Sabtu, 15 November 2014

WAJAH NUSANTARA DALAM FILM

Salah satu adegan Sokola Rimba, by Muvilla
Eksplorasi keelokan suatu daerah dalam film mendongkrak pariwisata

Oleh M. Tahir Saleh

LELAKI berambut keriting itu duduk di depan sebuah pos dari bambu beratap ilalang. Tangannya menggenggam handy talky. Matanya agak sayu. Tampak letih, tetapi wajahnya masih ceria. Sesaat kemudian dia memberi komando, adegan anak-anak suku Anak Dalam yang dikenal sebagai Orang Rimba pun di mulai.

(Ki/ka) Butet, Riri, Prisia, dan Mira Lesmana, by Lampost
Nama lelaki itu Riri Riza, sutradara kenamaan Indonesia. Saat itu, dalam video behind the scene film Sokola Rimba, Riri terlihat sibuk, tapi menikmati betul pembuatan film yang mengambil lokasi di hulu Sungai Makekal, Hutan Bukit Duabelas, Jambi.

Film ini bercerita tentang Butet Manurung—diperankan oleh Prisia Nasution—seorang aktivis konservasi yang rela bergerilya di pedalaman hanya untuk mengajari anak-anak rimba. Tapi film yang diputar perdana pada November tahun lalu itu bukan hanya kuat dalam hal cerita, Sokola Rimba menampilkan pemandangan alami nan indah dari salah satu hutan di Jambi. Penonton disuguhkan pemandangan elok, pepohonan rindang, perkebunan kelapa sawit, sejuknya udara, dan desir aliran sungai yang apik. Film garapan Miles Production milik Mira Lesmana ini menyadarkan bahwa Nusantara bukan hanya Pulau Bali. Banyak wilayah di pesolok negeri belum terjamah oleh mata masyarakat kebanyakan.

by Inilah.com
Tak hanya Sokola Rimba, film-film besutan Riri Riza dan diproduseri oleh Mira Lesmana kaya akan keindahan alam Tanah Air. Atambua 39 Celcius (2012) adalah film drama berlatar Atambua, Nusa Tenggara Timur. Film Riri lainnya, Laskar Pelangi (2008) yang sangat terkenal mengeksplorasi Pulau Belitong, Kepulauan Bangka Belitung.

Membuat film-film dengan lokasi di pelosok itu bukan perkara mudah. Akses tentu saja menjadi kendala. Belum lagi menghadapi medan yang butuh kegigihan. “Dari Jambi elo naik mobil dulu 7 jam sampe sebuah kota kecil Bangko, jalan lagi ke pinggir hutan naik mobil 2 jam, habis itu numpang truk 2 jam, jalan lagi 2 jam baru sampai,” cerita Mira, produser Sokola Rimba, dalam behind the scene film itu. Bagian paling sulit barangkali meyakinkan penduduk lokal untuk bisa mengambil gambar. Pernah suatu malam Riri menghampiri tenda Mira. “Mir..mir, ada kabar nih,” seru Riri. “Kenapa?” “Adegan kita yang di pinggir hutan membawa ibu-ibu itu enggak boleh.” Ternyata mengambil gambar perempuan untuk keperluan Sokola Rimba tak segampang itu, perempuan dianggap tak boleh.

by Zigra.co.id
Sejujurnya bagi Riri, dia tak punya agenda terselubung mempromosikan wisata ketika kamera mulai diletakkan. “Saya tidak terlalu menjadikan hal itu sebagai goal. Saya merekam saja, apa adanya. Tapi sering kali ketika film mulai disunting, ditata satu adegan dengan yang lain, semua jadi gambaran yang mengundang kagum,” katanya melalui e-mail pada Rabu, 19 Maret.

Film, katanya, memiliki kekuatan untuk menggambarkan berbagai dimensi kehidupan, menyentuh emosidan yang paling efektiffilm bisa merekam suasana dalam dinamikanya. Film juga merupakan perkembangan fotografi, merekam alam, ruang, manusia, dan berbagai tekstur budaya secara lebih detail. “Karena itulah film bagi saya harusnya merekam lingkungan dan budaya dengan baik.”

Indonesia dianggapnya menjadi ruang tak terbatas sebagai latar belakang cerita film. Matahari terbit di Gunung Bromo atau sunset di kepulauan sekitar Makassar bisa menjadi landskap indah yang tepat untuk banyak adegan dramatis dalam film. “Ketika gambaran itu muncul di layar lebar, siapa pun jadi tertarik untuk mendatangi tempat itu. Belitong memberi itu bagi film Laskar Pelangi,” katanya. “Saya dengar kabar, kunjungan wisatawan meningkat lima kali lipat setelah film tersebut dirilis.”

Riri berharap pemerintah bisa memberi kontribusi bagi film karena di banyak negara atau kota-kota di dunia, berdiri lembaga yang khusus membantu siapa pun yang ingin membuat film di lokasi mereka. Dukungan itu sampai pada tingkat pendanaan bagi produser yang ingin membuat film di kota itu. “Mereka menyadari kekuatan film sebagai bagian dari promosi wisata. Apalagi jika di film itu ada bintang-bintang besar seperti Julia Roberts atau Brad Pitt misalnya,” kata Riri. “Jutaan penonton film adalah potensi pasar wisata bagi mereka dan mungkin lebih efektif dibanding, misalnya, memproduksi iklan sendiri.”

Film dan pariwisata memang berkaitan erat. Berdasarkan catatan Wego Indonesia, situs pencari dan pembanding informasi perjalanan, film ternyata mendongkrak kunjungan wisawatan, pun di mancanegara. Braveheart sukses menaikkan wisatawan ke Skotlandia hingga 300%, 12 bulan setelah film arahan Mel Gibson itu tayang. Film The Beach yang dibintangi Leonardo DiCaprio meningkatkan kunjungan turis remaja hingga 22% ke Negeri Gajah Putih, Thailand.

New York dan Eropa juga menjadi destinasi impian saat Natal lantaran terinspirasi film-film klasik yang tayang menjelang liburan. Berkat film Lord of the Rings dan The Hobbit, landskap alam Selandia Baru pun mendadak terkenal. Untuk skala negara, Islandia juga kena dampak positif setelah Negeri Es itu ditampilkan lewat film yang dibintangi Ben Stiller, The Secret Life of Walter Mitty. “Sisi positif dari film, ia bisa menggairahkan dan mempromosikan objek wisata. Dampaknya kelihatan juga dari makin banyaknya wisatawan yang senang mencari destinasi yang tak biasa dan mencoba pengalaman wisata yang benar-benar baru," kata Chief Marketing Officer Wego Joachim Holte, dalam e-mail-nya.

by Panamaricano.it
Pembuat film dan badan pariwisata, menurut Wego, memegang andil besar dalam pemasaran destinasi saat ini. Sebab, latar film efektif mendorong wisatawan mengeksplorasi tempat baru. “Wisatawan biasanya jadi tak sabar untuk berlibur ke lokasi tempat film dibuat,” kata Holte. “Tren ini sudah kelihatan beberapa waktu lalu, saat kami menggelar survei untuk wisatawan Australia.” Oleh karena itu, film jauh lebih efektif ketimbang membuat kampanye tunggal untuk pemasaran destinasi.

Khusus Indonesia, kata Holte, juga menjadi sorotan para sutradara dari Hollywood setelah sukses menyedot kunjungan ke Bali lewat fenomena film Eat, Pray, Love. Sutradara peraih Academy Award Michael Mann (yang membesut Miami Vice, Public Enemy, Last of the Mohicans), menurut Holte, menjadi salah satu penggemar besar Indonesia. Sutradara itu baru selesai memfilmkan Cyber di Jakartarencananya tayang perdana pada 2015. Film itu dibintangi oleh Chris Hemsworth, pemeran Thor. Dukungan film dan pariwisata itu juga dibantu dengan maraknya maskapai bertarif murah yang membuat perjalanan wisata makin ekonomis. “Film yang berlatar objek wisata akan terus tumbuh di Asia," ujar Holte.

Tapi, memang film dan pariwisata itu juga ditopang sepenuhnya oleh pemerintah. Singapore Tourism Board menginvestasikan dana US$6,3 juta untuk skema 'Film in Singapore'. Baru-baru ini, Tourism Australia juga bermitra dengan Tourism and Events Queensland, Pritish Nandy Communications, dan Balaji Motion Pictures untuk menampilkan Gold Coast sebagai latar dalam film Bollywood Shaadi Ke Side Effects. Tahun lalu, Kementerian Pariwisata India juga meluncurkan kampanye Land of Pi yang setema dengan film arahan Ang Lee, Life of Pi.

Joko, by Iyaa.com
Namun bagi Joko Anwar, sutradara yang terkenal setelah membesut film Janji Joni (2005), film dan pariwisata agak jauh bila dikaitkan. Kalau seorang sutradara membuat film untuk meningkatkan pariwisata, itu masuk kategori film propaganda. Film itu baginya storytelling, punya cerita yang kuat sehingga tak bisa dibatasi hanya untuk meningkatkan wisawatan.

Beda cerita kalau suatu film dikreasikan dengan baik, mengambil lokasi yang indah, lalu film itu berdampak secara tak langsung terhadap kunjungan wisata ke lokasi film itu, tapi itu tak diniatkan. “Pengaruhnya tergantung, kalau dalam film itu ditampilkan sebuah lokasi yang mengerikan kayak film Hostel di Eropa Timur, orang jadi takut,” katanya ditemui usai Short Film Festival di Jakarta. “Kebutuhannya bukan cari tempat lalu kita bikin cerita, tapi cerita dulu baru cari tempat.”

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 24 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu