Jumat, 14 November 2014

BUKAN CINTA SESAAT DI CILAMAYA

Anjungan Pertamina, Metrosiantar.com

Program pemberdayaan masyarakat yang digelar oleh perusahaan mestinya bukan jangka pendek

Oleh M. Tahir Saleh

SEORANG anak tiba-tiba berteriak ke arah Eko Suryo Broto. Pria yang diteriaki itu lalu melambai-lambaikan tangan dari jendela mobil. “Kak Eko.., Kak Eko...” teriak si bocah dari kejauhan. Ia mengenakan seragam SD lusuh dan rambutnya tak teratur. “Ayo ka sakola [ke sekolah],” balas Eko dari dalam mobil, tapi si kecil itu hanya tersenyum malu-malu. Kami yang berada di mobil mesem-mesem saja melihat keakraban Eko dengan anak kecil dan penduduk Desa Cilamaya Girang, Blanakan, Subang, Jawa Barat. Dia seakan sudah mengenal mereka bertahun-tahun.

Sudah sekitar tiga tahun Eko bekerja sebagai petugas Community Development PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PT PHE ONWJ). Perusahaan ini merupakan operator Kontrak Kerja Sama Blok ONWJ di bawah SKK Migas yang dimiliki oleh PT Pertamina sejak Juli 2009. “Saya sering nginep di rumah penduduk,” cerita Eko, dua pekan lalu. “Apalagi saya suka anak-anak.”

Keberadaan Eko di kampung itu dalam rangka mendukung program tanggung jawab sosial (CSR) dari PHE di Blanakan. Kecamatan ini terletak di pesisir utara bagian barat Subang dan berbatasan langsung dengan Karawang. Wilayahnya terpencil, sulit diakses, dan infrastruktur buruk. Butuh mobil four-wheels drive untuk sampai ke sana lantaran medan jalannya bebatuan.

Sebagai wilayah terpencil dan dilalui Sungai Cilamaya, daerah ini merupakan lokasi pendaratan hasil pencurian pipa dan aset di anjungan minyak (platform). PHE punya wilayah operasi mencakup area sekitar 8.300 kilometer persegi di Laut Jawa. Blok ini sebelumnya dioperasikan oleh ARCO (1971-2000) dan BP (2000-Juli 2009). Semasa peralihan itu, besi-besi anjungan marak dicuri. Bahkan dari data BP Migas, sebelum 2010, jumlah pencurian sangat tinggi dan kerap didaratkan melalui Sungai Cilamaya. “Yang dicuri misalnya pipa anjungan, solar cell, baterai,” ungkap Hardiyan Sudarmono, Supervisor Security Area Pantura PHE ONWJ. “Karena itu kami susun pendekatan keamanan Security Based Community,” kata Koordinator Community Development and Relations PHE ONWJ Agus Sudaryanto.

Di bidang pendidikan, mereka membangun gedung SDN Cilamaya Girang. “Sebelum ada sekolah ini, anak-anak nelayan menempuh jarak lebih dari 6 kilometer ke sekolah,” cerita Uya Surjana, Pengawas SD. “Ada juga lembaga nonformal guna membantu anak yang belum dapat wajib belajar sembilan tahun, plus life skill,” tambah Ade Tohidin, tokoh pemuda.

PHE juga menciptakan Hutan Pendidikan Cilamaya Girang, dengan lahan seluas 2,5 hektare yang digunakan sebagai praktik pendidikan nonformal. Program keterampilan di lahan ini antara lain budidaya tambak ikan, peternakan kambing, pupuk organik, pembibitan mangrove, dan keanekaragaman hayati. Kuncen-nya mantan narapidana Nusakambangan, Kadafi. Ia pernah dipenjara karena membunuh seseorang dalam penggusuran paksa di Tangerang. “Di mana ada tanah tidur, yah saya hidupin,” kata bekas jawara berusia 82 tahun ini. Badannya tegap, kulit hitam legam, kumis tebal dengan tatapan mata tajam.

Dampaknya mulai terasa. “Tetangga kami itu nelayan, bukan petani. Dalam Islam juga disebutkan, berbaiklah dengan tetangga kamu,” kata Hardiyan. “Hasilnya, kini justru kami yang selalu diinformasikan oleh warga bila ada hal-hal mencurigakan.” Tren pencurian menurun, bahkan pada 2010 nihil. Meski pada 2011 sempat ada empat kasus, kini kembali nihil. Pelaku yang tertangkap pun orang luar Cilamaya—bahkan ada yang dari Jakarta.

Tak hanya PHE, BUMN lain juga menerapkan program semacam ini, baik CSR maupun program kemitraan dan bina lingkungan. Sebut saja PT Pelabuhan Indonesia II, PT PNM, dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. Direktur Pelaksana A+ CSR Indonesia Noviansyah Manap menegaskan kebanyakan yang terjadi, saat perusahaan pergi dari lokasi CSR, masyarakat belum sepenuhnya mandiri. “Tiga kelemahannya adalah kurang pemetaan masalah, desain program, dan tidak menaikkan kapasitas masyarakat,” ungkapnya. Oleh sebab itu, menurut Noviansyah perlu analisis kebutuhan masyarakat, membuat desain program sehingga tidak hanya intervensi sistematis. “Misalnya tujuan mereka mau menaikkan pendapatan petani, tapi mereka malah bikin program terpisah-pisah seperti pameran, seminar, dan yang lain.”

Selama ini, katanya, perusahaan cenderung fokus pada input, program, dan output, bukan outcome atau dampak. “Input artinya besaran dana dan dipakai buat apa, berapa miliar dikeluarkan, tapi outcome bagi masyarakat kurang dilihat.” Tapi, jika ketiga hal tersebut—pemetaan kebutuhan, desain, dan meningkatkan kapasitas masyarakat—dilakukan dengan baik, kemandirian bisa terwujud.

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 23 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu