![]() |
Salah satu adegan Sokola Rimba, by Muvilla |
Oleh
M. Tahir Saleh
LELAKI
berambut keriting itu duduk di depan sebuah pos dari bambu beratap
ilalang. Tangannya menggenggam handy
talky.
Matanya agak sayu.
Tampak
letih,
tetapi wajahnya masih ceria. Sesaat kemudian dia memberi komando,
adegan anak-anak suku Anak Dalam yang dikenal sebagai Orang Rimba pun
di mulai.
![]() |
(Ki/ka) Butet, Riri, Prisia, dan Mira Lesmana, by Lampost |
Nama
lelaki itu Riri Riza, sutradara kenamaan Indonesia. Saat itu, dalam
video behind
the scene
film Sokola
Rimba,
Riri terlihat sibuk,
tapi menikmati betul pembuatan film yang mengambil lokasi di hulu
Sungai
Makekal, Hutan
Bukit Duabelas, Jambi.
Film
ini bercerita tentang Butet Manurung—diperankan oleh Prisia
Nasution—seorang aktivis konservasi yang rela bergerilya di
pedalaman hanya untuk mengajari anak-anak rimba. Tapi film yang
diputar perdana pada November tahun lalu itu bukan
hanya kuat dalam
hal cerita,
Sokola
Rimba
menampilkan pemandangan alami nan indah dari salah satu hutan di
Jambi. Penonton disuguhkan pemandangan elok, pepohonan rindang,
perkebunan kelapa sawit, sejuknya udara, dan desir aliran sungai yang
apik.
Film garapan Miles Production milik Mira Lesmana ini menyadarkan
bahwa Nusantara bukan hanya Pulau
Bali. Banyak wilayah di pesolok negeri belum terjamah oleh mata
masyarakat kebanyakan.
![]() |
by Inilah.com |
Tak
hanya Sokola
Rimba,
film-film besutan Riri Riza dan diproduseri oleh Mira Lesmana kaya
akan
keindahan
alam Tanah Air. Atambua
39 Celcius
(2012) adalah film drama berlatar Atambua, Nusa Tenggara Timur. Film
Riri lainnya, Laskar
Pelangi
(2008) yang sangat terkenal mengeksplorasi Pulau
Belitong, Kepulauan Bangka Belitung.
Membuat
film-film dengan lokasi di pelosok itu bukan perkara mudah. Akses
tentu saja menjadi kendala. Belum lagi menghadapi medan yang butuh
kegigihan. “Dari Jambi elo
naik mobil dulu 7
jam sampe
sebuah kota kecil Bangko, jalan lagi ke pinggir hutan naik mobil 2
jam, habis itu numpang
truk
2 jam, jalan lagi 2 jam baru sampai,” cerita Mira, produser Sokola
Rimba,
dalam behind
the scene
film itu. Bagian paling sulit barangkali meyakinkan penduduk lokal
untuk bisa mengambil gambar. Pernah suatu malam Riri menghampiri
tenda Mira. “Mir..mir, ada kabar nih,” seru Riri. “Kenapa?”
“Adegan kita yang di
pinggir
hutan membawa ibu-ibu itu enggak
boleh.” Ternyata mengambil gambar perempuan untuk keperluan Sokola
Rimba
tak segampang itu, perempuan dianggap tak boleh.
![]() |
by Zigra.co.id |
Sejujurnya
bagi Riri, dia tak punya agenda terselubung mempromosikan wisata
ketika kamera mulai diletakkan. “Saya tidak terlalu menjadikan hal
itu sebagai goal.
Saya merekam saja, apa adanya. Tapi sering kali ketika film mulai
disunting, ditata satu adegan dengan yang lain, semua jadi gambaran
yang mengundang kagum,” katanya melalui e-mail
pada Rabu, 19 Maret.
Film,
katanya, memiliki kekuatan untuk menggambarkan berbagai dimensi
kehidupan, menyentuh emosi—dan
yang paling efektif—film
bisa merekam suasana dalam dinamikanya. Film juga merupakan
perkembangan fotografi, merekam alam, ruang, manusia, dan berbagai
tekstur budaya secara lebih detail. “Karena itulah film bagi saya
harusnya merekam lingkungan dan budaya dengan baik.”
Indonesia
dianggapnya menjadi ruang tak terbatas sebagai latar belakang cerita
film. Matahari terbit di Gunung Bromo atau sunset
di kepulauan sekitar Makassar bisa menjadi landskap indah yang tepat
untuk banyak adegan dramatis dalam film. “Ketika gambaran itu
muncul di
layar
lebar, siapa pun jadi tertarik untuk mendatangi tempat itu. Belitong
memberi itu bagi film Laskar
Pelangi,”
katanya. “Saya dengar kabar, kunjungan wisatawan meningkat lima
kali lipat setelah film tersebut dirilis.”
Riri
berharap pemerintah bisa memberi kontribusi bagi film karena di
banyak negara atau kota-kota di dunia, berdiri lembaga yang khusus
membantu siapa pun yang ingin membuat film di lokasi mereka. Dukungan
itu sampai pada tingkat pendanaan bagi produser yang ingin membuat
film di kota itu. “Mereka menyadari kekuatan film sebagai bagian
dari promosi wisata. Apalagi jika di film itu ada bintang-bintang
besar seperti Julia Roberts atau Brad Pitt misalnya,” kata Riri.
“Jutaan penonton film adalah potensi pasar wisata bagi mereka dan
mungkin lebih efektif dibanding,
misalnya,
memproduksi iklan sendiri.”
Film
dan pariwisata memang berkaitan erat. Berdasarkan catatan Wego
Indonesia, situs pencari dan pembanding informasi perjalanan, film
ternyata mendongkrak kunjungan wisawatan, pun di mancanegara.
Braveheart
sukses menaikkan wisatawan ke Skotlandia hingga 300%, 12 bulan
setelah film arahan Mel Gibson itu tayang. Film The
Beach
yang dibintangi Leonardo DiCaprio meningkatkan kunjungan turis remaja
hingga 22% ke Negeri Gajah Putih, Thailand.
New
York dan Eropa juga menjadi destinasi impian saat Natal lantaran
terinspirasi film-film klasik yang tayang menjelang liburan. Berkat
film Lord
of the Rings
dan The
Hobbit,
landskap alam Selandia Baru pun mendadak terkenal. Untuk skala
negara, Islandia juga kena dampak positif setelah Negeri Es itu
ditampilkan lewat film yang dibintangi Ben Stiller, The
Secret Life of Walter Mitty.
“Sisi positif dari film, ia bisa menggairahkan dan mempromosikan
objek wisata. Dampaknya kelihatan juga dari makin banyaknya wisatawan
yang senang mencari destinasi yang tak biasa dan mencoba pengalaman
wisata yang benar-benar baru," kata Chief
Marketing Officer
Wego Joachim Holte, dalam e-mail-nya.
![]() |
by Panamaricano.it |
Pembuat
film dan badan pariwisata,
menurut Wego,
memegang andil besar dalam pemasaran destinasi saat ini. Sebab, latar
film efektif mendorong wisatawan mengeksplorasi
tempat baru. “Wisatawan biasanya jadi tak sabar untuk berlibur ke
lokasi tempat film dibuat,” kata Holte. “Tren ini sudah kelihatan
beberapa waktu lalu, saat kami menggelar survei untuk wisatawan
Australia.” Oleh karena itu,
film jauh lebih efektif ketimbang membuat kampanye tunggal untuk
pemasaran destinasi.
Khusus
Indonesia, kata Holte, juga menjadi sorotan para sutradara dari
Hollywood setelah sukses menyedot kunjungan ke Bali lewat fenomena
film Eat,
Pray, Love.
Sutradara peraih Academy Award Michael Mann (yang membesut Miami
Vice, Public Enemy, Last of the Mohicans),
menurut Holte, menjadi salah satu penggemar besar Indonesia.
Sutradara itu baru selesai memfilmkan Cyber
di Jakarta—rencananya
tayang perdana pada 2015. Film itu dibintangi oleh Chris Hemsworth,
pemeran Thor. Dukungan film dan pariwisata itu juga dibantu dengan
maraknya maskapai bertarif murah yang
membuat
perjalanan wisata makin ekonomis. “Film yang berlatar objek wisata
akan terus tumbuh di Asia," ujar Holte.
Tapi,
memang film dan pariwisata itu juga ditopang sepenuhnya oleh
pemerintah. Singapore Tourism Board menginvestasikan dana US$6,3 juta
untuk skema 'Film in Singapore'. Baru-baru ini, Tourism Australia
juga bermitra dengan Tourism and Events Queensland, Pritish Nandy
Communications,
dan Balaji Motion Pictures untuk menampilkan Gold Coast sebagai latar
dalam film Bollywood Shaadi
Ke Side Effects.
Tahun lalu, Kementerian
Pariwisata India juga meluncurkan kampanye Land of Pi
yang
setema dengan film arahan Ang Lee, Life
of Pi.
![]() |
Joko, by Iyaa.com |
Namun
bagi Joko Anwar, sutradara yang terkenal setelah membesut film Janji
Joni
(2005), film dan pariwisata agak jauh bila dikaitkan. Kalau seorang
sutradara membuat film untuk meningkatkan pariwisata, itu masuk
kategori film propaganda. Film itu baginya storytelling,
punya cerita yang kuat sehingga tak bisa dibatasi hanya untuk
meningkatkan wisawatan.
Beda
cerita kalau suatu film dikreasikan dengan baik, mengambil lokasi
yang indah,
lalu film itu berdampak secara tak langsung terhadap kunjungan wisata
ke lokasi film itu, tapi itu tak diniatkan. “Pengaruhnya
tergantung, kalau dalam film itu ditampilkan sebuah lokasi yang
mengerikan kayak film Hostel
di Eropa Timur, orang jadi
takut,”
katanya ditemui usai Short Film Festival di Jakarta. “Kebutuhannya
bukan cari tempat lalu kita bikin cerita,
tapi cerita dulu baru cari tempat.”
Terbit
di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 24
Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar