Sabtu, 15 November 2014

SINDROM ABS, ASAL BOS SENANG

By gambarlucu.org
Bersikap ramah di kantor itu penting, asal jangan ‘cari muka’

Oleh M. Tahir Saleh


REI (29) uring-uringan di kantor belakangan ini. Bukan lantaran dibebani setumpuk tugas, melainkan ulah rekan kerjanya. Sebutlah namanya Dono (37). Pria yang menjabat sebagai manajer itu kerap dianggap sebagai 'penjilat'. Pernah di hadapan direktur utama, sikap Dono sangat profesional seakan-akan semua tugas berhasil dikerjakan.

Faktanya, tak satu pun tugasnya selesai. “Dia malah minta anak buahnya yang ngerjain sampai ke urusan yang seharusnya dia handle,” ujar Rei, karyawan sebuah perusahaan multinasional di Tangerang, Banten, Senin pekan lalu.

Celakanya lagi, si bos tak tahu-menahu tingkah Dono di belakang. Belum ada yang punya nyali melapor ke bos. Suatu ketika, salah satu staf Dono melakukan kesalahan karena memang belum ada briefing atau arahan singkat darinya. Staf itu lalu ditegur oleh direksi. “Si Dono di depan direksi bilang, ‘Iya, kamu kan udah saya bilangin.’ Terus dia bilang lagi ke direksi, ‘Udah saya bilang seperti itu, Pak.’ Itu contohnya,” kata Rei dongkol.

Dalam meniti karier, ada saja karyawan macam Dono di sebuah perusahan—tentu dengan tujuan jabatannya naik, karier cemerlang. Lagi-lagi atasan tak bisa hanya mendiamkan dan menerima begitu saja laporan dari bawahan, perlu ada klarifikasi agar informasi tidak sepihak. Tentu saja karyawan yang ingin meningkatkan karier perlu bekal, tapi bukan mengandalkan koneksi, selalu menjadi yes man, atau suka mencari muka (carmuk) di depan bos.

A.M. Lilik Agung, fasilitator dan mitra pengelola lembaga LA Learning menceritakan kisah dua karyawan sebuah perusahaan. Kisah ini untuk menggambarkan bagaimana cara terbaik dalam meningkatkan karier tanpa perlu nampang di depan atasan.

Kedua sahabat, Arman dan Anto, berkawan sejak sama-sama kuliah di sebuah universitas di Yogyakarta. Usai lulus, mereka merantau untuk mengembangkan karier masing-masing. Setelah 10 tahun berkarier, Arman menjabat supervisor di perusahaan pembiayaan, sedangkan karier Anto melesat. Kinerja tiga tahun sebagai area manager yang mengesankan membuat Anto disiapkan menjadi vice president yang membawahi tiga area manager, dia bertanggung jawab langsung kepada direktur operasional. “Mengapa karier Anto bisa naik sangat cepat, sementara Arman biasa-biasa saja? Padahal, keduanya dari kampus yang sama dengan tingkat kecerdasan juga sama?” tanya Lilik.

Ternyata, sikap profesional ketika bekerja menjadi perbedaannya. Bagi Arman bekerja itu identik dengan target yang diberikan perusahaan, sementara Anto memandang pekerjaannya sebagai sebuah panggilan. “Karena panggilan, dia memberikan yang terbaik buat pekerjaannya,” kata Lilik.

Secara konsep, lanjutnya, ada empat sikap yang layak disebut profesional paripurna. Pertama, karakter terpuji. Karakter ini selalu bersinggungan dengan etika dan moralitas. Layak disebut profesional bila tingkah laku seseorang berpatokan pada etika. “Moralitasnya nyaris tanpa cacat sehingga ketika orang berhubungan dengannya, rasa saling percaya dapat terjalin dengan erat,” kata Lilik yang malang melintang sebagai instruktur di banyak perusahaan ini.

Kedua, kompetensi atau penguasaan mendalam atas tanggung jawab pekerjaan. Ketiga, kesungguhan hati dalam bekerja. “Kaum profesional selalu bertanggung jawab terhadap pilihannya. Ketika ia bertanggung jawab, dapat dipastikan ia punya kesungguhan hati untuk terlibat di dalamnya.” Kaum profesional ini terlibat dan menjadi contoh peran bagi anak buah dan karyawan lain. Keempat, ketangguhan menuntaskan apa yang menjadi tanggung jawabnya. “Ibarat pendaki gunung, sebelum mencapai puncak, ia tidak akan menyerah,” kata Lilik yang menulis setidaknya 12 buku di antaranya Jumping to the Next Curve dan Spiritual Leadership ini.

Cherry Riadi Lukman, konsultan senior Experd—lembaga konsultasi pengembangan SDM yang berdiri sejak 1989, juga memberi beberapa wejangan bagaimana meningkatkan karier. Selain meningkatkan performa, dia menekankan beberapa hal yang perlu dihindari, misalnya jangan ‘menjilat’ atasan. Trik ini bisa tampak bila seorang karyawan mulai mencari-cari atau lebih parah lagi membeberkan kesalahan rekan kerja kepada atasan untuk mencari muka. “Yang lebih baik itu performa, itu yang membuat manajemen tertarik dan menyarankan kita dipromosikan,” kata Cherry yang juga menyarankan karyawan terus meningkatkan kapasitas diri.

Seorang karyawan mesti proaktif, jangan cuma memberikan ide, tapi upayakan turut terlibat juga. Berilah umpan balik atau feedback kepada atasan. Ketika atasan mampu menangani suatu permasalahan, coba ungkapkan kalimat apresiasi (tak perlu berlebihan) yang bisa membuat si bos sadar bahwa keputusannya tepat dan berpengaruh.

Menurut Cherry, karyawan harus tetap fokus dalam bekerja dan memberikan hasil terbaik. Prestasi kerja itu bisa mendukung keseimbangan kehidupan kantor dengan kehidupan keluarga. Sikap profesional bisa diwujudkan dengan melakukan lebih dari yang ditugaskan sehingga atasan terkesan. Tapi, dengan catatan tugas tersebut dilakoni dengan memahami kemampuan dan tidak memaksakan diri.

Karyawan juga jangan kerap mengeluh soal kantor, jangan terlalu sering meminta maaf yang berakibat tampak lemah di hadapan si bos. Ketahuilah dulu masalah atau kesalahan, lalu memperbaiki diri. Jangan juga sering masuk ke ruangan bos dengan setumpuk masalah, bukan solusi. Sebaiknya juga hindari merespons sesuatu dalam keadaan emosi, tunggu sampai emosi mereda.

Membangun komunikasi dengan atasan bisa juga dengan tidak asal bertanya—menanyakan hal yang sudah tahu jawabannya. Ada baiknya tanyakan pada diri sendiri dulu, apakah jawaban atasan bakal sama atau tidak. “Pengembangan diri, diskusi dengan atasan, bangun komunikasi, cari feedback. Itu bisa menjadi masukan yang baik,” kata Cherry. “Kalau kita sudah dipercaya atasan, enggak perlu jilat-jilat. Kalau ada temen yang suka jilat, tugas kita tidak melakukan hal serupa, dong.” □


ILUSTRASI
Kasus pertama: Dalam satu tim ada kesalahan dari rekan kerja, bagaimana memberitahu dia, tapi tidak menjatuhkan dia di depan atasan. “Mungkin perlu ada yang diperbaiki dari tugas kita, jadi kita sama-sama cari tahu letak salahnya di mana.

Kasus kedua: Seorang staf mendapat teguran dari bos, tapi dia memang belum mendapat arahan dari atasannya langsung. Sebaiknya staf itu punya argumen kuat untuk menceritakan keadaan sebenarnya. “Maaf Pak/Ibu, sepanjang pengetahuan saya, saya belum mendapat briefing apa pun dari Bapak/Ibu.”

Kasus ketiga: Kinerjanya biasa saja malah cenderung flat, tapi kariernya mengilap; kinerjanya baik, sosial baik, tapi tak mendapat respons atasan. Jangan-jangan atasan terpengaruh dengan informasi sepihak (negatif) atas diri Anda. “Maaf Pak/Ibu, sekadar sharing, menurut Bapak/Ibu apa yang perlu saya perbaiki untuk meningkatkan kinerja saya?”


Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 03 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu