbata-bata dalam bahasa Indonesia.
Setelah
restorannya berkembang, Sulaiman mencoba berekspansi ke Indonesia
sekaligus ingin memperkenalkan budaya China kepada muslim Tanah Air.
Mula-mula, dia mengontak pengurus asosiasi Islam Tionghoa di Malaysia
karena nihil kenalan di Jakarta. Pengurus organisasi muslim di sana
lalu menghubungi Ketua Umum Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)
DKI Jakarta, Syarif Tanudjaja. Muliawan, Ketua I Bidang Bahasa
Mandarin organisasi itu pun ditunjuk sebagai pendamping. “Sesuai
peraturan, bila ada warga asing berbisnis, wajib mendapat
pendamping,” kata Muliawan, pria asli Tionghoa yang lahir di
Jember, Jawa Timur.
Mereka
berdua lalu observasi ke sana-ke
sini sampai ketemulah Jalan Batu Ceper Raya No. 73 Jakarta Pusat yang
menjadi lokasi Sulaiman Resto saat ini. “Restoran sebetulnya sudah
2,5 tahun. Semula di Jalan Wahid Hasyim, tapi kecil, banyak sekali
yang antre. Kami pindah ke sini baru April lalu,” kata Muliawan
menerjemahkan penjelasan Sulaiman ketika berbincang di restoran itu,
pekan lalu. “Total semua investasi kami Rp1,5 miliar untuk sewa
tiga tahun, renovasi bangunan, dan lainnya,” kata Sulaiman.
Hanya
saja, mereka merasa kok
masih ada yang kurang. Tercetuslah ide mendirikan galeri seni yang
bisa mengakomodasi dua hal: Islam dan Tionghoa. Banyak hal belum
diketahui soal muslim di Negeri Tirai Bambu, seperti jumlah muslim
dan bagaimana perlakuan serta dukungan pemerintah. Total pemeluk
Islam, kata Muliawan, mencapai 30 juta dan mayoritas dari suku Hui
dan Uighur. Menurut daftar, ada 56 suku resmi di Republik Rakyat
China. Dari 56 suku itu, yang terbanyak (92%) berasal dari suku Han,
sisanya (8%) dikeroyok oleh suku minoritas yang terkonsentrasi di
pedalaman.
![]() |
Didin dan Abu Bakar, by Dream co.id |
Guna
memperkenalkan ihwal seluk-beluk
Islam di China,
didirikanlah Galeri Kaligrafi Islam-Tionghoa yang resmi dibuka pada
14 Agustus.
Dalam pendirian itu, Sulaiman menggandeng Lembaga Budaya Nusaraya,
Muslim Tour China, PITI Jakarta, Yayasan Masjid Lautze, Lembaga
Kaligrafi Al-Quran (Lemka), dan Aditya Mangoen Production.
Bagi
Sulaiman, memperkenalkan budaya asal kepada muslim Indonesia tak
cukup dengan kuliner, tapi perlu diperluas dengan seni kaligrafi.
Sebab itulah lokasi galeri berada di dalam restoran.
Galeri
pertama di Indonesia ini memamerkan karya seniman China, Abu Bakar
Chang, dan seniman lokal Didin Sirojuddin—yang juga Ketua Lemka.
“Koleksi kaligrafi dipamerkan tiap hari dan diperbaharui tiap enam
bulan,”
kata Roy Wong, pemilik Muslim Tour China. “Ini kan
baru pembukaan, baru ada lebih dari 50 karya. Nanti dalam proses ada
tambahan,” kata pria asal Henan yang lancar berbahasa Indonesia
ini.
Sebelumnya Roy memeluk Konfusius dan menempuh pendidikan Teknik
Industri di Universitas Presiden, Cikarang—program pertukaran
mahasiswa yang digelar oleh Panin Group. “Saya berteman dengan
Sulaiman sudah dua tahun, atas dasar kepercayaan yang sama. Dia fokus
di restoran, saya di tur,” kata Roy yang mempersunting wanita asal
Demak ini.
Kaligrafi
merupakan seni menulis indah, terbagi atas kaligrafi huruf latin atau
Roman, Arab, dan Oriental (China, Jepang, Korea, dan lainnya). Ada
makna filosofi tertentu, tak sekadar keindahan tulisan. Kaligrafi pun
banyak mengandung petuah bijak atau pesan moral dan dipakai pula
untuk menulis berbagai ungkapan—bela sungkawa, ucapan pernikahan,
atau ulang tahun.
Konon, orang Tionghoa dahulu menggunakan gambar sebagai alat
berkomunikasi.
![]() |
Suasana restoran, by Nationalgeographic |
Di
galeri itu, puluhan kaligrafi terlihat mengambil ayat-ayat kitab suci
Al-Quran. Model shiny
dipadukan dengan gaya penulisan China sehingga menghasilkan tipikal
tulisan yang khas. “Ciri khas kaligrafi Islam-Tionghoa ada pada
penggunaan warna hitam dan putih. Bila dilihat mendetail, goresan
hitam-putih
juga tampak. Kombinasi ini mencerminkan konsep yin
dan
yang,”
kata Roy menjelaskan. Unsur tebal tipis goresan, komposisi, teknik
kaligrafer saat menggoreskan tinta pun menjadi pertimbangan menilai
karya kaligrafi.
Salah
satu karya Abu Bakar Chang tampak unik karena ditulis dalam bentuk
sebuah vas bunga. Dalam konferensi pers, Abu Bakar—yang belajar
kaligrafi sejak 13 tahun—mengatakan proses pembuatannya dibantu
oleh teman yang melukis vas bunga. Doa-doa dalam Al-Quran yang ia
tulis sesuai dengan bentuk vas. Hasilnya indah sekali. “Doa-doa ini
saya tulis ringkas,
tapi masih bisa dimengerti. Bunga ini rajanya bunga di China,” kata
seniman kelahiran 1978 asal suku Hui ini. Ia menjual karya seni itu
sekitar Rp20 juta. “Itu lebih mahal dari kaligrafi biasa antara
Rp5-15 juta,” ujar Roy menambahkan. Abu kerap mengikuti gelaran
internasional dan berencana membukukan ratusan karyanya. Kini pria
berjanggut ini menjabat Wakil Ketua Perkumpulan Ahli Waris
Peninggalan Budaya Non-benda Fisik di Yin Chuan.
Setelah
berdiri, Sulaiman berharap galeri tersebut bisa membantu orang
Indonesia memahami kebudayaan muslim China melalui kaligrafi dan juga
kuliner khasnya. Dia melihat banyak orang lokal yang belum mengenali
China. Justru itulah, kehadiran galeri ini diharapkan bisa
meningkatkan persahabatan muslim di China dan Indonesia. “Pengunjung
bisa menikmati kaligrafi sambil mencicipi hidangan khas China,”
ujarnya. □
Sejarah
dan Filosofi Kaligrafi China
-
Tulisan China memengaruhi pengembangan banyak gaya tulisan kaligrafi sejak 3.000 tahun silam, ditandai dengan orisinalitas dan kekayaan tulisan China.
-
Pada zaman kuno, karakter China terukir di atas tulang-tulang sapi, cangkang kura-kura, dan perunggu. Kemudian mereka menulis buku dengan bilah bambu. Tintanya menggunakan bulu bambu dan jelaga hitam. Penulisan kaligrafi juga dilakukan di atas kertas beras ataupun sutra.
-
Kaligrafi didominasi warna hitam dan putih. Pada zaman dinasti, hanya kaisar yang berhak menulis dengan warna lain, misalnya untuk mengkaji dokumen dari menterinya memakai warna merah. Filosofi hidup tradisional China adalah kerendahan hati, moderat, dan tidak menonjol. Nah, hitam-putih dapat mewakili filosofi itu.
-
Hitam dan putih juga memiliki filosifi yin-yang. Hitam mewakili malam, putih merepresentasikan siang; hitam-putih mengekspresikan hukum alam semesta.
Sumber:
Penjelasan Lembaga Kebudayaan Nusaraya
Terbit
di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 01
September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar