Ilustrasi, by orlandovocation |
Setelah
20 tahun bermitra, kongsi pecah karena perbedaan penafsiran
perjanjian dan persentase bagi hasil yang berat sebelah.
Oleh
Iwan Supriyatna dan M. Tahir Saleh
SAMBIL
menangis
tersedu-sedu, Hilman dan Nabila, dua bocah asal Bandung berjalan
perlahan menjauhi Sea World, wahana taman biota laut yang dikelola PT
Sea World Indonesia (SWI). Sang bunda terus menghibur kedua buah
hatinya agar tidak bersedih. Rupanya, jalan-jalan ke Sea World
menjadi hadiah bagi keduanya. Hilman berhasil meraih juara satu lomba
azan, sedangkan Nabila diterima di sekolah dasar favorit.
Tangisan
Hilman dan Nabila bukan karena tak mampu membeli tiket, tetapi
harapan dapat menonton ikan-ikan besar di akuarium raksasa Sea World
sirna seketika setelah tempat wisata yang terletak di kawasan Taman
Impian Jaya Ancol—yang dikelola PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk.—ini
tak lagi beroperasi. Dari sekian banyak wahana, hanya Sea World yang
dipasangi pagar keliling setinggi sekitar 2 meter. “Kalau
mengetahui Sea World ditutup, kami tidak
akan
jauh-jauh datang ke sini, apalagi saya sudah janji sama anak-anak,”
tutur Siti Salamah kepada Bloomberg
Businessweek Indonesia, pekan
lalu.
Tutupnya
Sea World membuat keluarga kecil ini mengubah tujuan wisata. Siti
masih berharap wahana tersebut dapat dibuka kembali, apalagi dengan
harga tiket Rp80.000 pada hari biasa dan Rp90.000 pada akhir pekan,
pengunjung bisa mendapatkan edukasi kehidupan biota laut. Pengunjung
lain dari Bekasi, Agus Suhendro, pun terpaksa mencari wahana lain di
Ancol. Salah satu pedagang di depan Sea World juga menginformasikan
memang tidak ada penjualan tiket. “Ada yang bisa masuk, tetapi itu
hanya untuk mereka yang sudah membeli tiket secara online.”
Ketika
Bloomberg
Businessweek Indonesia
mengunjungi Sea World pada pekan lalu, tak terlihat pegawai lalu
lalang di area seluas 3 hektare dengan luas bangunan 4.500 meter
persegi itu. Hanya ada satpam yang sesekali mengamati gerak-gerik
pengunjung yang berusaha mencari tahu alasan penutupan tersebut. Baru
sekadar melintas, satpam dengan sigap mengingatkan agar tidak
mendekati tempat wisata yang berdiri sejak 3 Juni 1994 ini. Tak boleh
ada kegiatan di dekat area, padahal tempat ini sebelumnya tidak
pernah sepi pengunjung, terutama saat liburan sekolah dan hari raya.
Di balik pagar, tampak beberapa orang yang tak jelas mengerjakan apa,
sedangkan pagarnya ditempeli spanduk pengumuman mengenai alasan
penutupan:
“Kantor
hukum Iim Zovito SH, MH, & Rekan....dalam hal ini bertindak untuk
dan atas nama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. berdasarkan surat kuasa
tertanggal 18 Agustus 2014 dengan ini.....sarana rekreasi dan
fasilitas-fasilitas yang ada pada Undersea World tertutup sementara
untuk umum.”
Belakangan
ini diketahui penutupan Sea World karena masa kontrak kerja sama 20
tahun antara SWI sebagai pengelola wahana dan PT Pembangunan Jaya
Ancol (Jaya Ancol) sebagai pemilik lahan berakhir. Jika merujuk pada
perjanjian, kontrak kerja berakhir pada 4 Juni 2014 dan wahana
tersebut harus diserahkan kembali ke Jaya Ancol untuk dilakukan
negosiasi ulang, tapi SWI keukeh
beroperasi hingga September. Lantaran dianggap ‘bandel’, pada 27
September, Jaya Ancol terpaksa menutup wahana yang batu pertamanya
diletakkan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu Wiyogo Atmodarminto.
***
Perjodohan
bisnis keduanya dimulai pada 21 September 1992 ketika Jaya
Ancol—badan usaha milik Pemprov DKI—meneken perjanjian dengan
SWI—dulu PT Laras Tropika Nusantara. Perusahaan ini merupakan firma
yang masuk dalam Grup Lippo—yang dikendalikan oleh keluarga Riady,
meski tidak disebutkan menjadi anak usaha PT Lippo Karawaci Tbk. “Iya
masuk Grup Lippo,” kata Danang Kemayan Jati, Head
of Corporate Communications
Lippo Karawaci.
Konferensi pers konflik, by Kompas |
Kerja
sama itu meliputi pembangunan, pengelolaan, dan pengalihan hak atas
sarana hiburan Sea World di Taman Impian Jaya Ancol, Kelurahan Ancol,
Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Skema ini disebut BOT atau
built
operate and transfer.
Proyek Sea World dibangun di atas lahan yang diperoleh Jaya Ancol
dari Pemprov DKI—sebagai pemegang 72% saham, selebihnya Pembangunan
Jaya 18%, dan publik 9,9%.
SWI memilik hak mengelola wahana selama 20
tahun hingga 4 Juni 2014. Setelah masa perjanjian berakhir, SWI akan
mengembalikan tanah dan bangunan beserta sarana penunjang kepada Jaya
Ancol. Namun, SWI mempunyai opsi perpanjangan maksimal 20 tahun.
Lewat kerja sama ini, Jaya Ancol mendapat imbalan 5% dari penjualan
tiket dan 6% dari penjualan bisnis ritel (makanan, minuman, dan
barang dagang).
Kuasa
hukum Jaya Ancol Iim Zovito Simanungkalit menilai SWI melanggar
perjanjian. Kendati ditutup sementara dan akses merawat hewan laut
masih diperbolehkan, Iim belum dapat memastikan kapan wahana akan
dibuka lagi. Semua bergantung pada itikad baik dari SWI untuk
renegosiasi kontrak. “Kami yang punya tanah, kalau mau
memperpanjang kontrak, harus dihitung ulang. Jangan disamakan seperti
perjanjian 20 tahun silam,” kata Iim ketika dihubungi pekan lalu.
“Akan ada perjanjian baru kalau SWI mau mengelolanya lagi.”
Jaya
Ancol, kata Iim, sudah mengirim surat kepada SWI sebelum kontrak
berakhir, tetapi tak digubris. Mitranya malah menganggap kerja sama
secara otomatis diperbaharui dan bakal berakhir pada 2034 tanpa
penyerahan aset. SWI juga sudah mengajukan perpanjangan, tetapi
persentase bagi hasil diturunkan menjadi 3% yang membuat Jaya Ancol
meradang. Namun, Presiden Direktur SWI Yongki E. Salim membantah. Ia
malah menyebut Jaya Ancol-lah yang tidak pernah membuka ruang
negosiasi. “Sampai sekarang persentase [awal] tidak pernah
diturunkan,” tegas Yongki. Hanya saja, pernyataan ini berbeda
dengan fakta dalam video rapat bersama Plt. Gubernur DKI Basuki
‘Ahok’ Tjahaja Purnama pada 15 Juli tahun lalu yang diunggah di
situs ahok.org.
Ahok
justru menuding ada itikad kurang baik dari Grup Lippo dengan meminta
penurunan persentase bagi hasil menjadi 3% dan perpanjangan 30 tahun
melebihi ketentuan. “Bapak [Yongki] masih berusaha minta 30 tahun.
Itu tidak bisa Pak. Kalau kami lakukan, kami masuk penjara, ujar Ahok
yang juga disaksikan Direktur Utama Jaya Ancol Gatot Setyowaluyo.
Ahok juga meminta SWI mengembalikan aset terlebih dahulu, baru
dilakukan negosiasi ulang sesuai dengan mekanisme BOT.
Setelah
penafsiran berbeda soal BOT ini, kasus pun coba diselesaikan di Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Badan ini menunjuk Fatimah
Achyar sebagai ketua arbitrase dengan anggota majelis Humprey R.
Djemat mewakili Jaya Ancol dan Basoeki dipihak SWI. Hasilnya, Jaya
Ancol dinyatakan benar. Pihak BANI tak berkenan memberi penjelasan
lebih rinci. “Soal case
kami
diatur oleh kode etik jadi tak bisa, kalau prosedur bisa,” kata Eko
Dwi Prasetyo, salah satu panitera BANI, Selasa pekan lalu.
Atas
keputusan BANI, SWI menggugat putusan tersebut ke Pengadilan Negeri
Jakarta Utara. Hasilnya, pengadilan membatalkan ketetapan BANI dengan
alasan ada fakta benturan kepentingan—satu institusi—antara saksi
Elijana Tansah dan Humprey (meski informasi ini ditampik Humprey).
“Faktanya Elijana tak bekerja dan tidak pernah bekerja di kantor
hukum Gani Djemat,” kata Humprey dikutip putusan pengadilan
tertanggal 30 September. Setelah kalah di pengadilan, pihak Jaya
Ancol bersiap menempuh banding.
Tim
advokasi SWI Peter Kurniawan menuding Jaya Ancol sengaja memutus hak
pengelolaan Sea World. Namun Ahok memastikan sangkaan itu tidak
benar. Ahok mewanti-wanti, hanya ada dua opsi pengelolaan Sea World;
kerja sama dengan SWI diteruskan dengan renegosiasi kontrak yang
lebih menguntungkan atau mengelola sendiri. Bisa juga muncul opsi
darurat, yakni menyerahkan kepada pihak lain dengan catatan
perusahaan tersebut sudah teruji dan memberi nilai lebih ketimbang
SWI. “Kalau sampai ada niat dari direksi Jaya Ancol atau direksi
yang sudah pindah [lama] untuk memberikan ke pihak lain karena ada
keuntungan pribadi, pasti kami pecat dan pidanakan. Itu saya
garansi,” kata mantan bupati Belitung ini.
Ahok
menyayangkan jika kasus tersebut bergulir ke meja hijau karena akan
merugikan semua pihak dan biota laut. “Apalagi tuntut menuntut,
repot banget.
Hubungan juga jadi tidak baik, Bapak [Yongki] kunci kami, kami kunci
grup Bapak.” Seperti arahan Ahok, Iim juga memaparkan dua poin yang
diajukan dalam kontrak baru, yakni pengembalian lahan dan bangunan
Sea World ke Jaya Ancol dan penaikan persentase bagi hasil meski ia
tak membeberkan nilainya.
**
Perseteruan
ini memunculkan kabar bahwa SWI akan memindahkan Sea World ke Sentul,
Bogor, Jawa Barat, walaupun informasi ini ditampik manajemen
perseroan. Di Sentul, sudah ada Jungleland Adventure Theme Park yang
dikelola PT Jungleland Asia dengan luas areal 35 hektare dan lebih
dari 31 wahana.
Pantai Ancol, by Jawapos |
Jika
dibandingkan, misalnya, dengan wahana serupa di luar negeri, Sea
World belum banyak inovasi. Dalam situsnya, SeaWorld San Diego bahkan
punya satu paus raksasa, pandai beratraksi dan pengunjung dapat
menyentuhnya, berinteraksi dengan ikan pembersih kecil yang dengan
lembut menggigiti tangan. Meski begitu, Sea World masih menjadi salah
satu wisata edukasi yang patut dipertahankan. “Ini kan sarana
kreasi masyarakat jadi mesti ada evaluasi kerja sama dari keduanya,”
kata Wakil Ketua DPRD DKI Abraham Lunggana alias Haji Lulung ketika
mendampingi Ahok di Balai Kota.
Setelah
ditutup sementara, SWI hampir tak punya pemasukan dari Sea World.
Sayangnya Yongki belum membeberkan seberapa besar kontribusi wahana
tersebut bagi bisnis perusahaan terafiliasi Grup Lippo ini. Pembagian
hasil sangat bergantung jumlah pengunjung. Bila kunjungan banyak,
setoran juga naik, begitu pula sebaliknya. “Kewajiban kami ke Jaya
Ancol tergantung total pengunjung,” kata Peter Kurniawan, tim kuasa
hukum SWI.
Jika
menguntungkan bagi SWI, di pihak Jaya Ancol kontribusi Sea World tak
signifikan. Berdasarkan laporan keuangan, pendapatan yang masuk
kantong emiten dengan kode saham PJAA ini dari Sea World per Juni
hanya Rp1,69 milar, sangat kecil, tak sampai 1% dari total pendapatan
Jaya Ancol yang mencapai Rp488,17 miliar. Tahun lalu, setoran dari
Sea World baru Rp4,22 miliar, menurun dari 2012 Rp4,62 miliar.
Penyokong terbesar pendapatan Jaya Ancol dari tiket dan wahana
wisata, sisanya dari tanah dan bangunan, pintu gerbang, dan kapal.
Pengamat
kebijakan publik dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna
mengatakan sengketa ini harusnya menjadi evaluasi bagi Pemprov DKI
untuk menginventarisasi aset pemda. Pemprov juga diminta meneliti
lebih jauh mengenai pola kerja sama pihak ketiga (swasta) yang selama
ini justru tak berdampak besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
“Pernah dulu Foke [Gubernur lama Fauzi Bowo] menutup 26 SPBU karena
aset tanah salah peruntukan. Harusnya dilakukan lagi audit aset,
jangan cuma duduk manis terima setoran,” kata Yayat. “BUMD itu
kebanyakan mikir
seperti orang sunda, LKMD, lamun
kurang minta deui
[kalau kurang minta lagi—suntikan modal], jadi secara kinerja
kurang,” katanya.
Jika
mengacu data Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, tahun ini PAD
ditargetkan Rp65,04 triliun, naik dari tahun lalu Rp41,53 triliun.
Pendapatan dari BUMD akan masuk ke pos hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan. “Trennya naik [kontribusi BUMD], tapi tidak
signifikan. Kontribusi terhadap APBD sekitar 1%,” kata Kepala Dinas
Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi dalam pesan singkatnya.
Lantaran
itu, salah satu upaya yang ditempuh Pemprov DKI adalah mengubah skema
kerja sama swasta BOT. Perjanjian BOT memang berpotensi salah tafsir
soal pengalihan aset. Dalam BOT, pihak ketiga atau investor harus
menyerahkan aset, sedangkan dalam pola BTO atau build
transfer operate
aset diserahkan investor kepada perusahaan pemilik setelah
pembangunan selesai. “Nanti akan diubah skemanya, tidak lagi BOT,
kami juga akan mengevaluasi aset,” kata Kepala Badan Pengelolaan
Keuangan Daerah DKI Endang Widjajanti.
Ahok
pun mengakui BUMD belum memberi kinerja memuaskan. “Harusnya kami
jadi raja properti, faktanya kami pecundang. Itu masalahnya karena
terlalu banyak nego-nego enggak
bener,”
katanya. Soal Sea World, Ahok lagi-lagi menegaskan semua pihak harus
mengikuti aturan berlaku. “Kami seneng
karena ini investasi pendidikan, [tetapi] saya enggak
mau masuk penjara gara-gara Sea World, lebih baik saya nyelem
di Belitung daripada soal ikan hiu ini.”
Terbit
di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 27 Oktober 2014
Words:
1.788